Liputan6.com, Jakarta - - Syahdan, di tahun 2009, republik ini dibuat geram oleh kasus seorang nenek tertuduh pencuri tiga buah kakao di Darmakradenan, Banyumas, Jawa Tengah. Orang itu, Mbok Minah (55), dituduh mencuri tiga buah kakao di Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA). Ia pun dituntut dengan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pencurian.
Nurani tercabik-cabik. Tiga buah kakao seberat tiga kilogram dengan nilai Rp 30 ribu, menurut jaksa, dan hanya Rp 2.000 per kilogram saat itu di pasaran, menyeret Mbok Minah, si miskin papa ke meja hijau.
Advertisement
Kamis 19 November 2009, majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang dipimpin Muslich Bambang Luqmono memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Majelis hakim memutus Mbok Minah bersalah melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Kasusnya ini sempat menggegerkan Tanah Air. Sebab, ironi hukum terjadi ketika seorang renta yang tidak memiliki akses dan tak mengerti hukum diadili untuk tiga butir kakao senilai Rp 30 ribu.
Sejumlah demonstrasi memprotes konflik agraria dan untuk membela Mbok Minah digelar bertubi-tubi di beberapa daerah. Mbok Minah menjadi simbol ketidakadilan hukum di negeri ini kala itu.
Gugatan ini bermula pada 2 Agustus 2009 ketika Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan. Saat itu, mata kecilnya melihat 3 buah kakao yang sudah matang di pohon di lahan yang juga dikelola oleh perusahaan tempat dia bekerja.
Mbok Minah lalu memetiknya untuk bibit di tanah garapannya. Tak terbesit sama sekali di pikirannya, tindakan itu salah. Dia bahkan tidak menyembunyikan 3 kakao yang dipetiknya. Buah cokelat tersebut hanya digeletakkan di bawah pohon.
Tak lama, seorang mandor perkebunan itu bertanya tentang kakao itu. Minah pun mengaku dia lah yang memetiknya.
Mandor tersebut menceramahinya dan Minah meminta maaf. Tiga kakao yang dipetiknya kemudian diserahkan ke pria itu.
Namun ternyata, kejadian ini berlanjut ke gugatan hukum. Seminggu setelahnya, Minah mendapat panggilan dari polisi. Proses penyelidikan hingga pelimpahan ke pengadilan berlangsung hanya dalam waktu tiga bulan.
Pengadilannya pun berlangsung hanya tiga kali, tanpa pendampingan pengacara, seperti dilansir Antara.
"Inyong (saya) tidak mau dihukum pak hakim," kata Mbok Minah saat memberikan pembelaannya sebelum mendengarkan vonis.
Saat ditanya soal peristiwa itu, Mbok Minah mengaku tidak trauma. "Ndak (trauma)," jawabnya kepada Liputan6.com.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tetap Bekerja di Perkebunan
Dia juga masih rajin ke kebun yang digarapnya. Tentunya, bukan kebun miliknya. Nenek tujuh anak dan belasan cucu tersebut kini, menggarap tanah berukuran tak lebih dari 80 ubin itu atau setara dengan 1.125 meter persegi. Tanah yang sama, di mana kasus pencurian terjadi 10 tahun lalu.
Padahal, tanah garapan itu berjarak 2 kilometer dari rumahnya. Anak-anaknya pun memenuhi sebagian kebutuhan Mbok Minah sehari-hari.
Namun, Mbok Minah bersama suaminya Sanrudi tak mau berpangku tangan. Di lahan tersebut, keduanya menanam macam-macam komoditas musiman. Ada jagung, ketela, kacang panjang dan cabai. Sedangkan lahan yang berupa sawah ditanami padi.
Tiap hari, Mbok Minah meniti jalan kecil dari Dusun Sidoharjo menuju kebunnya. Mulai dari menyiangi rumput, memupuk hingga memanen cabai dan kacang panjang dilakukan keduanya sendiri.
"Ya bagaimana, namanya juga petani. Masa cabai membeli," kata Mbok Minah.
Advertisement