Liputan6.com, Jakarta - Berjejal di antara padat bangunan di gang sempit, di tepi ruas jalan lebih luas, terkukung hutan beton di tengah metropolitan, Warung Tegal atau warteg sangat mudah dijumpai.
"Konsentrasi warung nasi dengan nama warteg sebenarnya paling besar ada di Jabodetabek dan Jawa Barat," kata Dosen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran Fadly Rahman lewat sambungan telepon pada Liputan6.com, Kamis, 14 November 2019.
Ia menambahkan, warteg berperan sebagai kiblat urbanisasi. Menjamurnya jenis tempat makan ini diawali kejadian kurang mengenakkan, yakni krisis di tahun 50 sampai 60-an yang membuat banyak warga Tegal meninggalkan kampung halaman dan hijrah ke kota-kota besar.
"Jakarta sebagai ruang yang menghipnotis tentu jadi salah satu tujuannya," sambung Fadly. Kendati demikian, warung nasi dengan format warteg, tutur sejarwan dengan pengutamaan studi sejarah makanan tersebut, sudah ada sejak zaman kolonial.
Baca Juga
Advertisement
Secara sederhana, warteg bisa didefinisikan sebagai warung nasi yang disajikan bersama ragam lauk. "Makanan rumahan yang sangat nyaman di perut banyak orang," tuturnya.
Tahun 70-an, terminologi warteg jadi begitu populer sampai 80-an, Koperasi Warung Tegal (Kowarteg) pun dibangun oleh para pemilik warteg. "Mewadahi pengusaha warteg yang perlu bantuan, misal modal, nanti diberikan," tuturnya.
Alhasil, warteg kemudian jadi simbol solidaritas sesama warga perantauan dan bukan lagi sekadar usaha individu, tapi bisnis kolektif.
"Ada karakteristik khas warteg. Makanan rumahan, makanya orang datang merasa homey. Mau di Sarinah, mau di (lokasi kebanyakan) kelas menengah ke bawah, intinya makanan yang disajikan lekat dengan menu rumahan sehari-hari," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Obat Rindu Masakan Rumah
Berbisnis warteg sudah ada dalam darah Sayudi. Lelaki yang telah mengelola usaha warung nasi tegal selama 25 tahun ini sekarang sudah punya tiga merek warteg, yakni Kharisma Bahari, Mamoka Bahari, dan Warteg Subsidi.
"Dulu itu mengontrak kios jarang banget yang boleh buat warteg. Katanya nanti kotor, kumuh. Apalagi dulu zamannya (masak dengan kompor) minyak tanah" katanya mengawali cerita pada Liputan6.com lewat sambungan telepon, Kamis, 14 November 2019.
Karenanya, ketika memulai usaha, lelaki yang akrab disapa Yudhika ini punya tekad untuk mengubah citra kotor dan kumuh dari warteg. "Makanya saya namain Kharisma, supaya lebih berkarisma," sambungnya.
Punya lebih dari 400 cabang warteg di Jabodetabek lewat tiga merek dagang, soal susunan menu, Yudi mengatakan, 90 persennya sama. 10 persen perbedaanya disesuaikan dengan selera pelanggan. "Misal, ada menu yang kurang disukai, itu bisa diganti dengan menu lain," tuturnya.
Dengan tiga merek warteg, Yudi mengatakan, semua kalangan bisa dijangkau. Kharisma Bahari lebih fleksibel dan jadi merek tertua yang dimiliknya sejak tahun 2000-an.
"Mamoka itu punya semacam program setiap hari Jumat (pukul) 11--14, bisa makan sepuasnya cuma Rp10 ribu. Kalau Warung Subsidi, beberapa menu harganya lebih murah. misal es teh manis cuma (Rp)dua ribu," paparnya.
Sesuai dengan pernyataan Yudi, yakni persepsi bahwa warteg berbanding lurus dengan harga murah juga jadi alasan salah satu pelanggan warteg Aisyah Sriwulandari memilih jenis tempat makan tersebut.
"Terus makanannya juga makanan rumah. Bisa jadi obat bagi orang yang rindu makanan rumahan, apalagi buat anak-anak rantau," tulis Icha, begitu ia disapa, lewat pesan singkat pada Liputan6.com, Kamis, 14 November 2019.
Advertisement
Tempat Makan Semua Kalangan
Fadly menjelaskan, segmen warteg bukan hanya kalangan rakyat menengah ke bawah. Seiring zaman, selaras dengan Jakarta sebagai pusat perekonomian dan berbagai aktivitas politik. akhirnya konsumen warteg tak sekadar kelas menangah ke bawah saja.
"Warteg kemudian ada di berbagai titik. Mulai dari pekerja kasar sampai warteg yang memang menempatkan diri di kalangan elit. Misal, di kawasan Sudriman dan Sarinah, pemilik warteg punya modal lebih kuat," jelas Fadly.
Segementasi dari warteg pun diakui Yudi merupakan salah satu cara menggaet pasar tak semata di kalangan tertentu saja. "Apalagi yang franchise (dari merek warteg Yudi), kebanyakan malah menyasar kalangan menengah ke atas," tuturnya.
Icha pun mengaminkan anggapan itu, mengingat harga dan sajian warteg yang sudah sangat lekat di lidah. "Walau misalnya beberapa warteg harus ada upgrade soal kebersihan dan ketersediaan lahan parkir," katanya.
Pelebaran kelas ekonomi ini, menurut Fadly, membuat warteg tak semata jadi tempat makan, tapi lokasi pertemuan sosial dari berbagai segmen.