Liputan6.com, Jakarta - Tese Tewes adalah sebutan bagi pemimpin adat perempuan Suku Asmat yang tinggal di Kampung Saa Er, Distrik Sawerma, Kabupaten Asmat, Papua. Jangan bayangkan pemimpin yang dimaksud memiliki badan besar atau paling subur, sebaliknya tubuh Mama Efa -nama Tese Tewes itu- kurus.
Urat di tangannya menonjol. Kulitnya gelap. Pipinya cekung dan posturnya agak bungkuk. Meski begitu, semangatnya melestarikan kearifan lokal sangat besar. Ia juga dihormati, khususnya sesama perempuan, dan sering mengajak warga beribadah bersama.
Namun, perempuan yang diperkirakan berusia 55 tahun itu bukan tak punya kekhawatiran. Lewat film dokumenter berdurasi sekitar 15 menit yang diputarkan di acara Mari Cerita Papua edisi ke-5, Kamis, 14 November 2015, terungkap kegelisahannya tentang warisan budaya yang turun temurun dijaga bakal punah.
Baca Juga
Advertisement
Anak-anak muda setempat, khususnya Suku Asmat Rumpun Kino di kampungnya, tak lagi menguasai keterampilan bertahan hidup, seperti membuat rumah, membuat noken, hingga membuat perkakas. Kesedihannya bertambah lantaran orangtua anak-anak itu tak menasihati mereka.
"Beda dengan saya, orangtua dulu keras ajarkan saya," ucapnya dalam wawancara di film tersebut.
Di permulaan film dituliskan bahwa Tese Tewes adalah penjaga tungku api Suku Asmat. Perempuan berperan penting dalam komunitas adat, tak hanya menjadi pendukung, tetapi suara mereka juga didengar saat pengambilan keputusan.
Mereka bertanggung jawab mendidik generasi berikutnya, memastikan anak-anak tumbuh baik dengan bekal keterampilan yang memadai. Para perempuan juga mengerjakan pekerjaan kasar, seperti membelah batang kayu untuk kayu bakar, menangkap udang di tanah lumpur, hingga mencari ikan di sungai.
Dalam satu adegan, Mama Efa menunjukkan keterampilannya membuat jaring. Jaring itu pula yang digunakannya untuk menangkap ikan di pinggir sungai dan tengah sungai sambil mendayung perahu sendiri.
Tugas yang besar, tetapi kaum perempuan di kawasan Papua itu masih dianggap di bawah kaum lelaki. Lebih ironis lagi, dalam adegan penutup, para pemuda desa malah asyik bermain gapleh saat Mama Efa memanggil mereka untuk kebaktian.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Riset Panjang
Film itu diproduksi dalam dua tahun. Menurut Bernardo Brotoseno, kameramen film tersebut, tahap terlama adalah memahami budaya dan permasalahan warga setempat.
Film itu akhirnya bisa ada karena kekhawatiran itu inginnya ada di mereka. Namanya dokumenter kan harus riil," ujarnya.
Ardo, biasa dipanggil, menyebut kehadirannya dan anggota tim lain di sana lantaran ada tugas pendampingan warga. Sejak awal, ia dan tim sudah merasa khawatir akan punahnya kearifan lokal lantaran perubahan sikap di masyarakat. Namun, mereka tak bisa serta merta bisa mengintervensi masyarakat.
"Kita ini siapa? Nah, pelan-pelan kita bangkitkan supaya bisa menggerakkan dari dalam," katanya.
Apa tanggapan warga setempat setelah menonton film tentang mereka? "Sejauh ini belum sampai sadar, masih sebagai entertainment," jawab Ardo.
Film Tese Tewes sudah diputar juga di Festival Film Papua 2019 yang tahun ini mengangkat tema tentang peranan perempuan Papua. Menurut Bernard Konten, Ketua Papuan Voices, film merupakan media yang sangat baik untuk mendorong diskusi warga di perkampungan.
"Ketimbang power point, mereka mengantuk, kalau sudah selesai menonton film, langsung menunjuk sendiri, bercerita sendiri," katanya.
Sementara, pembuat film dokumenter Sexy Killer berharap film menjadi sarana mengenalkan Papua lebih dalam kepada orang Indonesia lainnya. "Papua itu sangat diverse. Lebih penting mendidik orang Indonesia tentang Papua, daripada mengajari orang Papua tentang Indonesia," ucapnya.
Baca Juga
Advertisement