Cerita Nenek Kusminah dan Senja Kala Kain Tenun Kluwung Purbalingga

Kejayaan kain tenun Kluwung Gendong tak bertahan lama. Selepas merdeka, produksi kain tenun merosot seiring menjamurnya pakaian modern dan bahan kain yang lebih halus

oleh Galoeh Widura diperbarui 17 Nov 2019, 05:00 WIB
Nenek Kusminah (62 th), salah satu penenun kain tenun Kluwung Gendong di Desa Tajug, Purbalingga yang tersisa. (Foto: Liputan6.com/Humas PBG/Galoeh Widura)

Liputan6.com, Purbalingga - Nama kain tenun Kluwung, Purbalingga hanya terdengar samar-samar. Saking langkanya, sang bupati, Dyah Hayuning Pratiwi bahkan mengaku baru sekali melihat kain ini.

Padahal, pada masa lalu, kain tenun ini pernah berjaya. Saat kebanyakan masyarakat Indonesia saat itu memakai pakaian dari karung goni, kain tenun Kluwung Gendong adalah barang mewah. Kain ini, hanya digunakan oleh kaum berjaya.

Syahdan, Bangsa Indonesia yang hidup di tanah ‘Loh Jinawi’ kelaparan akibat penjajahan. Terlebih pada masa penjajahan Jepang, yang terus diingat sebagai masa terkelam.

Ratusan ribu laki-laki yang dijadikan romusha, diperah darah keringat mereka hingga kering. Perempuan dipaksa membajak sawah dan pekerjaan kasar lainnya. Kesejahteraan itu digantikan sedikit sen dan rasa gatal serat goni yang menusuk kulit, dan kematian akibat kelaparan.

Namun, nun di Desa Tajug, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah keahlian menenun menyelamatkan mereka dari sengatan serat goni. Beberapa warga desa memproduksi kain tenun Kluwung sebagai bahan dasar baju.

"Di mana masyarakat di luaran masih menggunakan kain dari karung goni yang lebih kasar dan gatal di badan, kami warga Tajug sudah pake kain tenun kluwung, lebih halus dari goni," ucap Kepala Desa Tajug, Kuswoyo, saat roadshow Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kecamatan Karangmoncol, Kamis, 14 November 2019.

Sayangnya, kejayaan kain tenun Kluwung Gendong tak bertahan lama. Selepas merdeka, produksi kain tenun merosot seiring menjamurnya pakaian modern dan bahan kain yang lebih halus seperti katun, linen, dan drill.

Tenun Kluwung yang sempat mencicipi masa keemasan saat pendudukan Jepang, beralih sebagai kain gendong. Itu makanya, kini kain tenun Kluwung populer dengan Kluwung Gendong.

Penenun yang tadinya berjumlah puluhan orang di Desa Tajug merosot dan kini hanya tersisa hitungan jari, tak lebih dari 10 orang. Enam penenun masih aktif menjadikan keahliannya sebagai mata pencaharian utama, sedangkan empat orang memproduksi kain tenun Kluwung hanya saat ada pesanan.


Kusminah dan Kesabaran Penenun Kain Kluwung

Bupati Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi memamerkan kain tenun Kluwung Gendong. (Foto: Liputan6.com/Humas PBG/Galoeh Widura)

"Saat ini kain Kluwung tidak lagi untuk pakaian atau baju namun sebagai alat menggendong, pasaran tertinggi adalah wilayah Bumiayu," Kuswoyo menuturkan.

Salah satu penenun itu adalah Kusminah (62 th). Ia adalah salah satu dari sedikit penenun kain Kluwung yang tersisa. Dan ia, telah senja.

Minimnya warga yang tertarik menggeluti kain tenun Kluwung Gendong disebabkan harganya yang rendah. Tiap lembar kain ini dihargai sekitar Rp100 ribu.

Padahal proses pengerjaan rumit, dimulai dari bahan baku yang masih berupa kapas kemudian melalui beragam proses hingga tercipta satu lembar kain.

Proses awal tenun dimulai dari Kantih. Di sudut rumahnya, Kusminah memintal kapas untuk dijadikan benang. Butuh waktu yang panjang, sebab perlu kehati-hatian agar benang bisa satu ukuran dan tidak putus di tengah jalan.

Tangan tua Kusminah sudah lihai memintal benang. Keahlian yang diturunkan dari orangtuanya sudah mendarah daging, tidak ada kesalahan produksi saat ia memintal benang.

"Benten kalih batik, Kluwung niki benange sing diwarna, sanes kaine," ujar Kusminah menjelaskan proses selanjutnya.

Berbeda dengan batik, proses pewarnaan Kluwung ada pada benang. Benang diwarna sesuai motif yang diinginkan. Baru setelah itu, masuk ke proses penenunan.

Benang ikat (pakan) dimasukan secara melintang pada benang motif (lungsin) yang telah dipasang sejajar sesuai lebar kain yang diinginkan. Proses tenun ini lebih dikenal dengan nama nganyam, teknik anyaman yang biasa dipakai warga Tajug ialah anyaman polos.

Proses tenun inilah yang memakan waktu paling panjang. Butuh waktu seharian bagi Kusminah duduk di depan alat tenunnya untuk meghasilkan tenun Kluwung sederhana dengan panjang sekitar dua meter lebar 60 sentimeter.


Ragam Busana Kain Tenun Kluwung

Kain tenun Kluwung Desa Tajug, Purbalingga dengan ragam fungsi yang kekinian. (Foto: Liputan6.com/Humas PBG/Galoeh Widura)

Harga jual rendah dengan ongkos produksi yang tinggi menyebabkan keahlian Kusminah tidak diminati kaum muda. Selain itu, kain Tenun Kluwung kalah pamor dengan tenun daerah lain yang sudah menjadi ciri khas atau representasi budaya suatau daerah, seperti Tenun Sika, Nusa Tenggara Timur dan Tenun Ikat Troso, Jepara.

Dibandingkan keduanya, Tenun Kluwung bermotif lebih sederhana dengan pola lurus berwarna putih, biru, dan hitam. Ragam motif ini pula yang kelak harus diperbaiki oleh para perajin agar aksen kultural daerah bisa terwakili dalam selembar kain.

Selain itu, perlu dorongan dari pemerintah desa hingga kabupaten agar Kain Kluwung digunakan sebagai bagian dari atribut busana daerah. Saat roadshow UMKM, Bupati Puralingga, Dyah Hayuning Pratiwi pun mengaku baru tahu ada kain tenun khas Purbalingga.

Dia berkomitmen agar potensi Tenun Kluwung tidak terkubur zaman. Spontan saat memberikan sambutan, Tiwi meminta Dinas Koperasi dan UKM Purbalingga mendamipingi dan membina perajin kain yang tinggal segelintir ini. Dia pun berjanji bakal memberi bantuan alat tenun.

"Ini saya baru tahu, katanya dulu jaman penjajahan Jepang kain kluwung ini sudah terkenal. Saya minta tolong kepala Dinkop UKM untuk bisa membantu pengembangannya, baik proses maupun pasar. Saya lihat ini punya potensi yang bagus," ucap Tiwi.

Kades Tajug, Kuswoyo meminta bantuan bahan baku kapas yang kualitasnya bagus sehingga kain tenun Kluwung yang dihasilkan lebih halus. Disamping itu, pemerintah desa berencana membentuk kelompok pelatihan yang diisi anak-anak dan kaum muda untuk berlatih menenun.

Kepala Bidang UMKM Dinas Koperasi dan Usaha Mikro dan Kecil Purbalingga, Adi Purwanto mengatakan ada pula penenun yang butuh perhatian di desa lain. Tepatnya, di desa Tumanggal Kecamatan Pengadegan.

Tetapi, di sana sudah tidak lagi menghasilkan kain tenun. Yang tersisa hanya proses antihan untuk menghasilkan benang.

"Mereka hanya memproduksi benang antihan untuk dikirim ke Pekalongan guna dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan kain tenun," ucap Adi.

Untuk meningkatkan pemasaran, Dinkop UKM Purbalingga mendorong pembuatan variasi ukuran dan ragam fungsi. Tidak hanya untuk untuk kain gendong, kain tenun Kluwung juga dibuat cindera mata dan syal penghangat leher.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya