Hendri (45) sopir pengganti pada Metromini T-53 jurusan Kampung Melayu-Kampung Rambutan saat mencari penumpang di kawasan Otista, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Hari menjelang sore, waktu menunjukkan hampir pukul 16.00 WIB, namun kursi-kursi belum juga terisi penumpang. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)
Sejumlah penumpang menyaksikan pengamen di dalam Metromini T-53, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Saat ini, eksistensi moda transportasi yang pernah menjadi andalan warga Jakarta sejak era 1970 an terus terlindas roda persaingan angkutan dan kemajuan zaman. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)
Warga menaiki Metromini P-07 jurusan Pasar Senen-Semper di kawasan Cempaka Mas, Jakarta, Rabu (13/11/2019). Beberapa faktor menjadi alasan warga untuk beralih menggunakan moda transportasi lain dan mulai meninggalkan Metromini yang awalnya dikenal dengan sebutan bus Merah ini. (merdeka.com/Iqbal Nug
Bus Transjakarta melintasi armada Metromini S-69 yang menunggu penumpang di Terminal Blok M, Jakarta, Rabu (13/11/2019). Kenyamanan dan ketepatan waktu keberangkatan menuju tujuan menjadi salah satu faktor beralihnya warga menggunakan moda transportasi selain Metromini. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)
Refleksi pengemudi Metromini T-53, Joni (43) di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Ekspansi bus Transjakarta, merebaknya moda trasportasi daring, ketatnya regulasi yang dikeluarkan Dishub DKI Jakarta semakin menggerus pendapatan para sopir Metromini. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)
Penumpang duduk di Metromini S-69, Terminal Blok M, Jakarta, Rabu (13/11/2019). Pada masa jayanya, penghasilan pengemudi Metromini cukup menggiurkan, Rp500.000,- per hari bisa mereka kantongi, kini bersama meredup moda transportasi ini penghasilan mereka pun ikut turun. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)
Metromini P-07 jurusan Pasar Senen-Semper melintas di kawasan Cempaka Mas, Jakarta, Rabu (13/11/2019). Uang setoran Rp250.000,- yang wajib mereka berikan kepada pemilik, ditambah kebutuhan solar Rp200.000,- per harinya membuat pengemudi Metromini harus memutar otak. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)
Sianipar (62) tertidur di bangku kemudi saat beristirahat sambil menunggu penumpang di Terminal Blok M, Jakarta, Rabu (13/11/2019). Kakek dua cucu ini mengaku pernah hanya mengantongi uang Rp20.000 dari seharian mengemudikan Metromini S-69 jurusan Ciledug-Blok M. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)
Ojek daring melintas beriringan dengan Metromini P-07 di kawasan Cempaka Mas, Jakarta, Rabu (13/11/2019). Pengemudi Metromini S-69, Sianipar (62) mengatakan saat ini dirinya maksimal mampu mengumpulkan Rp100.000,- per hari hasil membawa penumpang dengan Metromini S-69. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)
Kondisi Metromini B-80, Jakarta, Kamis (14/11/2019). Sianipar (62) pun menjelaskan kalau dirinya harus bertahan hingga pukul 22.00 WIB ke atas untuk mencari sisa penumpang bus Transjakarta, khususnya MetroTrans yang pada jam-jam tersebut sudah tidak beroperasi. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)
Dedi (39), pengemudi Metromini T-506 menghitung pendapatannya di Pondok Kopi, Jakarta, Rabu (13/11/2019). Pria yang sudah menggeluti profesi pengemudi Metromini sejak 1994 mengalami nasib yang tak kalah pilu, ia mengaku hanya mampu mendapat paling tinggi Rp100.000,-. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)
Petugas Dishub DKI menghentikan laju Metromini S-69 di kawasan Blok M, Jakarta, Rabu (13/11/2019). Awal 2016 atau pada era kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menjadi fase kelam Metromini, ratusan armada mulai dikandangkan karena terganjal izin operasi. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)
Kondisi Metromini T-17 yang dipenuhi tumbuhan liar di Pool Rawa Buaya, Kamis (14/11/2019). Sejak 2016, ratusan bangkai Metromini dijual ke pengusaha pemotongan besi dengan harga paling tinggi Rp 12 juta per unit. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)
Pekerja memotong salah satu bagian Metromini, Jakarta, Kamis (14/11/2019). Kini pemilik dan pengemudi Metromini hanya pasrah dengan kenyataan pahit yang makin mengimpit, terlebih muncul wacana Dishub DKI Jakarta akan menghentikan operasi moda transportasi ini pada 2020. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)