Suara DPD II Dinilai Bisa Gagalkan Pemilihahan Aklamasi di Munas Golkar

Pangi mencontohkan Munas Golkar tahun 2004. Kala itu Akbar Tandjung sebagai calon ketua umum Golkar, sangat percaya diri karena sudah memegang penuh suara DPD I. Namun, Akbar kalah dari Jusuf Kalla Yang bergerilya mendekati DPD II.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Nov 2019, 13:16 WIB
Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Politikus Partai Golkar Bambang Soesatyo Tampak Berfoto Bersama Saat Menghadiri Acara Malam Anugerah Penghargaan Untuk Calon Legislatif Terpilih Periode 2019-2024 di Hotel Ritz Calton, Mega Kuningan, Jakarta, Minggu (15/9/2019). (Foto: Merdeka.com)

Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 514 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) II diharapkan tidak terjebak manuver DPD I yang menginginkan aklamasi pada Munas Golkar mendatang. Sementara DPD I tingkat Provinsi cuma berjumlah 34. 

Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago mengatakan dengan jumlah 514, pengurus Golkar tingkat kabupaten/kota itu menjadi pemilik suara yang paling signifikan dalam Munas Golkar. Sedangkan DPD I tingkat provinsi cuma berjumlah 34.

"Kalau ada kandidat ketua umum yang sudah sangat percaya diri terpilih karena didukung mayoritas DPD I, jelas hal tersebut keliru," ujar Pangi di Jakarta, Senin (18/11/2019) seperti dilansir dari Antara.

"Demikian juga, DPD II jangan mau terjebak manuver DPD I yang diduga sudah masuk angin, untuk mengatasnamakan dukungan bulat jajaran DPD II di provinsinya untuk aklamasi pemilihan ketua umum di Munas Golkar yang akan datang," sambungnya.

Pangi mencontohkan Munas Golkar tahun 2004. Kala itu Akbar Tandjung sebagai calon ketua umum Golkar, sangat percaya diri karena sudah memegang penuh suara DPD I.

Namun, Akbar akhirnya dikalahkan oleh Jusuf Kalla Yang bergerilya mendekati DPD II.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 


Pengalaman Tahun 2004

Pengalaman pada 2004 tersebut, kata Pangi, menjadi gambaran bagaimana Munas Golkar selalu dinamis, dengan soliditas DPD II sebagai faktor penentu pemenangan calon ketua umum.

"DPD II selalu menjadi 'silent majority' yang ketika solid mendukung seorang calon tertentu sangat bisa membalikkan keadaan awal yang sebelumnya didominasi 'vocal minority' seperti DPD I," ujar dia.

Dengan kekuatan yang sangat signifikan tersebut, lanjut Pangi, DPD II harus menyuarakan suara mereka secara independen demi perbaikan dan eksistensi partai ke depan.

"Jangan mau suara DPD II diklaim, apalagi 'dibeli' oleh DPD I," ujar Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya