Liputan6.com, Aceh - Pegiat sejarah dan budaya menyayangkan adanya pembangunan hotel yang bersisian dengan kompleks salah satu makam sultan Aceh. Pemerintah kota pun diminta segera bertindak karena keberadaan hotel tersebut dinilai telah mencederai kesakralan situs cagar budaya tersebut.
Makam Sultan Jamalul Alam Badrul Munir berada tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman, tepatnya di kawasan jalan Mohammad Jam, di belakang kompleks pertokoan dan tembok sebuah kantor pemerintahan. Gapura makam ini diapit di antara bangunan yang ada di pinggir jalan.
Baca Juga
Advertisement
Melalui gapura tersebut, para peziarah akan melewati sebentuk gang yang di atasnya berdiri meja dan kursi milik sebuah warung mi bakso. Keberadaan warung mi bakso ini telah lama ditentang karena berjualan tepat di akses utama menuju ke makam.
Warung mi bakso itu sempat mengalami kebakaran pada Sabtu (9/11/2019), bertepatan dengan 12 Rabiulawal 1441 atau hari perayaan maulid. Namun, belakangan, warung tersebut telah beraktivitas sebagaimana biasanya.
Ketua Peubeudoh Sejarah Adat Budaya Aceh (Peusaba), Mawardi Utsman, menuding Pemerintah Kota Banda Aceh tidak berinsiatif melindungi situs bersejarah tersebut karena membiarkan orang berjualan di atas jalan yang masih menjadi bagian dari kompleks makam. Terlebih lagi, saat ini tengah dibangun sebuah hotel di samping makam tersebut.
Pembangunan hotel ini telah dikerjakan sekitar dua atau tiga bulan belakangan. Utsman mengaku miris mengingat toilet hotel tersebut berada di samping makam sultan dari wangsa Syarif itu.
"Di samping makam didirikan toilet kemudian di depannya sudah didirikan bangunan hotel, sedangkan toilet hotel dibangun mengarah ke makam Sultan Jamalul Alam Badrul Munir persis mengarah di depan makam," jelas Mawardi kepada Liputan6.com, Senin malam (18/11/2019).
Bagi Utsman, jika dibiarkan dalam kondisi seperti itu, lama kelamaan keberadaan situs bersejarah tersebut semakin terlupakan. Mengingat lagi, beberapa peziarah asal negeri jiran sering salah sangka dan menduga bahwa makam Sultan Jamalul Alam Badrul Munir adalah tembok pagar sebuah kantor pemerintahan yang berdempetan dengan makam.
"Kekurangajaran yang demikian akan membawa malapateka dan bala bencana bukan saja untuk yang membangun tempat untuk menghina makam keturunan Nabi Muhammad (ahlulbait) namun juga untuk orang yang tahu tapi memilih berdiam diri," tegasnya.
Minta Nama Jalan Diubah
Hal lain yang menurut Utsman tak kalah ironis ialah pemberian nama jalan 'Mohammad Jam' atau sering disingkat Mohd Jam yang dinilai telah mengaburkan identitas sang sultan. 'Jam' di sini sebenarnya singkatan dari Jamalul Alam Badrul Munir, sebagai bentuk penghargaan kepada sultan tersebut.
Pemberian nama jalan ini mengacu pada Perda Kotamadya Banda Aceh No 4 Tahun 1985 untuk menjadikan nama tokoh atau pahlawan di Aceh sebagai nama jalan utama. Namun, selama ini banyak yang mengira bahwa jalan Mohd Jam merujuk nama salah seorang tukang jam.
"Seharusnya tidak disingkat jam begitu, dipikir itu orang tukang reparasi jam," ketus Utsman.
Jika mengikuti perda, harusnya penulisan nama jalan tersebut ditulis dengan lengkap, jelas, dan dapat dimengerti. Agar, orang-orang tidak salah dalam menafsirkan siapa tokoh di balik nama tersebut.
"Supaya tidak menyesatkan generasi muda, yang biasanya kurang peduli pada sejarah," imbuhnya.
Advertisement
Siapa Sultan Jamalul Alam Badrul Munir?
Sultan Jamalul Alam Badrul Munir merupakan salah satu sultan pada masa kerajaan Aceh Darusalam. Ia disebut sultan ke-20, sebagian mengatakan ke-21, dan memerintah sejak tahun 1704 masehi.
Ketika memasuki kompleks makam, peziarah akan menemui tiga buah nisan, yang dua di antaranya saling berdampingan, di bawah sebentuk cungkup beton. Di dinding tertera plakat berikut penjelasan bahwa nisan-nisan tersebut milik Sultan Jamalul Alam Badrul Munir.
Dijelaskan bahwa sejak sang sultan memerintah para penduduk makmur sentosa. Kepemimpinannya kelak tidak disenangi oleh seorang panglima sagi, maka, terjadilah pemberontakan pada 1708-1726 masehi yang menyebabkan Jamalul Alam Badrul Munir eksodus ke Pidie.
Belakangan, ia diangkat Maharaja Lela menjadi sultan pada tahun 1727-1735 masehi. Ketika Maharaja Lela mangkat, terbetik niatnya untuk merebut takhta kerajaan, tetapi, Jamalul Alam Badrul Munir mendapat perlawanan dari Pocut Ue, putera Maharaja Lela yang telah dinobatkan sebagai pengganti ayahnya tahun 1735 masehi.
Simak video pilihan berikut ini: