Liputan6.com, Jakarta - Senator Amerika Serikat Josh Hawley menyerukan perusahaan teknologi AS untuk tidak menyimpan data pengguna atau kunci enkripsi di Tiongkok.
Hal ini tercantum pada proposal Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan Keamanan Nasional Amerika Serikat yang baru saja diumumkan. Demikian dikutip dari Engadget, Selasa (19/11/2019).
Baca Juga
Advertisement
Selain itu, dia juga berencana untuk mencegah perusahaan-perusahaan Tiongkok mengumpulkan lebih banyak informasi dari pengguna Amerika ketimbang yang seharusnya diperlukan.
Perubahan itu mungkin akan berdampak ke perusahaan seperti Apple dan TikTok. Disebutkan bahwa Apple mulai menyimpan akun iCloud pengguna Tiongkok di pusat data Tiongkok pada tahun lalu.
Ada pula kekhawatiran bahwa perusahaan induk TikTok, ByteDance, akan mendapat tekanan dari pemerintah Tiongkok. Namun, TikTok membantah tuduhan itu.
UU Perlindungan Data Pribadi di Indonesia
Sama seperti AS, Indonesia juga sedang bergerak ke arah UU Perlindungan Data Pribadi seiring dengan perkembangan tren big data. Saat ini banyak pihak mengumpulkan data dalam jumlah besar, baik untuk kepentingan pribadi, swasta atau negara.
"Urgensi UU Perlindungan Data Pribadi di Indonesia sangat besar karena hari ni ada sebuah situasi yang disebut sebagai mode sistem data intensif yaitu semua orang ingin mengumpulkan data dalam jumlah besar, baik dari kalangan pemerintah atau swasta," tutur peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, Wahyudi Djafar, dalam acara Dialog Nasional ID-IGF 2017 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat (27/10/2017).
Dijelaskan Wahyudi, Indonesia termasuk salah satu bagian kecil dari negara-negara yang belum memiliki aturan khusus untuk melindungi data pribadi warga negaranya, termasuk di wilayah Asia Tenggara. Padahal saat ini ada tren big data, yaitu pengumpulan data yang kian meningkat.
Advertisement
Potensi Penyalahgunaan Data Pribadi
Big data memang memiliki tujuan untuk membuat sebuah industri dan negara menjadi lebih baik, tapi di sisi lain memunculkan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan data pribadi.
Menurutnya, peluang penyalahgunaan data pribadi semakin besar dengan banyaknya aturan yang memberikan ruang bagi institusi pemerintah ataupun swasta untuk mengumpulkan dan membuka data-data pribadi.
"Karena itu kita memerlukan UU khusus untuk online dan offline seperti untuk kesehatan, catatan sipil, telekomunikasi, media dan berbagai hal lainnya. Dengan adanya UU ini, paling tidak bisa mengatur jenis-jenis data pribadi yang bisa dikumpulkan, data yang sensitif dan harus dilindungi, model pengumpulan data, proses sampai penghancuran data," tuturnya.
(Tin/Why)