Pengusaha Ajak Kemenkes Dialog soal Rencana Revisi PP 109/2019

Pengusaha Ajak Menkes Berdialog soal Rencana Revisi PP 109/2019

oleh Septian Deny diperbarui 19 Nov 2019, 11:26 WIB
Seorang pria meneteskan cairan vape atau rokok elektronik di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Pemerintah melalui BPOM mengusulkan pelarangan penggunaan rokok elektrik dan vape di Indonesia, salah satu usulannya melalui revisi PP Nomor 109 Tahun 2012. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Asosiasi Vaper Indonesia (AVI), Johan Sumantri, mengatakan pihaknya ingin melakukan dialog dengan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto. Ini terkait rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan,

Johan mengatakan pihaknya ingin membahas soal poin revisi yang berhubungan dengan masalah larangan rokok elektrik. Sebab, sampai saat ini, para asosiasi rokok elektrik belum diajak berdiskusi bersama untuk menyampaikan pendapatnya. 

“Kami ingin sekali bisa berdialog langsung dengan Bapak Menkes untuk membahas mengenai masalah rokok elektrik yang terancam untuk dilarang. Sebagai konsumen, kami ingin Bapak Menkes mendengar aspirasi kami agar bisa membuat keputusan yang tepat,” kata Johan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (19/11/2019).

Dengan berdialog langsung, lanjut Johan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan memperoleh informasi yang akurat mengenai rokok elektrik dari sisi konsumen. Karena, informasi yang beredar mengenai rokok elektrik saat ini lebih kepada sisi negatif produk tersebut.

“Padahal, di sejumlah negara maju seperti Inggris dan Selandia Baru, rokok elektrik menjadi salah satu alternatif bagi perokok dewasa yang ingin beralih ke produk tembakau yang lebih rendah risiko. Harusnya para perokok dewasa disini juga memiliki hak untuk mendapatkan pilihan untuk beralih ke produk tersebut,” jelasnya.

Johan melanjutkan untuk menanggapi berita negatif yang beredar, seharusnya Kemenkes dan lembaga-lembaga terkait melakukan kajian ilmiah yang komprehensif mengenai rokok elektrik terlebih dahulu. Kajian ilmiah tersebut kemudian dijadikan acuan dalam membentuk regulasi dan standar produk bagi rokok elektrik yang sesuai dengan karakteristik produk dan profil risikonya. 

“Kami yakin Bapak Menkes terbuka terhadap inovasi dan teknologi yang dapat memberikan perlindungan terhadap kesehatan publik. Kami, sesama anggota asosiasi, juga selalu mengingatkan bahwa rokok elektrik ini hanya ditujukan untuk perokok dewasa, bukan anak di bawah umur 18 ahun atau ibu hamil dan menyusui,” ucapnya. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Dampak Penyalahgunaan

Barang bukti hasil penindakan barang kena cukai di Kantor Pusat Bea Cukai, Jakarta, Jumat (25/10/2019). Petugas mengamankan 8.074.940 batang rokok, 135.270 batang rokok elektrik, 21.650 gram tembakau iris, 2.700 batang cerutu, hingga 228 botol miras tanpa pita cukai. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Ia juga menambahkan bahwa pihaknya memperkirakan rencana revisi tersebut lantaran maraknya kasus kesehatan yang diakibatkan oleh penyalahgunaan rokok elektrik di Amerika Serikat.

Namun, yang perlu dikaji lebih dalam oleh Kemenkes adalah penyebab utama dari penyalahgunaan produk tersebut, yakni adanya pencampuran zat Tetrahidrokanabinol (THC), komponen yang terdapat pada ganja, dan vitamin E asetat pada cairan rokok elektrik.

“Inti masalah penyalahgunaan pada rokok elektrik tersebut yang harus dipahami, bukan kemudian langsung melarang tanpa ada kajian yang jelas,” tambah Johan. 

Di Indonesia, AVI memiliki kode etik bagi para anggotanya agar kasus penyalahgunaan tersebut dapat dihindari.

“Kami memiliki komitmen agar produk ini tepat sasaran dan guna, terutama bagi perokok dewasa. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang rokok elektrik, sehingga mereka bisa menentukan pilihan jika ingin beralih ke produk tembakau yang memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah. Jika ada ditemukan penyalahgunaan, itu lebih kepada oknum yang tidak bertanggungjawab dalam menggunakan produk ini,” tambah Johan. 

Apabila Kemenkes tetap melanjutkan rencana revisi, Johan mengaku khawatir konsumen yang akan paling dirugikan. Sebab, kebijakan tersebut nantinya membatasi konsumen untuk mendapatkan informasi yang akurat, menjangkau, dan menggunakan rokok elektrik. Pembatasan bakal membuat perokok dewasa tidak mengetahui adanya produk alternatif tersebut. Apalagi saat ini, pengguna rokok elektrik di Indonesia sudah mencapai satu juta orang. 

“Sangat disayangkan jika nantinya satu juta pengguna rokok elektrik tersebut kembali menggunakan rokok,” tegas Johan. 

Sebelumnya, Public Health England, divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, mengeluarkan penelitian yang berjudul Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Products 2018. Hasil penelitian itu membuktikan bahwa produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik memiliki risiko kesehatan 95 persen lebih rendah daripada rokok.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya