Liputan6.com, Jakarta Stigma terhadap orang dengan vitiligo hingga kini masih ada. Masih banyak orang yang enggan bersentuhan dan bersalaman dengan orang vitiligo karena takut menular. Padahal, vitiligo adalah penyakit kulit yang tidak menular.
"Vitiligo itu tidak menular, jadi tidak ada alasan untuk tidak bersalaman atau bersentuhan dengan orang vitiligo," saran dr Dian Pratiwi SpKK, FINSDV, FAADV dari Klinik Spesialis Kulit dan Kelamin Pramudia Jakarta.
Advertisement
Pada kondisi normal, warna kulit, rambut serta mata ditentukan oleh pigmen bernaman melanin. Sementara, pada orang dengan vitiligo sel-sel yang membentuk melanin berhenti berfungsi atau mati. Itu sebabnya salah satu ciri utama orang vitiligo adalah munculnya bercak-bercak warna putih susu.
"Biasanya, perubahan warna pertama kali terlihat pada area yang terpapar sinar mathari seperti tangan, kaki, lengan, wajah dan bibir," kata Dian dalam temu pers di Jakarta Pusat, Rabu (20/11/2019).
Hingga kini, penyebab pasti vitiligo belum bisa diketahui. Namun, banyak bukti yang menunjukkan bahwa berbagai mekanisme seperti kelainan metabolik, stres oksidatif, respons autoimun, dab faktor genetik berkontribusi pada timbulnya penyakit ini."
Faktor genetik bisa jadi penyebab timbulnya. Misalnya salah satu orangtua kena vitiligo, maka anak 25 persen bisa kena, kalau kedua orangtua ada vitiligo maka kemungkinan anak kena 50 persen, tapi belum tentu juga anak terkena vitiligo," kata CEO Klinik Pramudia yang juga dokter spesialis kulit dan kelamin Anthony Handoko di kesempatan yang sama.
Saksikan juga video menarik berikut
Tidak Menular tapi Berisiko Depresi
Meski tidak menular dan tidak mengancam nyawa, Dian mengatakan orang dengan vitiligo, kerap tidak percaya diri. Bahkan tidak sedikit yang mengalami stres.
"Angkanya itu, orang dengan vitiligo itu lima kali lebih mungkin lebih depresi daripada orang yang tidak vitiligo," kata Dian.
Padahal, faktor stres juga turut memengaruhi perluasan atau munculnya lesi vitiligo baru. Maka, sebaiknya orang dengan vitiligo bisa mengatur tingkat stresnya.
"Maka perlu secara mental siap menerima. Malah dari pengalaman kami, pasien yang tidak terlalu memikirkan banget-banget perbaikannya cepat," kata Anthony.
Advertisement