Liputan6.com, Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme RI (BNPT) membuka peluang kerja sama dengan lembaga pencegahan ekstremisme Denmark, termasuk dalam hal teknis, pertukaran informasi dan intelijen, hingga saling berbagi praktik-praktik terbaik (best practices).
"Bentuk kerja sama dengan Denmark bisa berupa pertukaran informasi dan intelijen, penguatan aspek penegakan hukum, hingga peningkatan kapasitas," kata Deputi Kerjasama Internasional BNPT, Andhika Chrisnayudhanto kepada sejumlah jurnalis di Jakarta selepas seminar 'Countering and Preventing Violent Extremism and Radicalization – A Danish Perspective', Rabu (20/11/2019).
Dalam seminar, Danish Centre for Prevention of Extremism (the Centre) menjabarkan bahwa pihaknya memiliki berbagai 'keunggulan' operasional yang dianggapnya sebagai nilai plus untuk mencegah ekstremisme yang berpotensi menjadi terorisme, berupa; kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up yang apik hingga koordinasi antar-lembaga kepentingan yang terbebas dari ego-sektoral.
"Pelajaran seperti itu yang bisa dipetik," kata Andhika, "Namun, semua upaya yang kita lakukan di Inodnesia tetap harus disesuaikan dengan konteks lokalnya," katanya.
Baca Juga
Advertisement
Meski kedua negara memiliki persoalan serupa, namun sejumlah perbedaan seperti jumlah populasi, faktor sosial, hingga aspek hukum yang bersifat teknis, menjadikan Indonesia harus mengadopsi kembali 'cara Denmark' untuk disesuaikan dengan konteks lokal.
Misalnya, populasi muslim di Denmark --yang menyusun hampir 80 persen dari total kasus ekstremisme di sana selama beberapa tahun terakhir-- merupakan kelompok minoritas, sehingga, memudahkan otoritas lokal dan komunitas dalam melakukan langkah-langkah intervensi dan pemberian program re-edukasi anti-ekstremisme.
Sebaliknya, populasi muslim di Indonesia membentuk lebih dari 80 persen total penduduk. Sementara, ada jurang perbandingan yang besar antara sumber daya penegak hukum dan pekerja sosial yang bisa melakukan pendekatan bottom-up seperti di Denmark.
"Oleh karenanya, pemerintah memutuskan bahwa mayoritas upaya kontra-kekerasan berbasis ekstremisme dilakukan oleh negara," kata Andhika, merujuk pada klausul dalam UU No 5 Tahun 2018 Tentang Tindak Pidana Terorisme.
Sementara itu, dalam kesempatan serupa, Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Rasmus Abildgaard Kristensen mengatakan bahwa seminar tersebut "membuka peluang kerja sama yang baik dan membangun rasa percaya antar-otoritas RI dan Denmark yang menghadapi persoalan serupa dalam hal warga negara yang menjadi simpatisan teroris asing."
BNPT RI sejauh ini memiliki 16 negara mitra wicara, termasuk dengan Amerika Serikat dan Australia, untuk saling berbagi informasi, intelijen hingga penguatan hukum dan kapasitas. Komitmen kerja sama itu selalu diremajakan setiap tahunnya melalui konsultasi bilateral antar-pemangku kepentingan antara RI dengan negara mitra dalam hal pencegahan ekstremisme dan terorisme.
Terkait potensi kerja sama dengan Denmark, Andhika berharap agar kedua negara dapat mencapai kesepakatan untuk bekerjasama menangani radikalisme melalui penandatangan nota kesepahaman atau Memorandum Kesepahaman (MoU).
Seminar tersebut mengahadirkan sejumlah pembicara, termasuk Direktur dan Wakil Direktur Pusat Pencegahan Ekstremisme Nasional Denmark, Karin Ingemann dan Stine Strohbach, Konsultan untuk unit pencegahan terorisme dan ekstremisme kekerasan Kopenhagen VINK, Muhammad Ali Hee, Direktur Institute for Policy Analysis and Conflict Sidney Jones, Deputi Bidang Kerjasama Internasional BNPT, Andhika Chrisnayudhanto, Kriminolog Leopold Sudaryono, dan dosen dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti.