Wawancara Eksklusif Bank Dunia: Antara Karakter Indonesia dan Pendidikan Finlandia

Bank Dunia menyebut Indonesia tidak perlu meniru sistem pendidikan Finlandia yang santer disebut terbaik di dunia. Mengapa?

oleh Tommy K. Rony diperbarui 22 Nov 2019, 18:00 WIB
Direktur Global Bank Dunia Bidang Pendidikan Jaime Saveedra (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Dewasa ini, sistem pendidikan Finlandia selalu memunculkan kesan positif di Indonesia. Rasa kagum itu tepat adanya karena pendidikan di Finlandia memang nomor satu di dunia. 

Pertanyaan selanjutnya, apakah Indonesia harus mencontoh sistem Finlandia? Ternyata, Bank Dunia tidak menyarankan hal tersebut. 

Direktur Global Bank Dunia di Bidang Pendidikan, Jaime Saveedra, menjelaskan yang harus dicontoh bukanlah pendidikan atau kurikulum Finlandia saat ini, melainkan prosesnya.

"Ini bukan tentang apa yang Finlandia kerjakan sekarang, melainkan lebih kepada proses yang dijalani Finlandia dalam 25 tahun terakhir. Itulah yang perlu kita pelajari, bukan mengikuti mereka yang sekarang," ucap Jaime Saveedra kepada Liputan6.com di Kantor Bank Dunia, Jakarta. 

Dalam perbincangan bersama Jaime Saveedra, pembahasan juga melibatkan soal pajak bagi dunia pendidikan, karakter murid Indonesia, pentingnya solidaritas dalam pendidikan, serta mengingatkan agar tidak meremehkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). 

Dan berikut wawancara Liputan6.com bersama Direktur Global Bank Dunia di Bidang Pendidikan, Jaime Saveedra. 

(Artikel ini adalah bagian kedua dari wawancara bersama Jaime Saveedra, klik di sini untuk membaca bagian pertama: Jangan Sampai Anak Berbakat Tak Sekolah Akibat Miskin )

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Pajak untuk Pendidikan

Menteri Keuangan Sri Mulyani saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Gedung Nusantara I, Jakarta, Senin (4/11/2019). Ini merupakan rapat perdana Menkeu dengan Komisi XI DPR RI. (Liputan6.com/JohanTallo)

Saya membaca twit Anda kemarin, dan Anda mengatakan rasio pajak di negara-negara berpenghasilan bawah (low-income) kurang dari 15 persen dari GDP. Anda berkata jumlah itu tidak cukup untuk menyediakan basic bagi pendidikan dan kesehatan.

Di Indonesia pajaknya hanya 11 persen. Menurut Anda berapa pajak yang ideal untuk meng-cover pendidikan?

Saya tidak akan lompat ke angka, tetapi di kebanyakan negara, 15 persen atau kurang, tidak akan cukup untuk meng-cover dan menyediakan pelayanan berkualitas. Tak hanya di pendidikan, namun juga layanan kesehatan berkualitas, pendidikan berkualitas, jaminan sosial berkualitas, serta perawatan manula yang berkualitas. 

Kamu lihat di negara maju, di negara kaya, tak ada negara kaya dengan rasio pajak hanya 15 persen. Mereka punya 25 persen, 30 persen, 45 persen, dan itu merupakan pilihan sosial, dan tiap negara perlu menemukan jalan masing-masing. 

Tetapi poin kuncinya adalah kamu perlu memastikan bahwa semua sekolah mendapatkan pelayanan berkualitas. Dan ada layanan kesehatan universal untuk semuanya, dan tak ada manula yang miskin. Untuk memastikan itu kamu perlu mengumpulkan pajak. Tidak ada sihir. Hal itu datang dari sumber daya domestik.

Jadi kita lihat banyak negara yang raiso pajaknya lebih rendah dari yang kamu sebut, dan negara-negara itu harus meningkatkan mobilisasi sumber daya domestiknya.

Mobilisasi sumber daya domestik? 

Yang dalam praktiknya umumnya merupakan pemungutan pajak.

Anda sempat bilang mengelola uang rakyat (yang dipungut lewat pajak) bagaikan memegang api, tetapi tidak di Indonesia. Uang rakyat tetaplah uang, bahkan mungkin emas. Tak ada yang memandangnya seperti api.

Tidak. Jika kamu tidak mengelolanya dengan baik, maka kamu akan dituduh korupsi.

Mungkin demikian di negara maju.

Di sini juga kelak akan demikian, karena kamu mengelola uang yang bukan milikmu. Jika saya seorang pengusaha dari sektor swasta, oke saya punya uang, jika saya memakainya, menginvestasikannya, lalu saya melakukan kesalahan, maka itu tetap masalah saya sendiri.

Jika kita berbuat kesalahan dengan uang rakyat, maka akibatnya lebih rumit.


Solidaritas dan Karakter

Presiden Jokowi didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Menkeu Sri Mulyani menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Daftar Alokasi Transfer Daerah serta Dana Desa Tahun 2020 kepada Mendikbud, Nadiem Makarim di Istana Negara, Kamis (14/11/2019). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Orang Indonesia suka membahas kebudayaan. Jika Anda membahas tentang budaya mereka menyukainya. Anda pernah bilang mempelajari pursuit of excellence dari Ibu Anda, lalu belajar soal solidaritas dari Bapak Anda. Mengapa solidaritas? Saya paham mengenai pursuit of excellence, namun apa hubungan solidaritas dengan pendidikan?

Saya mengatakan itu karena mendiang Bapak saya adalah dokter. Dokter anak. Dia adalah dokter anak di Rumah Sakit Tentara, dan dia terkenal peduli dengan anak-anak tentara ketimbang anak-anak jenderal.

Pada dasarnya karena para tentara tersebut belum tentu punya uang untuk merawat anak-anak mereka. Jadi Bapak saya sangat peduli pada hal tersebut.

Dalam pendidikan, kita harus memastikan semua orang mendapat pendidikan terlepas dari dia punya uang atau tidak.

Mengenai hubungannya dengan pendidikan, alasannya tepat karena apa yang saya sebutkan sebelumnya. Dalam pendidikan, kita harus memastikan semua orang mendapat pendidikan terlepas dari dia punya uang atau tidak.

Solidaritas datang dari pajak yang kamu pungut. Lewat pajak tersebut, kamu perlu memberikan pendidikan. Tapi kamu harus menyediakan pendidikan yang memastikan orang miskin dan orang kaya memiliki peluang untuk mendapat pendidikan berkualitas bagus.

Di situlah peran solidaritas. Negara harus mengorganisir dirinya dan memastikan semua orang mendapat pendidikan berkualitas.

Kapan saat yang tepat untuk mengajarkan karakter? Apakah di level Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)? 

Mulainya di hari pertama. Sebetulnya, mulainya di rumah, kemudian di PAUD. Bukan dimulainya di pelajaran Kewarganegaraan pada pendidikan sekunder.

tetapi guru lewat teladannya juga mengajarkan kemampuan sosial-emosional dan nilai-nilai kepada anak setiap harinya.

Anda mulai membangun karakter dan menanamkan nilai-nilai kepada seseorang terkait kepedulian, terkait solidaritas, kamu bisa mengajarkannya kepada anak berusia empat tahun. Ajarkan dengan teladan. Jadi yang berperan adalah orang tua di rumah dan guru PAUD juga punya tugas tersebut. 

Itulah kenapa tugas mengajar sangat berat. Mengajar, baik itu untuk anak empat tahun atau murid sekolah menengah, tidak hanya sekadar mengajar matematika atau membaca atau mengajar sains.

Tentunya pelajaran tersebut penting, tetapi guru lewat teladannya juga mengajarkan kemampuan sosial-emosional dan nilai-nilai kepada anak setiap harinya. Itu dimulai dari hari pertama.

 


Jangan Remehkan PAUD

Ibu Negara Iriana Jokowi dan Mufidah Jusuf Kalla mengunjungi PAUD Putra Pertiwi di Kelurahan Gilingan, Solo, Kamis (5/9).(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Jadi pada kurikulum PAUD prioritasnya adalah karakter?

 Ya, satu hal adalah karakter. Bermain juga sangat penting. Kita harus memperhatikan skill apa yang bisa anak itu kembangkan pada usia dini. Itu bisa dilakukan dengan bermain.

Kita tidak perlu pusing untuk memiliki kurikulum yang terlampau akademis pada PAUD. Banyak yang bisa diambil dari bermain sambil belajar. Belajar lewat interaksi dengan orang lain. Itu tidak mudah.

Kadang kita meremehkan sulitnya pekerjaan orang-orang yang bekerja di PAUD.

Kadang kita berpikir, kita bisa memberikan pendidikan usia dini lewat pengasuh atau ibunya saja. Tidak. PAUD bisa sangat rumit. Jadi ini adalah pelayanan sulit untuk diberikan.

Benarkah?

Ya, bayangkan saja mengurus 15 anak empat tahun. Bisakah kamu menangani mereka tanpa menjadi stres? Hal itu sangat, sangat sulit. Sebagai guru untuk menangani 40 anak remaja itu sangat sulit, lalu bayangkan mengurus 15 anak balita, yang lari ke sana-sini dan mencoba mengatur mereka dan memberikan skill agar mereka bermain secara produktif supaya bisa belajar berbagai hal. Sangat sulit melakukannya.

Kadang kita meremehkan sulitnya pekerjaan orang-orang yang bekerja di PAUD.


Haruskah Meniru Sistem Pendidikan Finlandia?

Direktur Global Bank Dunia Bidang Pendidikan Jaime Saveedra (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Di Indonesia orang-orang mengatakan Finlandia memiliki sistem pendidikan terbaik. Apa Anda setuju atau adakah negara lain yang bisa kita contoh? 

Finlandia memiliki sistem yang hebat, tetapi ada sistem-sistem pendidikan lain yang hebat juga. Singapura, Denmark, dan Irlandia memiliki sistem yang hebat. Selandia Baru yang lebih dekat dari Finlandia memiliki sistem yang hebat juga.

Jadi banyak negara yang meningkatkan kualitas pendidikan mereka secara dramatis. Kanada memiliki sistem yang hebat juga.

Kasus Finlandia menarik karena progres mereka relatif cepat selama 25 tahun terakhir. Namun, Vietnam juga melakukan peningkatan yang cepat, Irlandia juga melakukan peningkatan secara cepat selama 20-25 tahun terakhir.

Jadi apa yang saya pedulikan adalah proses apa yang dijalani Finlandia. Hari ini mereka mengenalkan metode pedagogik di Finlandia, ya itu bisa dilakukan di sana karena kualitas guru mereka, tetapi itu bukan jenis intervensi yang saya butuhkan di Indonesia

Jadi banyak negara yang bisa dipelajari, tetapi bagi negara seperti Indonesia atau Peru bukankah bertanya apa yang Finlandia kerjakan saat ini. Ada yang lebih penting dan ini sudah kita bahas dengan pemerintahan Finlandia.

Dalam berbagai kasus, ini bukan tentang apa yang Finlandia kerjakan sekarang, melainkan lebih kepada proses yang dijalani Finlandia dalam 25 tahun terakhir. Itulah yang perlu kita pelajari, bukan mengikuti mereka yang sekarang.

Pasalnya, hari ini di Finlandia semua guru memiliki gelar master. Semuanya. Tidak semua guru di Peru punya gelar master, itu mungkin baru 20 tahun lagi. Atau 30 tahun lagi.

Jadi apa yang saya pedulikan adalah proses apa yang dijalani Finlandia. Hari ini mereka mengenalkan metode pedagogik di Finlandia, ya itu bisa dilakukan di sana karena kualitas guru mereka, tetapi itu bukan jenis intervensi yang saya butuhkan di Indonesia atau di Peru.

Jika anak tidak belajar, maka itu tidak pernah menjadi kesalahan si anak. Itu adalah kesalahan gurunya.

Kita butuh sesuatu yang berbeda. Ada hal yang relevan bagi negara seperti Peru dan Indonesia, tetapi tidak relevan bagi Finlandia. Finlandia peduli pada profesi mengajar. Profesi itu sangatlah prestisius dan ada tuntutan tinggi bagi guru-guru di sana. Itu kuncinya.

Masyarakat di sana dulu mengatakan akan meningkatkan kompensasi kepada guru dalam hal sumber daya. Rasio gaji pun meningkat, tetapi pada saat masyarakat menuntut banyak hal kepada guru-guru.

Jadi contohnya guru Finlandia paham bahwa tanggung jawabnya adalah memastikan semua anak belajar. Semaunya. Jika ada yang kesulitan, maka dia akan mengabdikan banyak waktu dan tetap berada di kelas usai waktu belajar selesai untuk membantu anak tersebut.

Guru Finlandia paham tanggung jawabnya adalah semua orang harus belajar. Itu tugas mereka. Kesalahannya bukan pada si anak yang tidak belajar. Jika anak tidak belajar, maka itu tidak pernah menjadi kesahalan si anak. Itu adalah kesalahan gurunya.


Harapan pada Menteri Nadiem

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2019). Rapat membahas soal perkenalan dan membahas program kerja. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Vietnam juga negara berkembang seperti Peru dan Indonesia, Anda tampaknya sangat mengagumi sistem mereka?

Mereka telah banyak melakukan peningkatan terutama di pendidikan primer, sekarang mereka sedikit-dikit mulai meningkatkan pendidikan sekunder dan tersier. Masih banyak tantangan di sana, tetapi dalam aspek pendidikan primer dan PAUD mereka sudah sangat menginvestasikannya. Juga di pengembangan profesi guru.

Kalau kamu kunjungi sekolah-sekolah primer dan PAUD di sana, mereka memiliki pendanaan yang sangat baik, mereka punya materi yang tepat, dan guru-gurunya mendapat dukungan yang tepat. Itu bagian dari kesuksesan mereka.

Anda akan bertemu Menteri Nadiem. Saya pikir dia memiliki latar belakang EdTech (Education Technology), apa yang Anda harapkan dari Nadiem dalam lima tahun ke depan?

Kita memiliki daya dukung Bank Dunia. Saya untuk pertama kalinya akan berbicara dengannya besok dan saya belum tahu apa yang akan dia katakan. Tapi yang saya lihat dia adalah orang yang sangat tertarik dalam meningkatkan kualitas sistem dan bukan tipe seseorang yang akan menyebut bahwa teknologi akan memberikan semua solusi. 

Bank Dunia bekerja sebagai mitra dari negara, jadi negara yang harus menentukan prioritas. Namun tentunya di negara seperti Indonesia ada isu menggunakan sumber daya seefektif mungkin, meningkatkan pengembangan karier guru, memakai teknologi secara efektif, segala hal itu saya yakin akan menjadi bagian rumusannya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya