Liputan6.com, Bougainville - Masyarakat Pulau Bougainville akan pergi ke tempat pemungutan suara untuk melaksanakan referendum bersejarah tentang status politik masa depan dari wilayah Papua Nugini (PNG) itu.
Pada 23 November 2019 mendatang, lebih dari 200.000 pemilih terdaftar akan mulai memberikan suara mereka untuk memilih antara otonomi yang lebih besar di dalam PNG atau kemerdekaan penuh. Voting akan berlanjut hingga 7 Desember --Catherine Wilson melaporkan untuk Al Jazeera, dikutip pada Kamis (21/11/2019).
Referendum dilaksanakan hampir 18 setelah perjanjian damai yang mengakhiri perang saudara yang brutal di pulau-pulau Bougainville yang kaya sumber daya.
"Inti dari apa yang orang-orang inginkan adalah pemberdayaan Pemerintah Bougainville yang benar-benar dapat mengatur urusannya sendiri ... Seperti yang kami lakukan ketika menegosiasikan perjanjian damai, pemerintah nasional dan Bougainville akan memiliki hak istimewa yang langka untuk mengembangkan sesuatu yang baru," Presiden Bougainville, John Momis mengatakan dalam pidatonya di Parlemen PNG pada Agustus 2019 lalu.
Baca Juga
Advertisement
Referendum adalah hasil dari perjanjian perdamaian dengan Papua Nugini pada 2001 yang mengakhiri konflik yang dimulai pada tahun 1989 ketika pemilik tanah adat mengangkat senjata dan memaksa penutupan tambang Panguna --salah satu yang terbesar di dunia-- di pegunungan di tengah-tengah pulau.
Keluhan mereka berpusat pada kerusakan lingkungan pada tanah dan sungai dari limbah tambang, dan ketidaksetaraan dalam distribusi keuntungan.
Papua Nugini merespons dengan blokade di sekitar Bougainville dan mengirimkan militer untuk mendapatkan kembali kendali atas pulau-pulau tersebut --termasuk tambang Panguna, yang merupakan sumber pendapatan yang menguntungkan bagi Port Moresby.
Konflik berkecamuk selama hampir satu dekade sampai gencatan senjata pada tahun 1998.
Perjanjian damai tidak hanya mencakup referendum - yang akan diadakan antara 10 dan 15 tahun setelah pemerintah otonom dibentuk - tetapi juga perlucutan senjata.
Namun, Peter Arwin, yang tinggal di pusat kota Arawa Bougainville dekat tambang, mengatakan bahwa aspirasi politik di wilayah di tepi Pasifik kembali lebih jauh - ke kolonisasi oleh Jerman pada 1800-an.
"Gagasan penentuan nasib sendiri untuk Bougainville ini, telah hidup selama berabad-abad sejak nenek moyang kita," Arwin menjelaskan. "Kali ini, bagi kita, kita ingin membuktikannya dan kita ingin memastikan kita menyelesaikan ide independen Bougainville ini. Pemungutan suara referendum, pasti itu akan menjadi 90 persen-plus untuk kemerdekaan."
Warisan Konflik
Bougainville, yang dikelola oleh Australia sebagai bagian dari PNG dari tahun 1915 - 1975, adalah salah satu daerah termiskin di negara itu dan tetap sangat bergantung pada dukungan nasional dan bantuan internasional.
Harapan hidup di wilayah itu adalah 59 tahun, angka kematian balita adalah 74 per 1.000 kelahiran hidup dibandingkan dengan rata-rata 68 di negara berpenghasilan rendah, dan sedikit orang yang memiliki akses ke listrik yang dapat diandalkan atau jaringan jalan.
Sementara para pemimpin lokal berencana mengandalkan pertambangan skala besar untuk menjadi satu-satunya cara demi membiayai mereka, hal itu justru akan menjadi keputusan yang berisiko secara politik.
Pada Januari 2018, pemerintah Bougainville memberlakukan moratorium tak terbatas pada pertambangan, mengatakan bahwa perselisihan di antara pemilik tanah di Panguna tentang masa depan tambang --yang masih memiliki simpanan tembaga dan emas yang cukup besar-- membawa peluang konflik baru.
Tanggal referendum telah ditunda dua kali pada 2019, dari 15 Juni hingga bergeser ke 17 Oktober dan akhirnya bulan ini, untuk memungkinkan verifikasi daftar pemilih --sebuah tantangan besar ketika sebagian besar penduduk tinggal di komunitas pedesaan dan terpencil.
Prioritas adalah penyelesaian perlucutan senjata, yang hanya berhasil sebagian setelah perdamaian, dan upacara rekonsiliasi luar biasa yang melibatkan para pemimpin terpilih Bougainville dan mantan kelompok bersenjata.
Sebuah upacara penyatuan antara Bougainville dan negara Papua Nugini, termasuk pasukan militernya, berlangsung pada awal November 2019.
"Beberapa dari kita sedikit khawatir tentang bagaimana (referendum) itu akan dilakukan. Tetapi baru-baru ini ketika mantan kombatan datang dengan beberapa rekonsiliasi, setelah menyatakan bahwa mereka akan sepenuhnya mendukung proses, kami semua merasakan sebuah sedikit lebih tenang, " kata Cyril Imako, direktur eksekutif Health Service di Arawa, mengatakan kepada Al Jazeera.
Mantan pejuang perang saudara, termasuk Pemerintah Persatuan Mekamui, yang terdiri dari mantan pemberontak di Panguna yang tidak menandatangani pakta perdamaian, mengadakan pertemuan puncak pada bulan Juli dan menandatangani deklarasi untuk menyerahkan senjata dan menjaga stabilitas selama pemungutan suara dan pasca-periode referendum.
"Saya sangat senang. Bahkan jika kita bukan bagian dari perjanjian damai, kita sudah berpartisipasi di lapangan, karena kita memiliki satu tujuan bersama," Musa Pipiro, seorang jenderal mantan pemberontak Angkatan Pertahanan Mekamui, mengatakan kepada Al Jazeera saat wawancara di tambang Panguna.
"Itulah sebabnya kami meletakkan semua senjata kami di luar sana, untuk menunjukkan kepada orang-orang kami dan para pemimpin kami dan, juga, PBB dan masyarakat internasional, perang telah berakhir."
Advertisement
Transisi Panjang
Komunitas internasional kemungkinan akan mengamati hasil referendum dengan seksama --dengan China, Australia dan Amerika Serikat bermanuver untuk pengaruh di Pasifik-- dan pengamat nasional dan internasional akan memantau jalannya pemilihan. Polisi akan didukung oleh misi dukungan regional internasional, yang dipimpin oleh Selandia Baru.
Dalam konsesi dengan Pemerintah PNG --yang enggan memberikan referendum kepada Bougainville sebelumnya-- hasil pemilihan akan dibuat tidak mengikat, yang berarti bisa menimbulkan periode ketidakpastian panjang, meski hasil akhir menunjukkan dukungan besar untuk pemerintahan mandiri penuh.
Port Moresby sendiri diperkirakan akan berusaha untuk mengamankan "hasil negosiasi" dengan Bougainville, hingga akhirnya, keputusan final diratifikasi oleh parlemen PNG.
Selama kunjungan ke Australia pada Oktober 2019, Dennis Kuiai, penjabat sekretaris Departemen Perjanjian dan Implementasi Perdamaian Bougainville, menekankan bahwa tidak ada batasan waktu untuk negosiasi atau ratifikasi.
Perdana Menteri James Marape telah mengadvokasi 'PNG bersatu' dan di sini ada kekhawatiran bahwa tanda-tanda keengganan untuk meratifikasi hasil pemungutan suara dapat memicu frustrasi dan keresahan lokal.
Namun, banyak orang akar rumput di Bougainville, serta mantan pejuang, masih memiliki ingatan yang jelas tentang penderitaan selama perang dan tidak ingin kembali ke konflik.
Apakah otonomi yang lebih besar atau kemerdekaan disepakati, diharapkan bahwa setiap transisi cenderung memakan waktu panjang, mungkin hingga 20 tahun.
Proses pasca pemungutan suara juga dapat terganggu jika pembicaraan belum selesai pada saat Bougainville mengadakan pemilihan umum berikutnya, yang harus dilakukan sebelum Juni 2020.
Namun, terlepas dari tantangannya, pemungutan suara tetap meninggalkan rasa senang bagi sejumlah orang Bougainville.
"Kami ingin melihat ke mana kami akan pergi, takdir yang kami inginkan, apa yang kami perjuangkan, pengalaman yang kami alami, inilah perasaannya," kata Celestine Tommy dari Federasi Wanita Bougainville kepada Al Jazeera di kota utama Buka, Bougainville. "Ketika kamu berjalan-jalan di kota, kamu melihat orang-orang di sana, mereka bersemangat. Kami tinggal menghitung mundur."