Liputan6.com, Jambi - Yohana Pamella Berliana Marpaung begitu kaget ketika pertama kali menemui anak-anak orang rimba kelompok Mariyau di Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Dia syok lantaran tidak menyangka masih ada kelompok orang rimba atau suku anak dalam yang tinggal membaur di bawah pondok tanpa dinding.
Orang rimba yang ditemui Yohana, kadang mengonsumsi makanan seadanya. Tak jarang pula orang rimba makan biji kelapa sawit karena sumber makanan di hutan yang semakin sulit ditemui.
Saat pertama kali melihat pakaian perempuan orang rimba yang hanya berkemban, kadang dengan kain yang sangat lusuh membuat gadis berdarah Batak ini heran dan berkata dalam hati, "Ternyata masih ada orang di Indonesia yang hidup seperti itu".
Baca Juga
Advertisement
Alih fungsi hutan yang begitu masif menjadi korporasi perkebunan kelapa sawit membuat kelompok orang rimba semakin tergusur dan tersisih. Mereka tinggal di "sudung" atau pondok yang beratap pelepah kelapa sawit dan jauh dari akses pendidikan.
Yohana adalah salah seorang pengajar atau guru untuk anak-anak orang rimba. Dia mulai aktif mengajar sejak beberapa bulan yang lalu. Usai melihat kondisi kehidupan anak-anak orang rimba yang hidup di tengah keterdesakannya itu, ia lalu bertekad harus berbuat sesuatu pada kelompok tersebut melalui pendidikan.
"Setelah gabung dengan KKI Warsi untuk menjadi tenaga pengajar atau guru untuk anak-anak orang rimba, aku sempat syok kasihan lihat kehidupan mereka seperti itu, susah banget," kata Yohana kepada Liputan6.com, Kamis (21/11/2019).
Walaupun tidak mudah, berbagai cara dia dilakukan supaya betah mengajar anak-anak orang rimba. Salah satunya hanya dengan tekad yang kuat agar anak-anak orang rimba bisa belajar dengan kehidupan yang serba terbatas dan jauh dari akses layanan publik.
"Di awal gabung menjadi tenaga pengajar, ada tawaran riset dengan tawaran salary yang tinggi. Tapi aku tetap lanjut (jadi pengajar anak orang rimba) tidak kapok," kata Yohana yang juga merupakan lulusan Magister Ilmu Antropologi Budaya UGM itu.
Selain akses yang sulit, banyak tantangan yang harus dilalui Yohana sejak awal berbaur dengan kehidupan orang rimba. Salah satunya malaria menjadi serangan penyakit yang paling dikhawatirkan, terutama di hutan Bukit Dua Belas yang merupakan endemik malaria.
Tak jarang orang yang berbaur dengan kehidupan orang rimba itu terserang malaria. Terbukti awal berbaur dengan kehidupan orang rimba, Yohana langsung diserang wabah malaria.
"Waktu kena malaria itu aku sempat diopname di rumah sakit. Pas sudah pulih ya aku lanjut ke sana mengajar lagi," ujar Yohana.
Belajar Mengikuti 'Mood' Anak-Anak Orang Rimba
Yohana mengaku kebanyakan dari 15 anak rimba di kelompok Mariyau yang ia ajari lebih senang memanggilnya dengan nama Juana. Karena kata Yohana, dalam bahasa rimba untuk melafalkan ejaan Yo itu sulit dan diganti dengan ejaan Ju.
"Dengan panggilan Juana itu aku merasa menjadi lebih akrab dengan mereka. Enggak masalah," kata gadis keturunan Batak itu.
Cara mengajar anak-anak orang rimba perlu perlakuan khusus dan tidak mudah. Menurut Yohana, mengajari anak-anak orang rimba tidak harus melulu soal membaca, menulis dan berhitung (calistung), melainkan harus diselingi dengan bermain atau bahkan juga mendongeng.
"Anak-anak rimba itu sangat suka baca dongeng, biasanya aku yang baca dongeng dan nanti langsung diterjemahkan ke bahasa rimba, kalau enggak diterjemahkan mereka enggak ngerti," kata Yohana.
Selain itu proses belajar anak-anak orang rimba kata Yohana, sangat tergantung dengan mood. Jika moodnya bagus kadang mereka minta belajar sepanjang waktu, tak penting waktu istirahat atau malam sudah larut mereka akan minta belajar terus.
"Juga ada kalanya mereka enggak mau belajar, maunya main terus, dan itu harus aku turutin sampai mood mereka balik lagi mau belajar," katanya.
Yohana mengaku tidak hanya mengajari anak-anak rimba. Namun, juga harus memenuhi kebutuhan makanan dan minuman selama belajar berlangsung. Hal itu karena kebiasaan orang rimba yang menyerahkan langsung anaknya kepada guru pengajarnya.
"Di awal ngajar aku coba siapkan makanan untuk mereka. Cuma karena mereka enggak terbiasa masakan rasanya jadi aneh. Jadi akhirnya anak-anak rimba yang masak dan makan bersama sambil belajar," ujar Yohana yang mengaku sejak SMA sudah tertarik dengan kehidupan orang rimba.
Advertisement
Perlu Intervensi dan Kebijakan yang Berpihak
Orang Rimba adalah salah satu suku terasing atau dikenal dengan sebutan komunitas adat terpencil yang ada di Provinsi Jambi. Orang rimba di Jambi sering juga disebut sebagai Suku Anak Dalam (SAD). Sebutan orang rimba menjadi SAD ini disematkan oleh pemerintah mulai tahun 1970.
Survei terakhir yang dilakukan organisasi nirlaba pemerhati lingkungan dan orang rimba, KKI Warsi menyebutkan jumlah populasi orang rimba mencapai 5.200 jiwa. Jumlah tersebut tersebar di beberapa kabupaten di wilayah Provinsi Jambi. Selain tinggal di sekitar kawasan hutan, orang rimba juga hidup secara nomaden di sepanjang jalan lintas timur Sumatra Jambi.
Menurut Sukmareni, Manager Komunikasi KKI Warsi, suku pedalaman seperti orang rimba perlu intervensi dan dukungan para pihak melalui akses pendidikan untuk meningkatkan daya saing mereka. Dibandingkan suku lainnya di Indonesia, orang rimba boleh disebut suku yang masih hidup dalam jurang kemiskinan absolut.
Sebab itu, diperlukan langkah yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kehidupan orang rimba. Langkah dan kebijakan ini harus sekaligus memulihkan kondisi hutan yang selama ini menjadi ruang kelola orang rimba.
"Terutama orang rimba yang hidup di bawah pohin sawit, tidak punya akses sama sekali pada layanan publik termasuk pendidikan. Bahkan untuk bertahan hidup sulit. Jadi harus ada dukungan dan kebijakan yang berpihak kepada mereka," kata Sukmareni.
Simak video pilihan berikut ini: