Guru SD Lulusan SD di Kampung yang Dikepung Lautan

Beragam masalah membuat produksi tambaknya begitu minim. Toh, ia tetap bertahan di Dusun Bondan, Kampung Laut, Cilacap dan mengajar di sekolah terpencil ini

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 22 Nov 2019, 02:00 WIB
Salah satu potret di sudut Dusun Bondan, Ujung Alang, Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Secara administratif, Dusun Bondan terletak di Desa Ujungalang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah. Tetapi, lokasinya benar-benar terpencil lantaran terpisah laguna, hutan mangrove dan sungai.

Kondisi ini tak ayal menyebabkan pendidikan di dusun ini jauh ketinggalan. Semenjak didiami kisaran 1997 lalu, hanya ada satu sekolah dasar (SD). Itu pun hanya Filial SD Negeri Ujungalang.

Seperti layaknya sekolah terpencil lainnya, jumlah siswanya pun minim, hanya 15 anak mulai kelas 1 hingga 6. Semuanya adalah anak-anak dusun Bondan.

Lantaran terpisah, banyak guru yang enggan mengajar di sekolah terpencil ini. Lokasinya memang sulit dijangkau lantaran harus menembus laguna dan menyusur kanal yang merupakan urat laguna.

Satu-satunya guru yang bertahan adalah Apudin. Warga asli Bondan.

Ia sebenarnya bukan warga asli Cilacap. Pada pertengahan 1990-an, dia pindah dari Tangerang ke wilayah ini untuk membuka tambak.

Tetapi, tambaknya gulung tikar. Beragam masalah membuat produksi tambaknya begitu minim. Toh, ia tetap bertahan di Dusun Bondan dan mengajar di sekolah terpencil ini.

"Jujur saya hanya lulus SD. Tapi saya prihatin dengan kondisi pendidikan di Dusun Bondan,” ucap Apudin.

Simak video pilihan berikut ini:

 


Nekat Meski Hanya Lulus SD

Sebuah perahu melintas di Laguna segara anakan Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Melihat pendidikan anak-anak Bondan yang mengenaskan, warga lantas mengusulkan pendirian sekolah. Pada 2002, sekolah itu berdiri.

Guru dari luar Bondan datang silih berganti. Nampaknya tak ada yang bertahan lama. Kalau pun memakai sistem piket, terkadang tak jalan.

Apudin yang semula hanya bantu-bantu mengajar, kini justru menjadi guru utama. Dia lah satu-satunya guru yang setia belasan tahun mengajar di sekolah terpencil ini.

“Saya sekolah persamaan. Sekarang sudah paket C,” katanya.

Seringkali, Apudin mengajar sendirian, mulai dari kelas 1 hingga kelas 6. Bisa dibayangkan repotnya mengajar belasan anak yang berbeda tingkatan kelas.

Makanya, Apudin mengembangkan sendiri metode belajar mengajar di sekolah terpencil ini. ia tak menggunakan silabus maupun Rencana Pelaksanaan Pendidikan (RPP).

Sebab, jika menggunakan silabus dan RPP baku, maka pendidikan yang dilakukan di SD ini tak akan jalan. Ia lebih banyak melakukan pendidikan berbasis potensi anak dan lingkungan sekitarnya merupakan kawasan Laguna Segara Anakan.

“Sebetulnya kita tidak memakai silabus atau RPP. Mau ke mana anak tersebut, dilihat potensinya,” dia menjelaskan.

Di sekolah ini, total ada 15 siswa. Seluruhnya merupakan warga Dusun Bondan, Desa Ujungalang.

 


Perjuangan Keras

Apudin, Guru SD berpendidikan SD yang kini sudah mengikuti sekolah persamaan, kejar paket B dan C. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Meski mengajar satu sekolah, Paudin tak lantas menuntut fasilitas yang berlebih. Terpenting, anak-anak bisa mengakses pendidikan di kampungnya sendiri.

“Jarak menjadi persoalan. Untuk menuju Ujungalang, harus dengan perahu. Kalau untuk ke Kawunganten, harus menempuh perjalanan sejauh tujuh kilometer. Anak-anak tidak akan sanggup,” dia mengungkapkan.

Perjuangan Paudin mulai membuahkan hasil. Kini, jumlah anak putus sekolah di Dusun Bondan relatif rendah. Sejak 2002, sekolah ini telah meluluskan sembilan angkatan.

Namun, ia pun masih prihatin dengan rendahnya tingkat pendidikan anak-anak Dusun Bondan. Seringkali, anak-anak tak melanjutkan ke SLTP.

Usai lulus SD, mereka terjun ke tambak, atau menjadi nelayan. Beberapa lainnya membantu ayah, paman atau kakeknya menggarap sawah.

Perjuangan Paudin mengajar di sekolah terpencil sendian selama belasan tahun tak lepas dari perhatian Pemda Cilacap. Paudin diangkat menjadi Pegawai Tidak Tetap (PTT) Kabupaten Cilacap.

“Transportasinya Rp 3 juta, tapi itu tiga bulan. Jadi per bulan Rp 1 juta,” kata Paudin.

Dia mengakui, jumlah honor itu memang terlampau minim untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Karenanya, ia tak meninggalkan tambak.

Terkadang, seusai mengajar ia pun turun ke laguna segara anakan, mencari ikan, udang atau kepiting. Barangkali, ini lah yang disebut sebagai sebenar-benarnya banting tulang.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya