Zaimah, Manusia Laut dan Guru Pulau Terluar RI

Awal 2019 perjuangan Zaimah mendapat suntikan energi dengan masuknya listrik, tapi tak lama energi itu disedot masuknya gawai dengan game online.

oleh Ajang Nurdin diperbarui 22 Nov 2019, 05:00 WIB
Zaimah, sarjana Matematika yang mengabdikan dirinya menjadi manusia laut demi bisa mengajar anak-anak SMP 48 di Pulau Pecong, Kepri. (foto: Liputan6.com/ajang nurdin)

Liputan6.com, Batam - Masih adakah seorang guru yang harus berburu murid agar ia utuh menjadi guru? Rupanya di pulau-pulau terluar di republik ini, hal itu masih jadi pemandangan biasa.

Zaimah, adalah seorang guru perahu. Disebut guru perahu karena dari tempat tinggalnya menuju tempatnya mengajar harus berperahu. Ombak besar dan kecil, sudah biasa ia terjang. Mengajar dengan pakaian basah teriprat air laut, hampir selalu terjadi.

Zaimah bukanlah guru negeri dengan sertifikasi yang gaji dan fasilitasnya oke. Ia adalah guru honorer di SMP N 48 Pulau Pecong, Kecamatan Belakang Padang kawasan Hiterland Kota Batam. Sudah empat tahun ia mengabdi sebagai guru honorer.

Mengawali karier sebagai guru honorer, Zaimah sendiri lahir dan dibesarkan dari daerah yang tergolong tertinggal dalam bidang pendidikan. Ia lahir dari masyarakat nelayan, dimana pendidikan bukan menjadi prioritas.

"Saya tak mau anak-anak di Pulau Pecong putus sekolah seperti teman-teman saya. Apalagi dulu anak - anak nelayan tidak diperhatikan urusan sekolahnya," kata Zaimah.

Sebagai guru honorer, Zaimah mulai mengkampanyekan pentingnya pendidikan anak pulau. Zaimah tak sendiri, ia juga mengajak guru-guru lain berkampanye pentingnya pendidikan. Kini anak-anak Pulau Pecong mayoritas sudah bersekolah.

"Penduduknya memang sekitar 200 KK, jenjang sekolah TK sampai SMA juga sudah ada. Tapi memang tak seperti di Batam," kata Zaimah.

Zaimah pandangannya menerawang seperti mengingat masa kecilnya. Ia lalu bercerita bahwa saat ia masih bocah, guru-guru yang mengajar didatangkan dari pulau lain. Guru-guru pendatang itu akhirnya banyak yang menikah dengan warga setempat.

"Ini juga memberi dampak bagus kesadaran pendidikan bagi pulau-pulau di perbatasan," kata Zaimah.

 


Semangatnya Dirampok Gawai

Kesibukan rutin Zaimah sebagai manusia laut sekaligus guru di Pulau Pecong. (foto: Liputan6.com/ajang nurdin)

Perjuangan Zaimah seperti mendapat suntikan energi. Adalah awal 2019 saat Hinterland atau pulau-pulau terluar mendapat prioritas pembangunan. Ditandai dengan masuknya listrik di pulau-pulau terluar itu.

Belum juga energi baik dari masuknya listrik bisa dioptimalkan, dukungan juga datang dari operator seluler yang mulai memprioritaskan pembangunan tower seluler. Namun yang kedua ini selain membawa manfaat, juga membawa dampak buruk.

"Pendidikan di Pulau Pecong mendapatkan masalah setelah gawai atau telepon pintar masuk dan menjadi racun bagi anak. Game mengakibatkan semangat belajar anak- anak tidak fokus dan menyepelekan pelajaran," kata Zaimah.

Bercerita ini, mata Zaimah seperti menahan bendungan air. Sejurus nampak berkaca-kaca seperti menahan tangis. Barangkali ia teringat susahnya membangkitkan kesadaran akan pendidikan yang butuh waktu panjang, namun berantakan dalam sekejap.

Kegelisahan Zaimah menjadi bahan diskusi guru-guru di Pulau Pecong. Mereka sepakat untuk berkordinasi dengan sekolah secara kelembagaan. Sambil menunggu waktu yang tepat, Zaimah diam-diam mengawasi siswanya di luar jam sekolah.

"Di tempat kami sinyal susah, untuk mendapatkan sinyal harus di tempat yang tinggi. Dan saya menemukan anak-anak ramai-ramai berburu sinyal. Sedihnya bukan untuk berburu pengetahuan, namun untuk main game bareng," katanya.

Aktivitas siswanya di luar jam sekolah ini memunculkan keberanian untuk mengumpulkan gawai milik murid-muridnya saat jam pelajaran. Tentu hal ini atas restu Kepala Sekolah sebagai bentuk dukungan lembaga.

Simak video pilihan berikut: 


Gaji Bukan Ukuran Sukses

Si cantik Zaimah beraksi di depan kelas. (foto: Liputan6.com/ajang nurdin)

Anehnya, inisiatif yang baik itu kadang ditolak orang tua siswa. Bahkan ada juga orang tua siswa yang mengaku tidak bisa menerima perlakuan Zaima yang mengumpulkan gawai muridnya saat jam pelajaran.

"Di luar jam mengajar, saya menemui orang tua siswa yang keberatan. Dengan sabar kami jelaskan bahwa gawai itu sudah mengganggu proses belajar anak," kata Zaimah.

Zaimah juga mengajak berdiskusi dengan orang tua tentang mendidik anak. Tak hanya bicara, ia juga mendengarkan apa yang dimaui orang tua. Dari diskusi itu, ia berharap orang tua bisa memahami hal-hal yang membawa dampak buruk bagi anak.

"Teknologi itu perlu apalagi sekarang, namun jika belum siap mengelola, akan berdampak kurang baik," kata Zaimah.

Upaya orang tua memanjakan anak-anaknya dengan gawai, lebih banyak disebabkan ketidaktahuan mereka bahwa jika mental tidak siap dan belum bisa mengelola informasi akan berdampak buruk. Orang tua siswa mayoritas adalah nelayan yang minim pengetahuan tentang teknologi dan dampaknya.

"Saya memang hanya guru honorer. Tapi saya tak menempatkan gaji dan fasilitas sebagai ukuran sukses. Apalagi jika dibandingkan perjuangan saya saat menyelesaikan kuliah di Batam. Bagaimanapun, anak-anak pulau Pecong berhak mendapat pendidikan sama haknya dengan pulau-pulau yang sudah maju fasilitasnya," kata Zaimah.

Itu potret hidup keseharian Zaimah, Sarjana Matematika fakultas Pendidikan Unrika. Menempatkan pemenuhan hak atas pendidikan mampu mengalahkan ego yang menginginkan persamaan fasilitas seperti pulau lain, Jawa misalnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya