Cerita Guru Aceh Rayu Petinggi GAM agar Anak-Anak Diizinkan Sekolah

Ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) begitu membenci segala sesuatu yang dianggap bagian NKRI, termasuk sekolah, seorang guru memberanikan diri menghadap salah satu petinggi separatis untuk memberikan izin agar anak-anak bisa sekolah.

oleh Rino Abonita diperbarui 22 Nov 2019, 04:30 WIB
Samsuir (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - 19 Mei 2003, pemerintah melancarkan sebuah operasi militer terpadu di Aceh. Lebih kurang 30.000 serdadu serta 12.000 ribu polisi dikirimkan ke Serambi Makkah.

Ini menjadi operasi terbesar dalam sejarah kemiliteran Indonesia selain Operasi Seroja di Timor Timur pada 1975. Provinsi paling barat pun mengalami masa-masa yang paling mencekam seiring baku tembak yang terjadi di mana-mana, belum lagi situasi kaos dan teror yang menyasar masyarakat sipil.

Di tengah gelojak itu, seorang pria memberanikan diri mendatangi salah seorang petinggi separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sedang meriung bersama beberapa orang pasukannya di sebuah warung bekas pada suatu siang. Niatnya pada saat itu cuma satu.

Ia berharap bisa menggugah hati sang petinggi GAM agar dirinya diizinkan mengajak anak-anak yang ada di rayon militer tersebut bersekolah. Tentu saja ia tahu apa akibat dari tindakan nekatnya karena mengajukan sesuatu yang akan dianggap sebagai sikap terselubung membela NKRI.

Pada masa-masa itu, sekolah dianggap sebagai simbol pemerintah oleh GAM. Alasannya, sekolah mengindoktrinisasi anak-anak Aceh agar mencintai NKRI dengan pendidikan Pancasila-nya.

Apa yang ditakutkan pun terjadi. Petinggi GAM kawasan Tripa itu berang bukan kepalang mendengar permintaannya. Ia bahkan menyebut lelaki itu seorang Aceh yang hipokrit.

"Kalau kata-katanya memang tidak bisa saya ucapkan. Karena pribadi saya tersinggung sekali. Istilahnya, saya disebut tidak ada darah Aceh-lah. Saya sedih juga bagaimana saya dimaki-maki saat itu," kisahnya kepada Liputan6.com, Kamis (21/11/2019).

Namun, bukannya beranjak, ia malah duduk menekur tak jauh dari para pemberontak yang sedang marah sambil menunjukkan air muka bersedih. Di dalam hati, ia masih berharap Tuhan akan membuka mata hati petinggi GAM tersebut.

Satu jam kemudian, sang petinggi GAM itu tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya. Ia menghampiri lelaki tersebut dengan sebatang rokok yang menyelip di antara bibirnya yang legam.

"Dia bilanglah, bolehlah. Kalau memang tujuan kamu itu baik. Yang kamu tidak boleh ajarkan Bahasa Indonesia. Sejarah Jawa. Itu, lambang-lambang Pancasila, bendera merah putih itu, yang ada di rumah sekolah turunkan, kalau perlu dibakar. Saya diam saja saat itu."

Berkat tindakannya di hari itu, jumlah anak-anak yang bersekolah di kawasan itu pun bertambah sedikit demi sedikit. Demi mewujudkan visinya, ia bahkan menyambangi setiap rumah untuk mendata anak-anak yang tidak bersekolah.

"Saat itu, saya berpikir, kalau saya biarin terus, sia-sia saja anak-anak ini. Bisa jadi korban semua ini," kata guru bernama Samsuir itu.

 


Sempat Difitnah

Ilustrasi belajar. (dok. unsplash.com/@joaosilas)

Samsuir menjadi tenaga honorer rangkap di beberapa sekolah di Kecamatan Tadu Raya sejak tahun 2000. Ia menjadi guru rangkap demi menutupi kekurangan tenaga pendidik di tempat itu karena jarang yang mau mengajar di daerah pelosok apalagi daerah yang dimarkahi sebagai basis separatis.

"Yang sudah Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun keluar dari situ," cerita Samsuir.

Samsuir menjadi guru mata pelajaran olahraga dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) untuk tingkatan sekolah dasar hingga atas dengan gaji berdasarkan kebijaksanaan kepala sekolah. Dalam sebulan, dirinya mendapat upah jerih dengan total Rp 96.000.

Belakangan, Samsuir menjadi guru kontrak di salah Sekolah Menengah Atas (SMA), namun, tidak lama. Ia dan keluarganya terpaksa pindah ke sebuah daerah transmigrasi di Kabupaten Aceh Singkil karena suatu sebab.

Samsuir difitnah bahwa dirinya merupakan pelatih AGAM (sebutan untuk angkatan GAM). Di satu sisi, Samsuir merasa tidak kerasan uang gajinya terus-terusan dikutil oleh beberapa anggota separatis karena dirinya dianggap sebagai guru yang telah berstatus PNS —pengompasan terstruktur pada masa konflik ini disebut 'pajak nanggroe.'

Di Aceh Singkil, ia diminta menjadi guru untuk anak-anak tingkatan Sekolah Dasar (SD), tetapi, hanya bertahan selama 8 bulan. Kehidupan ekonomi yang morat-marit telah memaksa Samsuir untuk menitipkan istri dan calon jabang bayinya ke kampungnya di Aceh Selatan, sementara, ia merantau ke Ranah Minang.

"Saya kerja di salah satu perusahaan kelapa sawit di Sumatera Barat. Saya baru kembali ke Nagan Raya, pada 2006, setelah Memorandum of Understanding (MoU)," kata dia.

Sekembali dari Sumatera Barat, Samsuir pun lanjut menjadi tenaga honorer rangkap. Ia baru diangkat menjadi PNS pada 2014. Namun, karena tingkat pendidikannya, lelaki kelahiran 12 Mei 1971 ini hanya ditaruh pada bagian administrasi di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) tempatnya mengabdi dulu.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya