Liputan6.com, Jambi - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) membeberkan nilai kerugian kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) gambut di Provinsi Jambi mencapai Rp145 triliun. Nilai kerugian tersebut, dihitung berdasarkan luas lahan gambut terbakar dan rusak seluas 114 ribu hektare yang terjadi dalam kurun waktu tahun 2019.
Direktur Eksekutif Walhi Jambi Rudiansyah mengatakan, hasil kajiannya untuk memulihkan gambut yang rusak akibat terbakar dalam satu hektare dibutuhkan biaya Rp1,2 miliar. Sehingga jika diakumulasikan dengan luasan gambut rusak itu dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk pemulihan dan termasuk dalam aspek kerugian.
Advertisement
Dalam konteks kerugian terdapat tiga aspek, yakni kerugian ekonomi, lingkungan dan kerugian biaya pemulihan. Kebakaran parah di lahan gambut yang terjadi selama musim kemarau atau Juli-Oktober 2019 telah merusak ratusan ribu ekosistem gambut di tiga kabupaten, yakni Muarojambi, Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat.
"Ini angka kerugian yang fantastis atau 37 kali jumlah APBD Jambi, kerugian ini baru sebatas biaya pemulihan saja, belum termasuk kerugian ekonomi, pendidikan dan kesehatan," kata Rudiansyah kepada Liputan6.com, Jumat (22/11/2019).
Wilayah gambut yang mengalami kebakaran kata Rudi, berada di izin konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Lindung Gambut (HLG), Perkebunan Kelapa Sawit (PKS) Taman Nasional dan Lahan Masyarakat. Buruknya tata pengelolaan gambut di areal konsesi disinyalir menjadi penyebab kebakaran.
Untuk pemulihan kembali wilayah hutan dan lahan gambut yang terbakar itu, dananya harus dikeluarkan oleh perusahaan yang areal konsesinya terbakar. Walhi mencatat terdapat 62 perusahaan yang wilayah izinnya mengalami kebakaran. Perusahaan tersebut, paling banyak menyumbang kabut asap yang menyelimuti Jambi.
"Ada persoalan untuk yang sudah dibebani izin. Pemerintah seolah secara tidak langsung melegitimasi bahwa izin yang kebakaran tidak ada diperusahaan, kalau tidak mau mengakui sebaiknya diberikan kepada masyarakat saja," ujar Rudi.
Walhi Jambi mendesak aparat kepolisian untuk bertindak secara transparan dalam melakukan pengusutan pelaku pembakaran. Pengusutan kasus karhutla tidak hanya terhadap perusahaan kecil, namun perusahaan kelas kakap yang berafiliasi dengan grup perusahaan besar.
Saling Lempar
UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan jelas menyebutkan, menteri, gubernur, bupati hingga walikota bisa menerapkan sanksi administrasi terhadap perusahaan perusak lingkungan hidup.
Kepala daerah menurut Rudi, bisa memberikan sanksi setidaknya sanksi administrasi, mulai dari teguran hingga pembekuan izin. Namun dalam peristiwa kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 pemerintah seolah abai dan saling lempar kewenangan.
"Tapi kewenangan itu tidak dipakai, justru saling lempar antara pemerintah pusat dan daerah, jadinya publik dibikin kacau," katanya.
Padahal sanksi administrasi tersebut bisa diterapkan karena pemerintah memiliki perangkat yang komplit dalam menganalisis kebijakan hukum. Selama ini menurut Rudi, penegak hukum justru lebih banyak melakukan penyegelan.
"Status segel itu tidak ada sanksi melekat yang diberikan kepada perusahaan, hanya proses penyelidikan saja. Status segel hanya memuaskan pimpinan daerah bahwasanya penegakkan hukum sudah dilakukan," ujar Rudi menjelaskan.
Advertisement
Gugatan Class Action
Sebelumnya, Pemprov Jambi telah mencabut status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan. Pencabutan status siaga darurat ini dilakukan karena saat ini wilayah Jambi telah memasuki musim penghujan.
Pemprov Jambi mengklaim luas karhutla di Jambi yang terpantau melalui Sensor Modis (Satelit Terra Aqua dan Suomi NPP) mencapai 11.732 hektare. Jumlah luasan karhutla ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan data yang dianalisis Walhi.
Meski kebakaran hutan dan lahan tahun ini telah berakhir, namun penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran terus dilakukan. Walhi menyatakan, akan terus mengawal proses penegakan hukum melalui gugatan class action.
Gugatan perwakilan kelompok ini kata Rudi, dilakukan karena peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan bencana kabut asap telah merugikan masyarakat luas. Gugatan ini nantinya akan langsung dilayangkan pemerintah Provinsi Jambi.
"Saat ini kami sedang mendiskusikan terus untuk melakukan gugatan, kami targetkan dalam waktu tiga bulan ini proses gugatan selesai," pungkas Rudi.
Simak juga video pilihan berikut ini: