Ini 3 Penyebab Penerimaan Pajak Baru Capai 64 Persen

Kemenkeu mencatat realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.018,47 triliun atau 64,56 persen dari target APBN tahun ini sebesar Rp1.577 triliun.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Nov 2019, 14:59 WIB
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan pajak mencapai Rp1.018,47 triliun hingga Oktober 2019 atau 64,56 persen dari target APBN tahun ini sebesar Rp1.577 triliun. Penerimaan tersebut tumbuh 0,23 persen (yoy) jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Direktur Potensi, Kepatuhan, Penerimaan Pajak DJP Kementerian Keuangan Yon Arsal, membeberkan tiga faktor penyebab penerimaan melambat tahun ini. Pertama, akibat restitusi atau pengembalian pajak yang dipercepat.

"Ada tiga faktor utama yang menyebabkan kita masih berada pada pertumbuhan yang relatif kecil ini. Penyebab pertama, restitusi yang meningkat sangat signifikan. Ini memang sudah kita prediksi dari awal," ujarnya di Kawasan Senayan, Jakarta, Senin (25/11).

Faktor kedua, kata Yon adalah faktor ekonomi yang melemah. Pada awal tahun hingga kini pelemahan ekonomi terlihat dari aktivitas ekspor impor yang menurun. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global yang menurun.

 

"Kedua, kita berbicara faktor ekonomi yang memang sangat signifikan penurunannya. Di rapat preskon terakhir hari ini aktivitas ekspor impor yang menurun secara signifikan. Penerimaan PPN ekspor impor kita itu berkontribusi 18 persen dari penerimaan. Target pertumbuannya dari APBN-nya 23 persen Faktanya pertumbuhannya -7 persen," jelasnya.

Sementara itu, Faktor ketiga yang menyebabkan penerimaan pajak tertekan adalah harga komoditas yang menurun. Meski demikian, harga sawit kini mulai membaik tetapi dampaknya baru bisa dirasakan pada Desember mendatang.

"Ketiga, itu kita melihat adanya harga harga komoditas yang belum menunjukan perbaikan. Ada perbaikan harga komoditas sawit kemarin, ini baru bisa ditrasmisikan pada Desember atau mungkin baru tahun mendatang," jelas Yon.

Yon menambahkan, pemerintah masih optimis penerimaan pajak mampu mendekati target. Sebab, masih ada peluang penerimaan dari PPh 21.

"Disamping adanya pelemahan, ada peluang positif di bulan November dan Desember. Peluangnya, dari jenis pajak, bahwa PPN 21 masih stabil di atas 10 persen," tandasnya.

 

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Pemerintah Sudah Kucurkan Diskon Pajak Hingga Rp 804 Triliun

Menkeu Kabinet Kerja periode 2014-2019, Sri Mulyani diperkenalkan dalam pengumuman menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Sri Mulyani kembali dipercaya Presiden Jokowi menjabat sebagai Menkeu Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2014. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan realisasi diskon pajak untuk tax allowance dan tax holiday mencapai Rp 804 triliun. Masing-masing insentif tersebut terealisasi sebesar Rp 285 triliun dan Rp 519 triliun.

"Tax allowance yang dimutakhirkan baru-baru ini sudah lebih menjangkau lebih dari Rp 285 triliun, 158 fasilitas, dan 140 pembayar wajib pajak," ujar Sri Mulyani di Mandarin Oriental, Jakarta, Kamis (21/11/2019).

Untuk tax holiday, kata Sri Mulyani, hingga kini sudah tercatat sebanyak 44 wajib [pajak]( 4111120 "") yang memanfaatkan. Jumlah tersebut terdiri dari 35 investor asing dan 9 investor domestik.

"Untuk tax holiday kita berikan dengan kualifikasi mudah, jumlah investasi yang diberikan dan itu selagi anda berada di sektor ini. Saat ini kita sudah menerima lebih dari Rp 519 triliun, 44 wajib pajak, terdiri dari 35 asing dan 9 domestik," jelasnya.

Sri Mulyani juga menambahkan, pada pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo, kabinet Indonesia Maju akan mengeliminasi beberapa daftar investasi negatif. Sehingga, Indonesia akan lebih terbuka untuk investasi dan lapangan pekerjaan.

"Ketika anda datang investasi, anda bisa dapatkan insentif lebih lanjut. Allowance, Holiday dan super deduction tax untuk penelitian dan pengembangan untuk vokasi dan kejuruan dan super deduction untuk proyek padat karya," paparnya.

"Ini berikan sinyal kepada investor bahwa anda tidak hanya disambut disini tapi juga berikan insentif agar uang yang anda bawa, teknologi dan pengetahuan yang anda bawa, akan benar benar ciptakan kegiatan produktif di indonesia," tandasnya.


347 Perda Hambat Investasi, Paling Banyak Soal Pajak

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mencatat sebanyak 347 peraturan daerah (perda) bermasalah menghambat investasi masuk ke Indonesia. Dari jumlah tersebut, perda bermasalah paling banyak pada aspek pajak dan retribusi.

"Hingga hari ini, KPPOD berhasil mengumpulkan 347 perda bermasalah dari jumlah 1.109 perda yang telah dikaji," ujar Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng di Gedung Permata Kuningan, Jakarta, Rabu (20/11).

KPPOD melakukan studi lapangan di enam daerah yaitu DKI Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, Kulonprogo, Sidoarjo, untuk menemukan akar permasalahan regulasi bermasalah.

Ruang lingkup studi meliputi peraturan daerah terkait ekonomi dan investasi kegiatan berusaha antara lain, Perda Pajak dan Retribusi, Perizinan, Ketenagakerjaan, dan Perda kegiatan berusaha lainnya.

Studi tersebut menemukan perda bermasalah khusus investasi dan kegiatan berusaha ditenggarai beberapa hal. Pertama, proses pembentukan perda minim partisipasi publik.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya