Grasi Eks Gubernur Riau Annas Maamun dan Narasi Pelemahan Pemberantasan Korupsi

Presiden Jokowi memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan Annas Maamun.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 27 Nov 2019, 09:00 WIB
Annas Maamun diperiksa KPK terkait pengembangan kasus suap alih fungsi lahan kelapa sawit dan hutan industri di Riau, Kamis (22/11/2014). (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan Annas Maamun. Hukuman penjara mantan Gubernur Riau itu dikurangi satu tahun oleh Jokowi.

Kabag Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Ade Kusmanto mengatakan, pemberian grasi kepada Annas Maamun berdasar atas asas kemanusiaan.

"Pertimbanganya adalah berusia di atas 70 tahun. Saat ini yang bersangkutan usia 78 tahun, dan menderita sakit berkepanjangan," ujar Ade saat dikonfirmasi, Jakarta, Selasa (26/11/2019).

Selain karena usianya yang sudah senja, Annas Maamun mengidap berbagai macam penyakit. Akibat penyakit yang dideritanya itu, Annas Maamun harus mendapat tambahan oksigen setiap saat.

Alasan-alasan kemanusiaan itulah yang dijadikan pertimbangan Menteri Hukum dan HAM serta Mahkamah Agung mengajukan permohonan kepada Jokowi untuk memberikan grasi kepada Annas Maamun.

Kini, hukuman Annas Maamun dipotong, dari 7 tahun menjadi 6 tahun penjara. Grasi tersebut berdasarkan keputusan presiden Nomor 23/G tahun 2019 tentang pemberian grasi. Grasi itu ditetapkan pada 25 Oktober 2019.

Annas diketahui dihukum 7 tahun penjara pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Hukuman itu bertambah satu tahun dari vonis Pengadilan Tipikor Bandung pada 24 Juni 2015. Pengadilan Tipikor Bandung memvonis Annas hukuman penjara 6 tahun.

Annas dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara korupsi alih fungsi lahan kebun kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.

Annas terbukti menerima suap sebesar Rp 500 juta dari pengusaha Gulat Medali Emas Manurung yang saat itu menjabat Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia.

Suap itu diberikan agar Annas memasukkan permintaan Gulat Manurung dalam surat Gubernur Riau tentang revisi kawasan hutan meskipun lahan yang diajukan bukan termasuk rekomendasi tim terpadu.

Menurut data pada sistem database pemasyarakatan, Annas Maamun akan bebas awal pada 3 Oktober 2021, setelah mendapat grasi pengurangan hukuman selama 1 tahun diperhitungkan akan bebas pada 3 Oktober 2020.

 


Komitmen Pemberantasan Korupsi

Annas Maamun meninggalkan gedung KPK usai menjalani pemeriksaan, Jakarta, Rabu (14/1/2015). (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Mengetahui Jokowi memberikan grasi kepada Annas Maamun, KPK mengaku terkejut. Apalagi, selain menjadi terdakwa dalam kasus korupsi alih fungsi lahan di Riau, status Annas Maamun hingga kini masih menjadi tersangka pemberi suap kepada DPRD Riau terkait pembahasan RAPBD Perubahan tahun 2014 dan RAPBD tahun 2015.

"Kami cukup kaget ketika mendengar Informasi pemberian grasi terhadap Annas Maamun yang justru terlibat dalam sejumlah perkara korupsi yang ditangani KPK," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

KPK sendiri baru menerima surat dari Lapas Sukamiskin pada Selasa (26/11/2019) sore ini. Surat tersebut berisikan meminta KPK melakukan eksekusi dan melaksanakan Kepres No. 23/G Tahun 2019 tanggal 25 Oktober 2019 tentang pemberian GRASI terhadap Annas Maamun.

Febri menyatakan, KPK akan memperlajari surat tersebut.

"Dengan tetap menghargai kewenangan Presiden memberikan pengampunan (grasi) terhadap terpidana kasus korupsi Saudara Annas Maamun dalam perkara ini, KPK akan mempelajari surat yang dikirim oleh Lapas Sukamiskin tersebut," katanya.

Febri menyatakan, penanganan perkara Annas Maamun telah melewati proses yang cukup kompleks dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Annas ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 25 September 2014 hingga putusan berkekuatan hukum tetap di MA pada 4 Februari 2016.

Annas diketahui, didakwa kumulatif yakni menerima suap USD 166.100 dari Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut terkait kepentingan memasukan areal kebun sawit dengan total luas 2.522 Hektar di 3 Kabupaten dengan perubahan luas bukan kawasan hutan di Provinsi Riau.

Annas juga didakwa menerima suap Rp 500 juta dari Edison Marudut melalui Gulat Medali Emas Manurung terkait dengan pengerjaan proyek untuk kepentingan perusahaan Edison Marudut di lingkungan Provinsi Riau.

Kemudian menerima suap Rp 3 miliar dari janji Rp 8 miliar dari pemilik PT Darmex Group atau Duta Palma Group Surya Darmadi melalui Legal Manager PT Duta Palma Group, Suheri Terta untuk kepentingan memasukkan lahan milik sejumlah anak perusahaan PT Darmex Argo yang bergerak dalam usaha perkebunan kelapa sawit, dalam revisi usulan perubahan luas kawasan bukan hutan di Provinsi Riau.

Selain itu, pengembangan penanganan perkara ini juga sedang berjalan. KPK telah menetapkan 3 tersangka baru pada 29 Maret 2019, yang terdiri dari sebuah korporasi dan dua perorangan, yaitu PT Palma Satu, Suheri Terta, dan Surya Darmadi.

KPK menekankan korupsi yang terjadi di sektor kehutanan memiliki akibat yang lebih besar terhadap hutan itu sendiri, lingkungan dan kepentingan publik untuk lingkungan yang sehat. Dari kajian KPK di bidang pencegahan pun, terdapat tiga temuan yang menjadi masalah di sektor kehutanan yang membuka celah korupsi.

Pertama, ketidakpastian status kawasan hutan atau legal but not legitimate. Berdasar data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2017, penetapan kawasannya baru 68,29 persen dari total 125,9 juta hektare.

Kedua, perizinan SDA (sumber daya alam) rentan suap atau pemerasan.Terhitung untuk satu izin HPH/HTI besar potensi transaksi koruptif berkisar antara Rp 688 juta hingga Rp 22,6 miliar setiap tahun.

"Selain itu, nilai manfaat SDA tidak sampai ke masyarakat. Ketimpangan pengelolaan hutan oleh kepentingan skala besar. Hanya 3,18 % yang dialokasikan untuk skala kecil," papar Febri.

Indonesia Corruption Watch (ICW) ikut merespons pemberian grasi terhadap Annas Maamun. ICW menyatakan mengecam langkah Jokowi tersebut. Meski demikian, ICW mengklaim memaklumi keputuasan Jokowi tersebut.

"Sikap dari Presiden Joko Widodo ini mesti dimaklumi, karena sedari awal Presiden memang sama sekali tidak memiliki komitmen anti korupsi yang jelas. Jadi jika selama ini publik mendengar narasi anti korupsi yang diucapkan oleh Presiden itu hanya omong kosong belaka," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

Kurnia mengatakan hal tersebut bukan tanpa dasar. Menurut dia, ada beberapa keputusan Jokowi yang dianggap tidak pro pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pertama, menurut Kurnia terkait persetujuan Jokowi terhadap calon pimpinan KPK yang diduga mempunyai banyak persoalan, kemudian Presiden menyetujui revisi UU KPK, dan Presiden ingkar janji dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menyelamatkan KPK.

ICW pun menuntut agar Presiden mencabut grasi untuk Annas Maamun.

"Keputusan Presiden tentang pemberian grasi kepada Annas Maamun pun mesti dipertanyakan, sebab bagaimanapun kejahatan korupsi telah digolongkan sebagai extraordinary crime, untuk itu pengurangan hukuman dalam bentuk dan alasan apa pun tidak dapat dibenarkan," kata Kurnia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya