MS Hidayat: Munas Golkar Bisa Pecah bila Tak Seusai AD/ART

Hidayat mengatakan, aklamasi hanya bisa dilakukan setelah melewati Penjaringan dan Pencalonan.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Nov 2019, 16:42 WIB
Ketua Umum DPP Golkar Airlangga Hartarto (ketiga kanan) bersama Ketua MPR Bambang Soesatyo (ketiga kiri) dan Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin (kedua kiri) saat menghadiri Rapimnas Partai Golkar di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (14/11/2019). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Dewan Pembina Partai Golkar MS Hidayat berharap pemilihan Ketua Umum Partai Golkar pada Munas yang berlangsung tanggal 4 Desember 2019 nanti harus sesuai AD/ART.

Dia khawatir, jika tidak sesuai, ada potensi munas tandingan yang dari sisi legalitas dan legitimasi lebih kuat karena acuannya adalah AD/ART Partai Golkar.

"Perpecahan bisa terjadi jika dalam munas 4 Desember nanti tidak ada pemungutan suara yang didahului tahapan penjaringan dan pencalonan. Apalagi jika dalam munas nanti ada upaya atau unsur paksaan untuk mengganti pemungutan suara langsung dengan dukungan tertulis dari pemilik suara,” kata MS Hidayat.

Politikus senior Partai Golkar itu mengungkapkan, dalam AD/ART Partai Golkar Pasal 50 ayat (1) disebutkan: Pemilihan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Provinsi, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota, Ketua Pimpinan Kecamatan, dan Ketua Pimpinam Desa/Kelurahan atau sebutan lain dilaksanakan secara langsung oleh Peserta Musyawarah.

Kemudian pada ayat (2) diatur bahwa: pemilihan dilakukan nelalui penjaringan, pencalonan, dan pemilihan.

"Justru dalam tahap Penjaringan dan Pencalonan inilah wajah demokrasi Partai Golkar terlihat. Setiap kader Golkar yang potensial dan memenuhi persyaratan dibebaskan mengajukan diri untuk kemudian dijaring dan dicalonkan sebagai Ketua Umum,” ungkap dia.

Hidayat juga menambahkan, aklamasi hanya bisa dilakukan setelah melewati Penjaringan dan Pencalonan. Menurutnya, ketika mayoritas pemilik suara menginginkan, barulah bisa dilakukan mekanisme pengambilan keputusan tersebut. Sebab, kalau aklamasi dilakukan tanpa Penjaringan dan Pencalonan, itu sama saja pemaksaan.

"Sepanjang dilakukan transparan, fair dan mematuhi ketentuan AD/ART, pasti semua pihak menerima apapun hasilnya.  Jika ada rekayasa dan pemaksaan itu tetap dilakukan, maka besar potensi terjadi perpecahan dengan acuan AD/ART Partai,” tegas dia.

 

 

 

 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Fokus Urus Partai

Sebelumnya, Politikus senior Partai Golkar Marzuki Darusman menyebutkan suara Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tingkat II merupakan salah satu penentu dalam pemilihan ketua umum dalam Musyawarah Nasional (Munas) Golkar yang akan digelar pada awal Desember 2019.

"DPD II kunci dari hasil Munas Golkar. Suara yang diberikan bukan hanya sekadar hak suara, tapi suara yang dipertimbangkan karena menyuarakan langsung aspirasi anggota partai di daerah yang sehari-hari berurusan dengan mereka," kata Marzuki di Jakarta, Senin (25/11/2019).

Menurut dia, suara Golkar saat ini harus dipulihkan dari kemerosotan mengingat Suara Golkar pada Pemilu 2019 menurun. Pemilu 2014,Golkar mendapat 91 kursi di DPR, namun pada Pemilu 2019 hanya mengantongi 85 kursi.

 

Dia mengingatkan, tantangan agenda politik ke depan makin berat dan kompleks. Oleh karena itu, jangan sampai Golkar tidak siap menghadapi tantangan ke depan."Kami ini dalam keluarga besar, tidak ada masalah individu, kami hanya ingin partai ini selamat," ujar Marzuki.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya