Berkenalan dengan Sosok Perempuan Kepala Observatorium Boscha

Masih sedikit perempuan yang menekuni dunia astronomi, salah satunya adalah Premana W. Premadi yang kini mengepalai Observatorium Boscha.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 28 Nov 2019, 16:03 WIB
Direktur Observatorium Boscha Premana W. Premadi (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta -  Nama Observatorium Boscha tentu lebih dikenal daripada nama Premana W Premadi. Tetapi, lulusan Astronomi Institut Teknologi Bandung itu adalah astrofisikawan perempuan pertama yang memimpin observatorium terbesar di Indonesia.

Nama belakangnya bahkan disematkan dalam asteroid yang ditemukan fisikawan Belanda, yakni Asteroid 12937 Premadi. Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan penamaan tersebut sebagai bentuk dukungan dunia internasional kepada Indonesia untuk memajukan dunia astronomi.

Terjunnya Nana, biasa ia disapa, diawali oleh kesukaannya pada matematika dan fisika. Di samping itu, ia merasa mengamati alam semesta lebih cocok untuk kepribadiannya yang menyukai ketenangan. 

"Saya enggak suka keramaian, saya juga enggak terlalu nyaman ngomong di depan orang banyak," kata dia dalam sesi bincang-bincang GE Indonesia Recognition for Inspiring Women in Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) di Jakarta, Rabu, 27 November 2019.

Nana menekuni bidang astronomi hingga mengambil program doktoral di Texas, Amerika Serikat. Ia mengenang masa tersebut sebagai masa perjuangan lantaran menjadi satu-satunya perempuan sekaligus satu-satunya orang Asia uang mendalami astrofisika. 

"I really work hard," ujarnya.

Setelah menyelesaikan S3 di Texas, Amerika Serikat, ia kembali ke Indonesia dan menerapkan ilmunya menjadi dosen di almamaternya. Beberapa tahun kemudian, ia dipercaya mengepalai Observatorium Boscha. Observatorium itu kini memfokuskan penelitian pada teori evolusi bintang, termasuk perilaku matahari, yang hasilnya disebarkan ke dunia internasional.

Nana, biasa disapa, menyebut minat anak muda Indonesia atas astronomi meningkat setiap tahunnya. Terbukti dari jumlah mahasiswa yang mendaftar di jurusan tersebut kini mencapai 50an orang dari hanya belasan pada tahun 1990an.

Namun, jumlah perempuan yang menekuni bidang itu masih sedikit. Padahal, ia menyebut kesempatan kerja bagi perempuan di bidang astronomi terbuka luas. Di samping itu, ia meyakini semakin banyak perempuan yang menekuni bidang sains, pola pikir generasi mendatang akan lebih baik.

"Zaman dulu yang dibayangkan pekerjaan astronomi itu adalah bekerja dengan teleskop yang besar dan begadang. Tapi dengan perkembangan teknologi saat ini, kita bisa bekerja dari mana saja kok," kata Nana.

Ia juga menambahkan, peran perempuan di bidang astronomi bahkan sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu. Mereka bertugas mencatat dan bahkan menganalisis data yang dikumpulkan pada astronom lelaki. Mereka lah yang disebut computer lady. 

"Sebagian dari mereka bukan hanya mencatat tapi dapat hal-hal fundamental dalam fisika. Ini membuktikan ternyata ibu-ibu itu canggih juga,"  katanya.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Advokasi Penderita ALS

Direktur Observatorium Boscha Premana W. Preamdi meraih penghargaan dari GE Indonesia. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Selain sibuk meneliti dan mempromosikan astronomi, Nana juga aktif mengadvokasi soal penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS) yang diidapnya sejak 2010. Penyakit yang menyerang saraf motorik itu memaksanya menggunakan tongkat sebagai alat bantu.

Saat pertama didiagnosis, perempuan kelahiran Surabaya, 13 Juli 1964, mengaku sangat sulit memperoleh informasi mengenai ALS dalam bahasa Indonesia. Informasi yang didapat kebanyakan berbahasa Inggris. Ia pun berinisiatif membagikan ilmu yang diperolehnya lewat blog.

"Sebenarnya penyakit ini enggak terlalu langka, persentasenya dua per seratus ribu yang kena. Artinya, di Indonesia bisa jadi ada 50 juta orang yang mengidap ALS, tapi mereka di mana," tuturnya.

Inisiatifnya berbagi direspons baik. Banyak yang mengontaknya di laman tersebut sehingga ia pun terdorong membuat Yayasan ALS Indonesia pada 2015. Yayasan itu menjadi wadah berbagi informasi dan saling mendukung bagi para penderita ALS.

"Saat ini ada 70an anggota. Sebenarnya jumlah teman baru yang bergabung di ALS itu banyak, tapi jumlahnya sama dengan yang meninggal," ujarnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya