Liputan6.com, Jakarta - Kalangan produsen menuntut janji penyerapan minyak sawit berkelanjutan atau Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) di pasar global. Setiap tahun, penjualan CSPO di bawah 50 persen yang berakibat oversuplai CSPO dan tidak adanya premium price bagi konsumen.
Walaupun, produsen sudah mampu memenuhi prinsip dan kriteria sertifikat berkelanjutan sesuai permintaan negara maju terutama Eropa.
“RSPO tidak membela kepentingan industri sawit baik produsen dan petani. Yang terjadi, tekanan terus diberikan. Saat harga turun ataupun tidak ada premium price. Mereka tidak membela anggotanya,” kata Pengamat Perkelapasawitan Maruli Gultom di Jakarta, Sabtu (30/11/2019).
Maruli Gultom menyatakan, sertifikasi RSPO lebih banyak memuat kepentingan business to business. Buktinya, anggota RSPO harus membayar iuran setiap tahun. Mahalnya biaya sertifikasi dan surveillance menjadi bukti RSPO lebih banyak bersifat bisnis.
Baca Juga
Advertisement
“Produsen mau saja bayar untuk dipermalukan oleh NGO dalam forum tahunan. Kalaupun ingin menerapkan prinsip sustainable tidak perlu menjadi anggota RSPO,” ujarnya.
Dia pun mempertanyakan pihak yang bertanggungjawab ketika premium price tidak terwujud. Harusnya sertifikasi ini memberikan nilai tambah bagi pesertanya.
Tetapi faktanya sangatlah berbeda. Penolakan sawit di Eropa bukanlah persoalan merusak lingkungan tetapi persaingan energi dengan produk minyak nabati yang diproduksi Eropa seperti kedelai, rapeseed, dan sun flower. Yang harus dipahami bahwa tidak semua konsumen di Eropa mau membayar premium price bagi produk minyak sawit berkelanjutan.
“Siapa yang bertanggungjawab ketika premium price tidak ada (bagi produsen dan petani sawit),” ungkapnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Konsumen Minyak Dunia
Sementara itu, Menteri Pertanian Periode 2000-2004 Bungaran Saragih menjelaskan, konsumen minyak sawit dunia yang selama ini menuntut sustainability ternyata inkonsisten. Penyerapan pasar CPO bersertifikat sustainablity baru sekitar 60 persen dari produksi CPO bersertifikat sustainability.
Menurutnya, konsep sustainability yang berlaku dan diadopsi sekarangini baik ISPO maupun RSPO merupakan konsep absolute sustainability dengan dua kategori yakni sustainable or unsustainable. Pendekatan sustainability bersifat mutlak dinilai kurang tepat.
Padahal, sustainability ini merupakan konsep relatif yakni lebih sustainable (more sustainable) dari sebelumnya atau dibandingkan yang lain. Diakuinya bahwa banyak pihak berpandangan bahwa sertifikasi sustainability minyak sawit dinilai diskriminatif karena hanya menuntut sertifikasi pada komoditas sawit dan belum diberlakukan di seluruh komoditi maupun produk diperdagangkan secara internasional.
Padahal kewajiban sustainability ini bersifat menyeluruh baik dalam perundang-undangan berlaku di Indonesia maupun platform SDG’s yang telah diratifikasi di Indonesia. Adapun perwakilan petani yang hadir dalam diskusi mengakui terjadi ketidakadilan bagi petani peserta RSPO.
Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Manurung, menyebutkan anggotanya dikejar-kejar mengikuti sertifikasi RSPO. Setelah dapat, harga yang diterimanya tetap sama.
“Mereka (petani) dijanjikan harga bagus. Tapi tidak ada. Permintaan minyak sawit bersertifikat lebih rendah dari produksi. Pembeli yang ingin minyak sawit bersertifikat jumlahnya juga sedikit. Artinya, tuntutan sertifikat bagian politik dagang negara pembeli seperti Eropa. Kita dituduh merusak hutan dan lingkungan. Padahal, yang menuduh belum tentu pahan dan mengerti sawit,” tegasnya.
Advertisement