Liputan6.com, Jakarta - Pakar politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro berharap Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tak main-main dengan rencana amandemen UUD 1945. Dia mengingatkan jangan ada kepentingan politik sesaat di balik perombakan konstitusi negara itu.
"Jadi memang ini dirumuskan jauh dari kepentingan-kepentingan sesaat, dari katakan untuk kepentingan durasi jangka pendek, hanya untuk 2024," tegas Siti di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (30/11/2019).
Advertisement
Siti menekankan, amandemen UUD 1945 harus sejalan dengan kepentingan bangsa dan negara. Mengubah konstitusi juga harus memiliki landasan kuat baik secara hukum maupun akademik.
Secara akademik, harus ada naskah yang membahas alasan amandemen UUD 1945. Di samping itu, naskah akademik memuat penjelasan dampak negatif dari penerapan UUD sebelumnya.
"Sehingga ketika satu keputusan lalu dinarasikan dalam bentuk pasal, ayat betul-betul pasal ayat yang bisa dipertanggungjawabkan," ujar dia.
Siti melanjutkan, proses penggodokan naskah akademik harus melalui konsultasi publik. Setiap wilayah atau daerah harus didatangi oleh MPR untuk meminta masukan dan saran.
"Jadi semua naskah akademik dan semua rumusan-rumusan formula baru tadi itu dikonsultasikan ke publik melalui katakan satu seminar besar. Baik per wilayah maupun per daerah sehingga mendapatkan feedback. Jadi tidak lalu ingin ini jadi, langsung pasalnya keluar, tidak boleh seperti itu," kata Siti.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Safari Pimpinan MPR
Sebelumnya, Pimpinan MPR mendatangi DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jalan TB Simatupang nomor 82, Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Kedatangan rombongan pimpinan MPR ini guna memaparkan rencana amandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 menyangkut Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Dalam pertemuan tertutup itu, Presiden PKS Sohibul Iman meminta agar amandemen konstitusi itu dilandaskan pada kehendak rakyat Indonesia. Bukan segelintir elit apalagi penguasa.
"PKS akan sangat mendengarkan dan mempertimbangkan aspirasi dan kehendak rakyat Indonesia dalam mendukung atau menolak wacana amandemen UUD NRI 1945," kata Sohibul usai pertemuan dengan MPR di DPP PKS, Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Jika rakyat menghendaki amandemen, kata dia PKS memberikan dua prasyarat yang harus dilakukan dalam amandemen tersebut. Salah satunya adalah pembentukan lembaga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang bersifat permanen dalam konstitusi.
Hal ini, menurut Sohibul sebagai bentuk komitmen PKS terhadap perang melawan korupsi. "Argumentasi kami selama APBN dan APBD ada, maka pencegahan dan penindakan korupsi diperlukan selamanya untuk menyelamatkan uang rakyat," kata dia.
Menurut mantan Rektor Universitas Paramadina itu, PKS juga meminta supaya lembaga tersebut di seluruh provinsi Indonesia. Bukan hanya terpusat di Jakarta.
Selain itu, syarat kedua yang diminta PKS adalah partai itu mendorong perubahan pada Pasal 2 Ayat 2 dalam konstitusi menyangkut MPR.
"Yang berbunyi: 'Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak'," kata dia.
Menurut PKS, putusan dengan suara terbanyak itu mesti diganti dengan musyawarah mufakat. Mengingat musyawarah mufakat merupakan semangat dalam nilai-nilai Pancasila.
"Jika tidak terpenuhinya mufakat, baru kemudian diputuskan dengan suara terbanyak," jelas Presiden PKS itu.
Reporter: Titin Supriatin
Sumber: Merdeka
Advertisement