HEADLINE: Hari Disabilitas Internasional, Sudah Ramahkah Indonesia pada Para Difabel?

Stigma negatif dan diskriminasi terhadap individu disabilitas kerap menjegal langkah mereka untuk bisa setara dengan individu non-difabel.

oleh Hanz Jimenez SalimDyah Puspita WisnuwardaniBenedikta DesideriaDevira PrastiwiGiovani Dio Prasasti diperbarui 03 Des 2019, 00:01 WIB
Potret Semarak Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Surabaya (sumber:Instagram/dispendiksby)

Liputan6.com, Jakarta - Setiap pagi, Edi Priyanto, penyandang disabilitas tuna daksa rela bangun pukul 03.30 WIB agar bisa bersekolah. Dia perlu bangun lebih dulu dari waktu kokok ayam jantan berkumandang lantaran harus menempuh jarak 10 kilometer dengan kursi roda untuk berangkat dan pulang sekolah.

Edi biasa berangkat ke sekolah pukul 05.10 WIB dan tiba di sekolah kurang lebih satu jam kemudian. Jarak antara rumah dan sekolah yang jauh kerap membuat Edi menunggu langit cukup teduh sebelum pulang. Dengan kursi rodanya, Edi akan bergegas di sepanjang tepi Jalan Parangtritis, Yogyakarta, menuju rumah.

Perjalanan pulang lebih menantang karena Jalan Parangtritis merupakan jalan besar, semakin siang semakin banyak dilewati kendaraan bermotor dan belum dilengkapi jalur khusus disabilitas. Namun Edi tak pernah mengeluh. Baginya, sekolah adalah upaya untuk meraih kehidupan yang lebih baik, mengutip laman Merdeka (Mei 2015).

 

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)

Terkait kesempatan bersekolah, Edi masih lebih beruntung dibandingkan Salsa. Gadis penyandang down syndrome asal Magelang itu sudah setahun putus sekolah karena belum menemukan sekolah inklusi di daerah tempat tinggalnya.

Harwiyati, sang ibu menuturkan, sebelumnya Salsa (19) pernah bersekolah di SMP Kosgoro Bogor. Namun, sekembalinya ke Magelang, Harwiyati tak menemukan sekolah inklusi bagi putri keduanya itu. Dinas pendidikan setempat menyarankan Harwiyati menyekolahkan anaknya di sekolah luar biasa.

Alih-alih melanjutkan pendidikan, Salsa pun mengisi hari-harinya dengan mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh Departemen Ketenagakerjaan (Depnaker), seperti membatik dan menjahit.

Remaja yang selalu ramah dan ceria itu kini telah mahir menjahit dengan tangan dan membatik menggunakan canting. Bahkan, batik karya Salsa telah sampai ke Negeri Sakura. Salah seorang kerabatnya memesan batik buatan Salsa untuk temannya, warga negara Jepang.

Bakat lain yang dimiliki Salsa adalah menari. Gadis itu luwes menggerakkan tubuh mengikuti ketukan irama musik tradisional. Tak heran bila ia diundang tampil dalam rangkaian peringatan Hari Disabilitas Internasional oleh Kementerian Sosial, Senin (2/12/2019) di Plaza Barat Gelora Bung Karno, Senayan. Menurut sang ibu, Salsa belajar menari secara otodidak.


Stigma negatif

Bukan hanya dalam hal infrastruktur atau bidang pendidikan, para penyandang disabilitas kerap kali harus berupaya lebih keras dibandingkan rekan-rekan mereka yang non-disabilitas untuk mendapatkan kesempatan kerja.

Pengalaman sulitnya mencari pekerjaan lantaran stigma negatif terhadap penyandang disabilitas turut dirasakan Putri Sampaghita Trisnawinny Santoso, salah seorang pendiri Kopi Tuli.

Lulusan desain komunikasi visual Universitas Binus itu setidaknya pernah mengirim lamaran kerja pada 500 perusahaan. Alih-alih diterima bekerja, kemampuan Putri berkomunikasi diragukan oleh perusahaan.

Selain Putri, ada pula dokter gigi Romi Syofpa Ismael yang mendapat diskriminasi terkait kondisinya sebagai penyandang disabilitas. Status CPNS Romi dibatalkan.

Stigma negatif dan diskriminasi terhadap individu disabilitas kerap menjegal langkah mereka untuk bisa setara dengan individu non-difabel. Hal itu diakui oleh Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Gufroni Sakaril.

"Stigma negatif tidak cuma berasal dari lingkungan, tapi juga keluarga. Malah di daerah tertentu disebut kutukan sampai dipasung," kata Gufroni saat mengunjungi kantor Liputan6.com, Jakarta.

Menurut Gufroni, penyandang disabilitas tak akan mendapat kesempatan untuk maju bila stigma negatif masih dilekatkan. Padahal, banyak penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan tak kalah dari masyarakat yang tak memiliki kekurangan fisik.

Hal senada diutarakan Direktur Eksekutif Yayasan Helping Hands Wendy Kusumowidagdo. Ia mengatakan, perlu ada aksi nyata agar penyandang disabilitas bisa disetarakan dengan individu lain.

"Harus ada aksi nyata untuk membantu saudara kita yang disabilitas, agar bisa berjalan beriringan dengan setara bersama seluruh lapisan masyarakat untuk mewujudkan sumber daya manusia yang unggul dan Indonesia yang maju," ujar Wendy, seperti dikutip dari Antara.

Wendy melihat, penyandang disabilitas di Indonesia masih mengalami kesulitan besar dalam mendapat pekerjaan formal. Rekan Wendy, Willy Suwandi Dharma mengatakan, hanya sekitar 1,2 persen penyandang disabilitas yang berhasil ditempatkan dalam sektor tenaga kerja formal.

 

 


Indonesia Inklusi, Disabilitas Unggul

Sosialisasi Hari Disabilitas International, Minggu (1/12/2019), Gate 7 GBK, Senayan, Jakarta. (Foto: Liputan6.com/Dyah Puspita W)

Keberadaan dan potensi para penyandang disabilitas telah mendapat perhatian pemerintah. Salah satu upaya pemerintah hadir bagi para difabel dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas dan PP Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, Evaluasi terhadap Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

Kedua PP itu adalah aturan pelaksana UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

"Ada 17 hak penyandang disabilitas. Di antaranya hak hidup, bebas dari stigma, pendidikan dan pekerjaan," kata Dirjen Rehabilitasi Sosial Edi Suharto dalam acara jamuan makan malam Hari Disabilitas Internasional, Kamis 28 November 2019.

Mewakili individu disabilitas di Indonesia, Gufroni berharap delapan peraturan pemerintah bisa disahkan tahun ini. "UU sudah lahir tapi implementasi lamban karena belum ada PP-nya," kata dia. Meski demikian, para penyandang disabilitas bersyukur, sudah ada dua peraturan pelaksana yang telah disahkan.

Gufroni berharap, penyandang disabilitas dilibatkan, ikut urun rembug, dalam penyusunan draf PP. "Sehingga lahir PP yang mengakomodasi kepentingan penyandang disabilitas," dia menambahkan.

Sebab, karyawan Indosiar itu menambahkan, tak mungkin sebuah aturan bisa mengakomodasi kepentingan penyandang disabilitas tanpa mendengar suara mereka.

Gufroni mengatakan, meski memiliki keterbatasan, penyandang disabilitas punya potensi yang bisa dioptimalkan.

"Yang tak hanya bisa menolong dirinya sendiri, tapi juga keluarga dan masyarakat luas," kata Gufroni.

Aturan pelaksana atau PP diharapkan bisa menjadi jembatan untuk menggali potensi penyandang disabilitas.

"Jika kami diberi kesempatan, pelatihan, bisa mengeluarkan potensi yang luar biasa sesuai tema Hari Disabilitas tahun ini, Indonesia Inklusi, Disabilitas Unggul," kata Gufroni.

"Namun, mewujudkan disabilitas unggul ada syaratnya, kalau Indonesia tidak Inklusi, susah untuk mewujudkan disabilitas unggul. Itu syarat mutlak."


Angin Segar Inklusi

Munculnya nama Angkie Yudistia dalam daftar tujuh staf khusus Presiden RI Joko Widodo untuk Kabinet Indonesia Maju seolah menjadi pertanda pemerintah telah mengawali langkah inklusif terhadap individu difabel. Perempuan penyandang tunarungu yang aktif di bidang sosiopreneur itu ditunjuk menjadi juru bicara presiden bidang sosial.

"Saya merasa bangga diberikan kesempatan oleh Presiden menyuarakan 121 juta disabilitas di seluruh Indonesia," ujar Angkie di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis, 21 November 2019.

Perempuan kelahiran 5 Mei 1987 ini menyebut, sudah saatnya suara dari para penyandang disabilitas didengar.

Angkie menegaskan, orang-orang disabilitas itu setara dengan orang lainnya.

"Sudah waktunya disabilitas bukan kelompok minoritas tapi kita dianggap setara. Membentuk lingkungan inklusif," kata Angkie Yudistia.

Angin segar perubahan lainnya datang dari kebijakan pemerintah yang mengalokasikan dua persen kuota penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) bagi penyandang disabilitas. Hal itu diungkap oleh Menteri Sosial Juliari P Batubara.

Juliari menjelaskan, kuota dua persen itu dialokasikan secara merata di seluruh kementerian dan lembaga pemerintah.

Khusus untuk kementerian yang dipimpinnya, Juliari mengaku ingin menambah kuota perekrutan lebih dari dua persen.

"Saya sampaikan ke teman-teman di Kemensos kalau bisa kita hire di atas dua persen," kata Juliari seperti dilansir dari Antara.

Juliari berharap, para penyandang disabilitas dapat menyalurkan talenta dan bakat yang mereka miliki dan berkontribusi bagi negeri.

"Mereka juga benar-benar bisa memberikan sumbangsihnya buat negara dan bangsa ini. Dan saya yakin mereka juga memiliki keinginan tinggi buat kemajuan bangsa dan negara," ujarnya.

Ia mencontohkan, sejumlah pejabat eselon dua di Kementerian Sosial yang juga merupakan penyandang disabilitas yang kualitasnya sangat diakui.

"Bahkan di Kemensos itu ada pejabat eselon dua kami yang disabilitas dan kinerjanya buat bangsa luar biasa bagus," katanya.


Aset Negara

Menteri Sosial (mensos) Juliari Batubara (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Juliari berharap agar Indonesia bisa menjadi negara yang ramah terhadap kaum disabilitas. Namun, bukan hanya itu yang menjadi harapan dari Kemensos.

"Tidak hanya sekadar ramah, sekadar friendly, sekadar mengakui keberadaan mereka tapi juga bisa memberdayakan mereka. Menjadikan mereka komponen bangsa yang diharapkan untuk mendorong kemajuan negara," kata pria yang akrab disapa Ari kepada Liputan6.com dalam wawancara khusus pada Senin, 2 Desember 2019. 

Meminjam istilah ekonomi yang merupakan latar belakangnya, Ari mengatakan bahwa ke depannya, disabilitas juga bisa menjadi aset bagi bangsa.

"Saya kira istilah yang tepat, sebagai aset, tidak lagi liability kalau di istilah keuangannya," kata Ari menjelaskan.

Ari sendiri melihat bahwa hak-hak bagi disabilitas sudah diakui oleh negara. Salah satu contoh implementasinya adalah dengan kesediaan fasilitas publik di kota besar yang lebih ramah disabilitas. Walau ia mengakui bahwa ada banyak daerah yang belum memiliki hal tersebut.

Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa Kemensos untuk berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri agar nantinya para kepala daerah mengeluarkan peraturan yang lebih ramah bagi penyandang disabilitas.

"Supaya mereka juga mengingatkan kepada kepala daerah mengeluarkan perda-perda yang turunan dari undang-undang penyandang disabilitas," ujarnya. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya