Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas vonis terhadap politikus Golkar Markus Nari dalam kasus korupsi e-KTP.
Banding dilakukan lantaran KPK menilai masih ada hal yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor dalam amar putusan terhadap Markus Nari.
Advertisement
"Pada prinsipnya, pertimbangan banding dilakukan agar uang hasil korupsi dapat kembali ke masyarakat secara maksimal," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Selasa (3/12/2019).
Febri mengatakan, jaksa penuntut umum pada KPK menilai jika Markus Nari menerima uang USD 900 ribu dalam perkara ini. Hal tersebut dituangkan dalam tuntutan terhadap Markus.
Namun dalam vonis yang dijatuhkan, hakim menilai Markus terbukti menerima uang hanya USD 400 ribu.
"Sedangkan dugaan penerimaan lain, yaitu USD 500 ribu tidak diakomodir dalam putusan tingkat pertama tersebut," kata Febri.
Febri berharap, dengan pengajuan banding ini, KPK bisa memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara.
"Karena KPK cukup meyakini, seharusnya terdakwa terbukti menerima USD 900 ribu atau setara lebih dari Rp 12 miliar sehingga uang tersebut diharapkan nantinya dapat masuk ke kas negara," kata Febri.
Sebelumnya, Markus Nari divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Markus dinyatakan bersalah memperkaya diri sendiri senilai USD 400 ribu dari proyek e-KTP.
Selain itu, Markus bersalah merintangi penyidikan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Cekal Dadang Suganda
Selain itu, KPK juga melayangkan surat permintaan pencegahan ke luar negeri kepada Ditjen Imigrasi Kemenkum HAM atas nama Dadang Suganda.
Dadang merupakan tersangka baru dalam kasus korupsi pengadaan ruang terbuka hijau (RTH) di Bandung, Jawa Barat. Pencegahan ke luar negeri terhadap Dadang dilakukan demi kepentingan penyidikan.
"KPK telah mengirimkan surat ke Ditjen Imigrasi tentang larangan bepergian ke luar negeri terhadap seseorang bernama Dadang Suganda, wiraswasta selama 6 bulan ke depan terhitung sejak 26 November 2019," ujar Febri.
Sebelumnya, KPK menetapkan tersangka baru dalam kasus korupsi pengadaan ruang terbuka hijau (RTH) di Pemerintahan Kota (Pemkot) Bandung, Jawa Barat. Tersangka baru tersebut dari pihak swasta bernama Dadang Suganda.
Febri mengatakan, kasus ini bermula pada saat Wali Kota Bandung Dada Rosada pada 2011 menetapkan lokasi pengadaan tanah untuk RTH Kota Bandung dengan anggaran Rp 15 miliar untuk 10.000 meter persegi.
Setelah rapat dengan Banggar DPRD Bandung, diduga ada anggota DPRD meminta penambahan anggaran dengan alasan ada penambahan lokasi untuk Pengadaan Ruang Terbuka Hijau.
"Besar penambahan anggarannya dari yang semula Rp 15 miliar menjadi Rp 57.210.000.000 untuk APBD murni tahun 2012," kata Febri
Sekitar bulan September 2012, diajukan kembali penambangan anggaran dari Rp 57 miliar menjadi Rp 123, 93 miliar. Total anggaran yang telah direalisasikan adalah Rp 115,22 Milyar di 7 kecamatan yang terdiri dari 210 bidang tanah.
Dalam proses pengadaan tanah ini, Pemerintah Kota Bandung tidak membeli langsung dari pemilik tanah, namun diduga menggunakan makelar, yakni Kadar Slamet yang merupakan anggota DPRD Kota Bandung periode 2009-2014, dan Dadang Suganda.
"Setelah tanah tersedia, Pemkot Bandung membayar Rp 43,65 miliar pada DGS (Dadang). Namun DGS hanya memberikan Rp 13,5 miliar pada pemilik tanah. Sehingga diduga DGS diperkaya sekitar Rp 30 miliar," kata Febri.
Febri mengatakan, dalam proses penanganan perkara ini, KPK telah menerima pengembalian uang dan aset sejumlah Rp 8 miliar.
"KPK akan mengejar aliran dana lain yang diduga dinikmati oleh sejumlah pihak dalam perkara ini untuk memaksimalkan asset recovery," kata Febri.
Dalam perkara ini, KPK sudah lebih dahulu menjerat mantan Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Bandung Herry Nurhayat, anggota DPRD Kota Bandung periode 2009-2014 Tomtom Dabbul Qomar, dan anggota DPRD Kota Bandung periode 2009-2014 Kemal Rasad.
Advertisement