Perjuangan OD HIV di Malang Hidup Normal dan Memiliki Anak Negatif HIV

Orang yang hidup dengan HIV/AIDS bila rutin berobat dan sesuai petunjuk dokter bisa punya anak dengan normal.

oleh Zainul Arifin diperbarui 04 Des 2019, 05:00 WIB
Seorang lelaki di Kota Malang hidup dengan HIV/AIDS rutin berobat dan beraktivitas dengan wajar. Dia takut membuka identitasnya karena potensi diperlakukan diskriminasi (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Liputan6.com, Malang - Putra (bukan nama sebenarnya), tampak sibuk menyelesaikan laporan pekerjaan melalui gawainya. Sesekali segelas cokelat panas di atas meja diteguknya. Tampak dia beraktivitas seperti kebanyakan orang, meski dia merupakan orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHIV).

Pria berusia 30 tahun ini beraktivitas normal. Sehari-hari, dia bekerja sebagai staf promosi dan pemasaran di sebuah perusahaan meski hidup dengan HIV/AIDS. Menyandang status ODHIV tidak membuat ia diam dan menyerah begitu saja.

"Sebentar ya, saya selesaikan ini dulu, tinggal melengkapi saja," kata Putra di Malang, Senin, 2 Desember 2019.

Sudah 2 tahun ini virus HIV berada di dalam tubuhnya. Meski begitu, kehidupan sosialnya nyaris tidak banyak berubah. Kalau pun ada itu lebih pada mengubah perilaku hidup lebih sehat, serta menanggalkan gaya hidup lamanya.

"Saya ingin membuktikan tetap bisa dan mampu beraktivitas seperti orang–orang pada umumnya," tutur Putra membuka cerita.

Ia seseorang dengan orientasi seksual Lelaki Suka Lelaki (LSL). Pasangannya meninggal karena HIV/AIDS. Ia merasa was-was begitu tahu penyebab kematian itu. Ia tak berdiam diri, dia mencari informasi seputar virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia itu.

"Tidak lama setelah itu saya jatuh sakit, dibawa ke rumah sakit. Dokter menyatakan saya positif, itu pada Oktober 2017," ucapnya.

Selama 2 bulan pertama, ia fokus perawatan awal dan memulihkan kondisi. Semula, berat badannya sempat turun 4 kilogram. Pelan tapi pasti, bobotnya kembali normal. Ia rutin mengonsumsi obat antriretroviral (ARV).

Keluarga tahu Putra positif HIV/AIDS dari keterangan dokter saat awal dirawat di rumah sakit. Awal ada kekagetan dari keluarga, tapi berikutnya mereka jadi sumber penyemangat utama. Namun, dia juga punya motivasi diri agar tetap mampu beraktivitas seperti biasa.

"Ibu selalu mengingatkan saatnya minum vitamin bila tiba waktunya minum obat," ucap Putra.

Rutin berobat selama tahun pertama, membuahkan hasil. Virus tidak terdeteksi atau jumlah virus sangat rendah. Meski demikian, ia tetap tidak putus obat dan terus rutin mengonsumsi ARV. Mengidap HIV/AIDS tak menghalanginya beraktivitas di berbagai komunitas.

"Kalau mengubah jam konsumsi atau malah berhenti obat, virus bisa muncul lagi dan bisa lebih buruk lagi. Aktif di komunitas itu membuat kita tetap semangat," ujar Putra.


ODHIV Bisa Berkeluarga

Perempuan asal Malang ini 13 tahun hidup dengan HIV/AIDS dan kini sudah memiliki anak yang dinyatakan negatif atau tidak terdapat virus HIV (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Selain Putra, ada pula Putri (bukan nama sebenarnya). Perempuan 34 tahun ini sudah 13 tahun hidup dengan HIV/AIDS. Perjalanan panjang dilaluinya, termasuk berkeluarga dan punya seorang anak berstatus negatif atau bebas dari virus HIV.

Putri dinyatakan positif pada 2006 silam. Tertular dari suaminya yang seorang pengguna narkoba jarum suntik. Awalnya, ia heran banyak teman suaminya sesama pengguna narkoba meninggal. Putri berinisiatif tes VCT sendiri saat pasangannya tidak mau cek kesehatan.

"Saya cek kesehatan karena pasangan saya punya perilaku berisiko," tuturnya.

Meski sejak awal sudah siap dengan berbagai kemungkinan, dunianya seakan runtuh begitu dokter menyatakan ia positif. Meski begitu, ia tidak mau lama merenungi kondisi kesehatannya. Memilih menjalankan prosedur pengobatan dengan rutin.

"Tidak lama setelah itu suami mau periksa kesehatan dan dinyatakan positif," ujar dia.

Hubungan pasangan ini kandas, berakhir di perceraian lantaran sudah tidak ada kecocokan. Putri melanjutkan aktif di lembaga swadaya pendamping ODHA. Di aktivitas itu pula itu bertemu dengan seorang pria yang juga positif HIV. Keduanya menikah pada 2010.

"Kehidupan kami berlangsung normal saja. Berhubungan sesuai metode yang dianjurkan dokter," ucapnya.

Setahun kemudian pasangan ini dianugerahi anak. Buah hati mereka dinyatakan negatif alias bebas dari virus HIV meski kedua orangtuanya ODHA. Ini membuktikan mereka yang dinyatakan positif bisa berkeluarga dan tetap punya anak yang negatif.

"Semua bisa saja asal tidak boleh putus pengobatan. Tiap bulan juga rutin cek kesehatan," ujarnya.

Rutin mengonsumsi ARV, rajin cek kesehatan serta tes viral load tiap enam bulan sekali dilakoni terus menerus. Selain itu, tentu saja tetap menjaga pola hidup sehat. Selama menjalankan itu semua, ODHIV tetap bisa menjaga tubuh.

"Jangan sampai putus berobat. Sekali putus, akan lebih sulit lagi mengobati karena akan seperti pertama dinyatakan positif," urai Putri.


Rawan Diskriminasi

Seorang petugas puskesmas melakukan tes VCT secara gratis yang digelar di salah satu lembaga pendamping orang dengan HIV/AIDS di Kota Malang (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Putra dan Putri belum mau membuka diri ke publik terkait statusnya kepada orang-orang di lingkungan kerja maupun komunitasnya. Ada kekhawatiran mereka belum siap menerima itu. Apalagi masih saja ada perlakuan diskriminasi terhadap ODHA.

"Hanya orang tertentu yang tahu status saya dan mereka bisa menerima dengan baik. Saya akan terbuka pada siapa saja yang bisa berpikir terbuka," ujar Putra.

Vonis positif HIV membuatnya mengubah gaya hidup. Ia berusaha keras meninggalkan apa saja yang pernah dilalui di masa lalu. Sebab akan sia–sia usahanya selama ini bila masih tak mengubah perilaku tempo dulu.

"Saya ambil hikmahnya saja, mungkin ini jalan agar hidup lebih baik," ucapnya.

Putri pun demikian. Meski komunitasnya banyak yang sudah tahu statusnya sebagai ODHA, tetapi ia belum siap. Ia mengkhawatirkan anaknya yang negatif virus akan turut mendapat stigma masyarakat.

"Belum semua bisa menerima ODHIV dengan baik. Bahkan perlakuan diskriminasi itu sering muncul dari beberapa petugas di sejumlah pelayanan kesehatan," tutur Putri.

Saat sebuah diskusi bersama forum Jaringan Indonesia Positif, sebuah forum bersama kelompok pendamping ODHIV pada Juli 2019 lalu misalnya. Ada informasi sebuah rumah sakit memperlakukan jenazah ODHIV dengan tidak manusiawi, dibungkus dengan plastik.

Para relawan kelompok dukungan itu juga mengeluhkan masih banyak perlakuan diskriminasi pusat pelayanan kesehatan yang melayani tes VCT. Menghakimi secara verbal para ODHIV yang sepatutnya butuh perawatan kesehatan dan dukungan psikologis.

Akhir November lalu bahkan ada salah satu sekolah di Malang yang hendak mengeluarkan salah seorang siswanya yang dinyatakan positif HIV. Setelah diadvokasi, siswa itu bisa kembali masuk sekolah.


Kasus HIV/AIDS di Kota Malang

Seorang yang hidup dengan HIV/AIDS tidak boleh putus berobat agar kondisi kesehatannya tidak semakin drop (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Angka kasus HIV/AIDS di Kota Malang sendiri cukup tinggi, menempati peringkat kedua di Jawa Timur. Secara kumulatif, sejak 2005 sampai 2019 angkanya mencapai lebih dari 4 ribu kasus yang ditemukan.

Dari jumlah tersebut, baru sekitar 1.200 orang saja yang bisa mengakses pengobatan ARV di sejumlah tempat pelayanan kesehatan. Artinya, masih banyak yang belum bisa dijangkau dengan pengobatan karena berbagai sebab.

"Pengobatan harus ada semangat dari penderitanya dan dukungan keluarga," kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Malang, Husnul Muarif.

Akses pengobatan di Kota Malang sendiri bisa didapatkan di lima tempat yaitu RS Saiful Anwar, RST Dr Sopraoen, RS Unisma Dinoyo, Puskesmas Dinoyo, dan Puskesmas Kendalsari.

Sedangkan, untuk layanan konseling dan tes pemeriksaan awal sudah bisa dilayani di 16 puskesmas di Kota Malang. Hampir semua kasus awal HIV/AIDS ditemukan saat pasien memeriksa kesehatan di puskesmas itu atau pun di rumah sakit.

 

Simak video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya