MA Kurangi Hukuman Idrus Marham Jadi 2 Tahun

Sidang kasasi Idrus Marham tersebut dipimpin oleh majelis hakim Krisna Harahap, Abdul Latief, dan Suhadi.

oleh Putu Merta Surya PutraFachrur Rozie diperbarui 03 Des 2019, 14:43 WIB
Mantan Sekjen Partai Golkar, Idrus Marham bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/4/2019). Idrus Marham menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka Dirut nonaktif PT PLN Sofyan Basir terkait kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi terdakwa kasus suap PLTU Riau Idrus Marham. Mantan Menteri Sosial ini mengajukan kasasi setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman terdakwa kasus dugaan suap PLTU Riau 1 Idrus Marham menjadi 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Atau, lebih lama 2 tahun dari putusan Pengadilan Tipikor.

"Kabul," demikian bunyi putusan yang dikeluarkan 2 Desember 2019 tersebut, seperti dikutip dari laman MA, Selasa (3/12/2019).

Sidang kasasi Idrus Marham tersebut dipimpin oleh majelis hakim Krisna Harahap, Abdul Latief dan Suhadi. 

Sementara itu, penasihat hukum Idrus Marham, Samsul Huda mengaku senang MA mengurangi hukuman kliennya menjadi 2 tahun penjara. Dia mengaku belum menerima langsung petikan putusan MA terkait kasus suap proyek PLTU Riau-1 itu.

"Kami senang dan menghormati majelis kasasi dengan dikabulkannya upaya hukum kasasi Idrus Marham menjadi 2 tahun, meskipun kami berharap saudara Idrus Marham dapat diputus bebas atau lepas dari tuntutan," ujar Samsul Huda, Selasa (3/12/2019)

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman terdakwa kasus dugaan suap PLTU Riau 1 Idrus Marham menjadi 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.

Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya mengajukan banding atas vonis 3 tahun penjara denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan terhadap mantan Sekjen Partai Golkar itu.

"Menerima permintaan banding dari penuntut umum pada KPK dan penasihat umum terdakwa," demikian bunyi amar putusan banding seperti dikutip dari laman website Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 18 Juni 2019.

Amar putusan tersebut juga membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 9/Pid.Sus-TPK/2019/PN.JKT.PST. pada 23 April 2019 yang dimintakan banding.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Idrus Marham dengan pidana penjara selama 5 tahun," lanjut bunyi amar putusan. Putusan banding itu dibacakan pada Selasa, 9 Juli 2019. 

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Vonis Pengadilan Tipikor

Terdakwa kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1 Idrus Marham tiba untuk menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (16/5/2019). KPK memeriksa Idrus Marham sebagai saksi untuk tersangka Dirut PLN nonaktif Sofyan Basir dalam kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Mantan Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham divonis 3 tahun penjara oleh majelis hakim Tipikor Jakarta. Idrus dinyatakan terbukti menerima Rp 2,25 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) melalui mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.

"Menjatuhkan pidana 3 tahun penjara, pidana denda Rp 150 juta dengan ketentuan apabila tidak membayar denda maka diganti dengan pidana 2 bulan kurungan," ucap Ketua Majelis Hakim Yanto, Selasa 23 April 2019.

Majelis hakim berpendapat, meski dalam perkara ini Idrus tidak menikmati hasil korupsinya. Sebab, berdasarkan fakta persidangan Idrus yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal dan pelaksana tugas Ketua Umum Partai Golkar mengetahui penerimaan uang oleh Eni Saragih.

Idrus Marham juga dianggap turut aktif membantu serta menjembatani antara Eni dan Kotjo agar mendapatkan uang. Terlebih lagi saat itu Eni meminta uang kepada Kotjo dengan alasan munaslub Partai Golkar dan pencalonan sang suami sebagai Kepala Daerah di Kabupaten Temanggung.

Dalam vonis Idrus Marham, majelis hakim juga mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan adalah perbuatan Idrus tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, dia juga tidak mengakui perbuatannya.

"Hal yang memberatkan, terdakwa bersikap sopan, tidak menikmati hasil korupsi, dan belum pernah dihukum," tukasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya