Menyapa Pagi dari Kawasan Situs Leuweung Leutik Sunda Wiwitan Cigugur

Sebagian besar kisah perjalanan masyarakat adat Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan, Jawa Barat ada dalam lembaran bernama manuskrip.

oleh Panji Prayitno diperbarui 04 Des 2019, 06:00 WIB
Suasana asri masih terasa di situs Leuweung Leutik Desa Cigugur Kabupaten Kuningan dan jejak peninggalan Pangeran Madrais. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Cirebon - Kawasan Situs Leuweung Leutik merupakan salah satu situs bersejarah yang asri dan dilestarikan oleh Masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan Cigugur Kabupaten Kuningan.

Berada di kawasan Desa Cigugur Kabupaten Kuningan, hutan adat yang luasnya mencapai 6.594 meter tersebut masih asri. Hutan yang berada di kaki Gunung Ciremai tersebut diketahui merupakan daerah resapan air.

"Ini sebenarnya kawasan situs di mana jejak leluhur kami Pangeran Sadewa Madrais Alibasa membangun semangat nasionalisme melalui gerakan budaya," kata Pupuhu Adat Cigugur, Gumirat Barna Alam, Selasa (3/12/2019).

Suasana asri sangat terasa di tengah matahari mulai menyinari kawasan hutan adat ini. Ia mengatakan, semangat mempertahankan tanah leluhur untuk kepentingan banyak orang masih terjaga.

Berdasarkan manuskrip yang dimiliki masyarakat peran Pangeran Sadewa Madrais Alibasa terhadap perkembangan masyarakat Cigugur sangat besar.

Sekitar tahun 1800-an, kawasan Leuweung Leutik merupakan tempat Pangeran Madrais mengajarkan masyarakat Cigugur tentang bercocok tanam.

"Saat itu, warga Cigugur dilatih menanam padi, sayuran, dan buah di sekitar resapan air Leuweung Leutik. Bahkan, di luar Cigugur tempat di mana beliau singgah pasti diajarkan cara bercocok tanam," kata dia.

Dalam manuskrip, Pangeran Madrais juga kerap mensyiarkan ajaran tentang kemanusiaan dan kebangsaan di situs tersebut. Bahkan, kata dia, situs Leuweung Leutik Cigugur pernah menjadi saksi pertemuan raja-raja nusantara.


Ditebang

Suasana asri masih terasa di situs Leuweung Leutik Desa Cigugur Kabupaten Kuningan dan jejak peninggalan Pangeran Madrais. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Dia menyebutkan, sekitar tahun 1900-an terjadi musyawarah kebangsaan yang diwakili raja-raja nusantara. Musyawarah tersebut membahas tentang upaya melawan penjajah Belanda.

"Itu dari penuturan sesepuh kami Situs Leuweung Leutik pernah menjadi tempat bertemunya raja-raja nusantara. Sekarang jadi situs dan memang tidak kami jadikan objek wisata ya," ujar dia.

Gumirat Barna Alam mengatakan, Situs Leuweung Leutik menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari warga Desa Cigugur. Fungsi sebagai daerah resapan air, membuat masyarakat desa tidak pernah kekeringan saat kemarau panjang.

Bahkan, dahulu banyak aliran sungai dibawah tanah di wilayah Desa Cigugur. Air juga mengliri sawah dan desa lain.

"Sekarang malah sudah kering pepohonan besar sudah ditebang oleh orang yang saat itu tahun 1980 sampai 1990-an ada yang meminta ke sesepuh kami untuk mengelola ternyata selain menebang pohon besar juga ditanami rumput gajah untuk pakan sapi, imbasnya kekurangan air dan sawah kekeringan," kata dia.

Dia menyebutkan, Leuweung Leutik dalam bahasa Sunda berarti hutan kecil. Dia menjelaskan, Leweung Leutik memiliki arti penting untuk kehidupan masyarakat Desa Cigugur.

"Sebagai tempat yang dikeramatkan walaupun arealnya tidak luas tapi punya peran penting untuk kehidupan masyarakat Desa Cigugur. Makannya Leuweung Leutik ini selain daerah resapan air juga salah satu situs peninggalan Pangeran Madrais," ujar dia.

 

Simak video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya