Liputan6.com, Jakarta - Belum lama bertugas, Menteri Agama Fachrul Razi langsung memantik kontroversi lantaran menerbitkan peraturan yang mengharuskan majelis taklim untuk mendaftarkan kelompok mereka. Kontan saja banyak komentar negatif diarahkan kepada regulasi yang dinilai terlalu jauh masuk ke lingkup kehidupan masyarakat.
Ketua Gerakan Pemuda atau GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, misalnya, menilai aturan yang dikeluarkan Menteri Agama Fachrul Razi terkait Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim berlebihan. Dia mengatakan, seharusnya Fachrul tidak mengurusi persoalan keumatan.
"Itu berlebihan, Menteri Agama itu enggak usah ngurusi yang begitu-begitu deh, terlalu remeh gitu menteri ngurusi begituan. Banyak persoalan besar di negeri ini daripada sekadar ngurusi majelis taklim," kata Yaqut usai bertemu Wakil Presiden Ma'ruf Amin di Kantor Wapres, Jalan Merdeka Utara, Rabu (4/12/2019).
Dia menjelaskan, sebaiknya majelis taklim dibiarkan berkembang dan tanpa campur tangan pemerintah. Dengan adanya peraturan tersebut, kata dia, justru mengkhawatirkan menghambat perkembangan majelis taklim.
"Jadi bukan hanya soal dana, jangan-jangan dengan melakukan aturan-aturan itu membatasi ruang gerak majelis taklim, bukan soal dana saya kira. Jangan underestimated lah majelis taklim butuh dana, begitu," ujarnya.
Baca Juga
Advertisement
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon bahkan melontarkan kritik yang lebih keras. Ia menyebut, penerbitan aturan itu berbau Islamophobia.
"Saya kira peraturan itu terpapar Islamophobia. Jadi ini saya tidak tahu apa yang terjadi dengan elite ya, terutama di Kementerian Agama dan di beberapa tempat lain," kata Fadli di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (3/12/2019).
Dia mengingatkan, agar isu radikalisme jangan sampai justru merugikan masyarakat.
"Jangan sampai isu radikalisme dan terorisme ini diungkit-ungkit justru akan merugikan kita sendiri, saya termasuk yang sangat percaya umat Islam Indonesia adalah Islam yang paling moderat di dunia, enggak ada yang lebih moderat dari umat Islam di Indonesia yang sangat bisa bertoleransi," ucapnya.
"Sebaiknya isu-isu radikalisme dan terorisme semacam ini jangan terus digembar-gemborkan, seolah-oleh menjadi ancaman, ini harus dihentikan lah, dan ini juga mengganggu iklim investasi," tambahnya.
Fadli menyebut, alasan pembinaan majelis yang dipakai Kemenag untuk mengeluarkan kebijakan itu tidak perlu.
"Kalau pembinaan enggak usah seperti itu, akan menyulitkan dan akan diprotes ribuan majelis taklim yang ada, majelis taklim itu kan kayak arisan, masa nanti arisan juga harus didaftarkan ke Kemenag," katanya.
"Mereka kan ada yang individu dan kelompok alumni apa segala macam, membuat majlis taklim sendiri. Enggak perlu didata didaftarkan seperti itu, akan menimbulkan resistensi nanti orang akan semakin muak dengan peraturan-peraturan yang terpapar Islamophobia," ia menandaskan.
Diketahui, peraturan pencatatan Majelis Taklim sudah tercantum dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim. Dalam draf PMA Majelis Taklim, aturan itu tertulis pada pasal 6 poin 1. Pasal tersebut menyebutkan setiap Majelis Taklim diharuskan terdaftar dalam Kementerian Agama.
Pada poin 2 disebutkan pengajuan pendaftaran harus dilakukan secara tertulis. Kemudian poin 3 tertulis jumlah anggota Majelis Taklim juga diatur paling tidak terdiri dari 15 orang. Serta memiliki daftar kepengurusan yang jelas.
Di Pasal 9 tertulis, setelah Majelis Taklim mendaftar dan melalui proses pemeriksaan dokumen dan dinyatakan lengkap Kepala Kementerian Agama Akan mengeluarkan Surat Keterangan Terdaftar atau SKT. Surat tersebut berlaku untuk lima tahun dan dapat diperpanjang.
Sedangkan pada Pasal 19 tertulis Majelis Taklim harus memberikan laporan kegiatan majelis pada Kantor Urusan Agama (KUA) paling lambat 10 Januari tahun berikutnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pelayanan dan Pembinaan
Sementara itu, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi meminta publik tak usah risau dengan terbitnya Peraturan Menteri Agama No 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim (PMA). Menurut dia, keberadaan PMA itu guna memfasilitasi layanan publik serta pengaturan database di Kemeterian Agama (Kemenag).
"Agar masyarakat mengetahui tata cara untuk membentuk majelis taklim dan Kemenag memiliki data majelis taklim dengan baik," kata Zainut melalui keterangan tertulisnya, Selasa (3/12/2019).
Menurut dia, majelis taklim yang terdaftar akan memudahkan Kemenag untuk koordinasi dan pembinan. Adapun pembinaan yang dimaksudkan adalah penyuluhan dan pembekalan materi dakwah, penguatan manajemen dan organisasi, peningkatan kompetensi pengurus, dan pemberdayaan jamaah dan lain sebagainya.
"Termasuk juga pemberian bantuan pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD. Untuk keperluan tersebut PMA ini bisa dijadikan dasar atau payung hukumnya," kata dia.
Untuk bisa melakukan itu semua, lanjut Zainut, tentu perlu ada database bagi Kemenag untuk mengetahui majelis taklim yang sudah terdaftar dan memenuhi ketentuan peraturan perundang undangan.
"Untuk hal tersebut Pasal 6 ayat (1) PMA ini mengatur bahwa majelis taklim harus terdaftar pada kantor Kementerian Agama," ujarnya.
"Dalam pasal 6, sengaja kita gunakan diksi 'harus', bukan 'wajib' karena kata harus sifatnya lebih ke administratif, sedangkan kalau 'wajib' berdampak sanksi," ia menambahkan.
Menurut dia, peraturan tersebut dibuat untuk memberikan pelayanan, pembinaan, dan perlindungan kepada masyarakat. Zainut mengatakan bahwa selama ini pihaknya telah melakukan pembinaan melalui 45 ribu penyuluh agama yang tersebar di seluruh Indonesia.
Melalui peraturan itu, maka Kementerian Agama akan lebih mudah melakukan pembinaan sebab majelis taklim sudah terdaftar. Selain itu, juga untuk memudahkan Kemenag berkoordinasi dengan majelis taklim apabila ada pembinaan.
"Tidak ada sanksi apa-apa (kalau tidak mendaftar). Jadi jangan terlalu berlebihan," tegasnya.
Zainut membantah bahwa Permenag ini dibuat lantaran pemerintah takut dengan keberadaan majelis taklim. Dia menegaskan bahwa pihaknya hanya ingin memberikan pelayanan kepada majelis taklim.
"Biar kami mempunyai data base. Kami kan juga perlu mempunyai data base. Misalnya, kalau misalnya ada tiba-tiba akan memberikan bantuan, kan kepada siapa, kan tidak tahu," jelas dia.
Dia menyatakan tidak ada modul khusus yang untuk majelis taklim di seluruh Indonesia. Zainut menuturkan bahwa Kemenag memberikan kebebasan kepada majelis taklim menyampaikan dakwah.
"Ndak ada, kita memberikan kebebasan majelis taklim untuk melakukan penyampaian dakwah, jadi itu merupakan ciri dari kemandirian majelis taklim itu sendiri," tutur Zainut.
Advertisement
Kembali ke Masa Lalu
Sementara, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir berharap, pemerintah tidak terlalu jauh mengatur kegiatan keagamaan seperti majelis taklim melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim.
"Kalau serba diatur pemerintah secara detail atau berlebihan, nanti aktivitas sosial lainnya seperti gotong royong dan aktivitas sosial di masyarakat luas maupun kegiatan keagamaan lainnya harus diatur pula seperti itu. Tidak boleh ada diskriminasi khusus pada kegiatan keagamaan di lingkungan umat Islam seperti majelis taklim," kata Haedar Nashir di Yogyakarta.
Menurut dia, kegiatan keagamaan di ranah umat seperti majelis taklim justru dapat menghidupkan spirit keislaman yang tinggi dan sangat positif untuk menanamkan, memahamkan, dan mengamalkan Islam dengan baik dan benar.
"Soal perbedaan paham dan pandangan sejak dulu sering terjadi, yang paling penting kembangkan dialog agar masing-masing tidak ekstrem dalam beragama dan tidak menimbulkan konflik keagamaan sesama umat beragama," kata dia.
Haedar melanjutkan, jika ada aktivitas yang menyimpang dapat dilakukan dengan pendekatan hukum dan ketertiban sosial yang berlaku, tidak perlu dengan aturan yang terlalu jauh dan bersifat generalisasi.
Ia khawatir PMA Majelis Taklim menjadi alat mengatur dan melarang majelis-majelis taklim yang tidak sepaham dengan aparat atau pejabat Kementerian Agama dalam hal ini KUA setempat, sehingga menjadi instrumen untuk kepentingan golongan atau mazhab agama yang menyatu atau dominan dalam instansi pemerintah tersebut.
"Jika hal itu terjadi dimungkinkan akan memunculkan konflik kepentingan dan gesekan paham keagamaan yang melibatkan otoritas negara atau institusi pemerintah. Semuanya perlu keseksamaan dan kearifan," kata Haedar.
Dalam hal usaha mencegah radikalisme atau ekstrimisme sebenarnya ketentuan perundangan yang ada sudah lebih dari cukup, jangan terlalu jauh mengatur aktivitas umat beragama.
"Kita sungguh tidak setuju dan menolak segala bentuk radikalisme yang mengarah pada ekstrimisme dan membenarkan kekerasan atas nama apapun dan oleh siapapun. Namun semuanya perlu dasar pemikiran, rujukan, cakupan, dan langkah tentang radikalisme yang objektif, komprehensif, serta tidak parsial dan diskriminatif," kata Haedar.
Haedar juga berpesan, agar para pejabat publik jangan mudah mengeluarkan pernyataan yang mengarah pada stigma atas kasus terbatas untuk digeneralisasi. Karenanya perlu dilakukan dialog dengan semua komponen bangsa demi kepentingan ke depan dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan yang lebih baik.
"Lagi pula jangan menggeneralisasi dan menjadikan umat Islam sebagai sasaran deradikalisasi secara sepihak, diskriminasi, dan dengan aturan yang monolitik seolah umat mayoritas ini menjadi sumber radikalisme dan ekstrimisme," kata dia.
Indonesia setelah reformasi sudah masuk era demokrasi, maka jangan dibawa lagi ke masa lalu yang serba diatur berlebihan, apalagi pengaturannya secara sepihak dan cenderung diskriminatif.
"Majelis taklim maupun aktivitas keagamaan lainnya tentu harus tetap dalam spirit keislaman yang mendamaikan, mencerdaskan, memajukan, dan mencerahkan kehidupan sehingga menjadi wahana dakwah yang rahmatan lilalamin," Haedar memungkasi.