Liputan6.com, Semarang - Milan Kundera saat menerima penghargaan sastra "Jerusalem Prize' tahun 1985 menyebutkan bahwa novel dan karya sastra secara umum berasal dari tawa Tuhan. Jika Rene Descartes menyebut "Saya berpikir maka saya ada", pepatah Yahudi menyebutkan "manusia berpikir, maka Tuhan tertawa".
Ini jelas sebuah humor dengan tingkat perenungan yang tinggi. Mengapa Tuhan tertawa saat melihat manusia berpikir"
Ismun Faidah adalah seorang penulis kelahiran Batang. Mulai menulis kreatif sejak SMA dengan memanfaatkan media massa lokal sebagai kanal pembuangan karyanya. Siapa sangka jika perbaikan ekonomi harus ia tempuh dengan menjadi buruh migran di Singapura.
Baca Juga
Advertisement
"Alhamdulillah majikan saya sangat baik. Ia selalu menanyakan progress personal project saya seperti penulisan buku ini," kata Ismun yang memilih Revalina Ranting sebagai nama resmi ketika menulis.
Bertempat di Waroeng Kopi Alam, kawasan Pecinan Semarang, Rabu (4/12/2019), Revalina Ranting menyediakan diri agar buku antologi puisi Rahim Kupu-Kupu (RKK) dibantai. Menghadirkan penulis-penulis dan sastrawan kota Semarang, Pia Cipta, Sulis Bambang, Wiwien Wintarto, dan sejumlah penulis lain.
Sesungguhnya sejumlah puisi Revalina cukup memikat. Diksi dan idiom yang dipilih kadang seperti berakrobat. Pemilihan judul buku Rahim Kupu-Kupu sudah sangat menjelaskan bahwa isi buku ini adalah sebuah dokumen metamorfose perjalanan Revalina.
"Melalui sastra, saya ingin menyampaikan pesan tentang cinta. Cinta universal yang bisa multitafsir," kata Reva.
Negeri Ironi
Penulis dan pegiat kebudayaan Sulis Bambang sempat mempertanyakan bahwa meski ditulis di Singapura, di sela kesibukan pekerjaan rutin, nyatanya tulisan-tulisan Revalina sangat Indonesia. Lokalitas Indonesia tak bisa ditinggalkan begitu saja.
"Tadi saya mak deg ketika mendengar kata apem. Di Singapura mana ada apem? Ini sangat Indonesia. Jadi kesimpulan saya, jika tanpa penanda tempat ditulis, puisi ini tetap terlihat sangat Indonesia," katanya.
Menanggapi hal ini, Arwani, seorang editor bahasa yang menemani Revalina menyebutkan bahwa memang kebanyakan orang Indonesia akan membayangkan "dunia Singapura" dalam tulisan Revalina. Namun itu justru sudah jamak.
"Revalina ini mengajak melihat Indonesia dari dunia luar. Makanya tetap saja lahir tulisan yang tak hanya kritis, namun lebih netral," katanya.
Pegiat kebudayaan Tionghoa Semarang, Haryanto Halim tidak secara khusus menyoroti urusan Indonesia atau Singapura. Ia justru mengajak yang hadir menjelajah secara imajiner tempat-tempat yang menjadi lokasi penulisan puisi Reva.
Meskipun ditulis oleh seorang buruh migran, tak sedikitpun Revalina menulis tentang kehidupan buruh migran yang selalu digambarkan kelam. Justru Reva menawarkan berbagai alternatif manusia memaknai kebenaran cinta. Tak melulu cinta birahi, namun cinta yang lebih ma'rifat.
Simak video pilihan saat Revalina Ranting membacakan puisinya.
Advertisement
Ancaman Kaum Intelek
Ketua LESBUMI (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) Jawa Tengah, Lukni Maulana menyebutkan bahwa terbitnya buku keempat Reva ini seakan meledek para sarjana sastra yang bangga dengan gelarnya.
"Lebih banyak diskusi dan debat namun miskin karya. Reva ini tak banyak berteori namun malah langsung berkarya," kata Lukni.
Dalam sebuah diskusi informal usai bedah buku, Arwani dan Revalina menyebutkan bahwa buruh migran memang selalu jadi sasaran kejahatan. Bahkan mereka yang sudah bergerak di ranah intelektual dan karya.
"Iming-iming popularitas dan atribut sebagai penyair, penulis, novelis, atau apapun menjadi modus. Celakanya itu dilakukan oleh mereka yang tiap hari berteriak tentang keadilan, kefanaan, HAM, kemanusiaan," kata Reva.
Arwani lalu menjelaskan bahwa yang dimaksud Reva adalah banyaknya lomba dengan biaya pendaftaran dan juga tawaran penerbitan buku. Namun penawaran penerbitan ini justru si penulis dibebani biaya.
"Ini bukan kerjasama dengan relasi seimbang. Mereka menjadi buruh migran untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Tapi ada yang tega menipu. Setelah uang dikirim, buku tak diterbitkan dan komunikasi diputus," kata Arwani.
Atas hal ini, Revalina mengaku hendak membuat kanal secara khusus untuk sesama buruh migran yang menjadi penulis. Ia hendak menularkan energi bahwa popularitas maupun iming-iming status sosial itu tak begitu penting.
"Yang paling penting adalah berkarya. Biarlah karya itu menjalani takdirnya. Jika harus membawa penulisnya mencapai popularitas, tentu semesta tak akan berkhianat," katanya.
RKK memang sudah membuka ruang tafsir untuk kebenaran. Bukan lagi kebenaran tunggal dari kepastian berpikir ala kaum Cartesian. RKK membawa pembacanya mnjelajahi berbagai kemungkinan Cervantesian atau ketidakpastian.
Ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan. Supaya manusia ingat bahwa ketika manusia berpikir tentang kebenaran, maka Tuhan akan tertawa. Meski kadang kebenaran ilahiah itu justru terlepas ketika manusia berpikir.