Liputan6.com, Jakarta - Misi bernama Hera yang digagas European Space Agency (ESA) akhirnya mendapat persetujuan untuk dilanjutkan. Persetujuan ini diberikan para menteri Uni Eropa yang bertanggung jawab dengan urusan ESA.
Perlu diketahui, Hera merupakan misi kerja sama antara ESA dengan NASA. Adapun Hera merupakan kepanjangan dari Human Exploration Research Analog.
Dikutip dari Engadget, Kamis (5/12/2019), lewat misi ini, ESA dan NASA berupaya membuat sebuah sistem yang dapat mencegah sebuah asteroid menubruk Bumi dan membahayakan manusia.
Baca Juga
Advertisement
Secara garis besar, untuk melakukan hal tersebut, ESA dan NASA akan menabrakkan pesawat luar angkasa ke sebuah asteroid yang meluncur ke Bumi. Dengan cara itu, orbit asteroid tersebut diharapkan akan menjauh dari Bumi.
Sebagai bagian dari uji coba misi Hera, dua badan antariksa itu akan mencoba mengirimkan sepasang pesawat luar angkasa ke sistem asteroid bernama Didymos.
Lewat rencana ini, ESA dan NASA akan meluncurkan roket riset untuk menjangkau asteroid dengan ukuran lebih kecil, yakni Didymoon. Setelahnya, mereka akan memetakan dampak dan massa asteroid tersebut.
Lalu, para ilmuwan akan mengolah data tersebut untuk mengetahui komposisi penyusunnya. Dengan begitu, mereka dapat mempelajari dan memanfaatkannya sebagai teknik defleksi asteroid sebagai bentuk pertahanan Bumi.
Untuk diketahui, tubrukan asteroid ke Bumi memang terbilang jarang, sehingga sebenarnya dapat dicegah, berbeda dari gempa bumi atau ledakan gunung berapi. Namun jumlah objek luar angkasa yang dekat dengan Bumi terbilang banyak, mencapai ribuan.
Lindungi Bumi: Menabrakkan Pesawat Ruang Angkasa ke Asteroid
Untuk diketahui, proyek bersama yang disebut Asteroid Impact and Deflection Assessment (AIDA) itu digagas European Space Agency (ESA) dan NASA, yang diumumkan pada 2015. Namun, temuan terbaru dari misi-misi asteroid belakangan ini mungkin memiliki implikasi untuk pengujian tabrakan.
Sebagai contoh, ketika Hayabusa2 membom asteroid Ryugu pada April 2019, wahana ini menciptakan kawah yang jauh lebih besar dari yang diperkirakan. Selain itu, materi di permukaan asteroid sangat mirip pasir di Bumi; yang dapat memengaruhi efektivitas defleksi (penyimpangan arah) dampak kinetik.
"Pemboman yang dilakukan Hayabusa2 menunjukkan bahwa tidak ada kohesi di permukaan (asteroid) dan regolith yang berperilaku seperti pasir murni. Gravitasi mendominasi proses itu ketimbang kekuatan intrinsik dari bahan pencipta asteroid," jelas ilmuwan planet Patrick Michel dari CNRS.
Regolith adalah lapisan endapan superfisial longgar, heterogen yang menutupi batuan padat. Ini termasuk debu, tanah, pecahan batu, dan material terkait lainnya yang ada di Bumi, Bulan, Mars, asteroid, serta planet dan Bulan terestrial lainnya.
"Jika gravitasi juga dominan di Didymos B, meskipun jauh lebih kecil, tabrakan kita bisa berakhir dengan kawah yang jauh lebih besar daripada percobaan berbasis laboratorium," lanjutnya.
Mengikuti lokakarya AIDA pada minggu lalu di Roma, para ilmuwan telah bertemu di EPS-DPS Joint Meeting 2019 di Jenewa untuk membahas proyek itu lebih lanjut.
"Hari ini, kami adalah manusia pertama dalam sejarah yang memiliki teknologi yang berpotensi membelokkan asteroid agar tidak berdampak ke Bumi," ujar astronom Ian Carnelli dari ESA kepada Technology Review, yang dikutip dari Science Alert, Jumat (20/9/2019).
Sekadar informasi, wahana antariksa yang akan dihempaskan ke asteroid ini adalah Double Asteroid Redirection Test (DART) milik NASA.
Advertisement
Efek Tabrakan
Sistem Didymos adalah lokasi uji coba yang sempurna di angkasa luar. Ini adalah objek dekat Bumi atau NEO yang tidak berada di jalur tabrakan dengan Bumi.
"Target DART, Didymos, adalah kandidat ideal untuk eksperimen pertahanan planet pertama manusia," ucap ilmuwan planet Nancy Chabot dari Johns Hopkins University Applied Physics Laboratory.
"Ia tidak berada di jalur tabrakan dengan Bumi, dan karenanya tidak menimbulkan ancaman terhadap planet kita. Namun, sifat binernya memungkinkan DART untuk mencoba dan mengevaluasi efek dari tabrakan kinetik."
Objek yang lebih besar, Didymos A, berukuran sekitar 780 meter. Sedangkan yang lebih kecil, Didymos B, punya panjang 160 meter dan kadang-kadang disebut "Didymoon".
Didymos B mengorbit asteroid yang lebih besar setiap 11,92 jam.
Dalam simulasi komputer, ketika DART menabrak Didymos B dengan kecepatan 23.760 kilometer per jam (14.760 mil per jam), pesawat ruang angkasa itu hanya akan mengubah kecepatan asteroid dalam jumlah sedikit -- satu sentimeter per detik atau lebih.
Di sebuah asteroid tunggal, kita mungkin tidak dapat mendeteksinya sama sekali. Namun, dalam sistem Didymos, dampaknya diperkirakan sedikit mengubah periode orbital. Selain 11,92 jam, Didymos B dapat memakan waktu beberapa menit lebih banyak untuk berkeliling Didymos B.
Meski terdengar sedikit, tetapi jika para ilmuwan berhasil mencegat asteroid yang berbahaya bagi Bumi dalam waktu yang cukup awal, maka perubahan kecepatan kecil itu bisa membuat perbedaan besar.
(Dam/Why)