Sejarah Mencatat Pelatih Belanda Selalu Gagal di Timnas Indonesia

Ruud Gullit bakal jadi pelatih ideal bagi Timnas Indonesia? Sejarah mencatat Tim Merah-Putih tidak pernah sukses saat ditukangi mentor asal Belanda.

oleh Ario Yosia diperbarui 05 Des 2019, 17:50 WIB
Legenda sepak bola Belanda Ruud Gullit (Photo by KARIM JAAFAR/AL-WATAN DOHA/AFP)

Jakarta - PSSI kembali bikin heboh. Mereka menyebut legenda hidup Timnas Belanda, Ruud Gullit, masuk kandidat calon pelatih baru Timnas Indonesia.

Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan atau Iwan Bule mengaku PSSI sudah mengontak legenda timnas Belanda, Ruud Gullit, untuk menawarkan posisi pelatih Tim Garuda.  Iwan mengatakan PSSI sudah berusaha menghubungi Gullit sejak pekan lalu.

Mantan Bintang AC Milan dan Chelsea itu merupakan kandidat lain yang dimiliki PSSI selain Luis Milla dan Shin Tae-yong.

"Sementara kami kontak Ruud Gullit, tetapi belum ada respons dari dia. Kami minta Sekjen [Ratu Tisha] berkomunikasi dengan dia di Belanda. Belum ada kepastian bisa atau tidak dia," ujar Iwan Bule di Manila.

Iwan berharap Gullit bisa segera memberi respons tawaran melatih Timnas Indonesia. Gullit terakhir menjadi asisten pelatih timnas Belanda pada 2017 hingga 2018.

"Ia belum merespons, kami tunggu sampai akhir bulan. Kontaknya sejak seminggu lalu. Mudah-mudahan ada kabar dari Gullit," ujar Iwan Bule.

PSSI belum memutuskan status Milla dan Tae-yong. Iwan Bule mengatakan PSSI akan segera memutuskan posisi pelatih Timnas Indonesia dalam rapat Komite Eksekutif (Exco).

Kans mendatangkan Tae-yong menipis karena ia disebut-sebut sedang melakukan negosiasi intens dengan salah satu klub China. Sementara itu, PSSI masih belum puas dengan presentasi Luis Milla, terutama karena yang bersangkutan tak berani menjamin Timnas Indonesia juara Piala AFF 2020.

"Kami akan rapatkan dengan teman-teman Exco untuk menentukan. Mungkin keduanya masuk nominasi. Ada kemungkinan juga kami bisa ambil keduanya. Satu untuk tim senior dan satu untuk tim yang di bawahnya," ucap Iwan Bule.

"Kami sudah sampaikan ke Milla bahwa ada persyaratan yang harus dipenuhi. Seperti pertandingan sisa [kualifikasi Piala Dunia] itu tim senior harus menang. Paling tidak memberikan penampilan terbaik sehingga publik merasa terobati dengan kekalahan sebelumnya," timpal Iwan Bule.

Ruud Gullit bakal jadi pelatih ideal bagi Timnas Indonesia? Sejarah mencatat Tim Merah-Putih tidak pernah sukses saat ditukangi mentor asal Belanda. Ada tiga pelatih asal Negeri Kincir Angin sempat singgah ke negara kita, kesemuanya: gagal total. Siapa saja mereka?


Wiel Coerver

Wiel Coerver

Wiel Coerver salah satu pelatih beken asal Belanda yang didatangkan PSSI untuk menukangi Timnas Indonesia di SEA Games 1979 Jakarta. Ia berhasil mengantarkan Indonesia meraih medali pertama, meski bukan emas.

Sayang ia gagal mengantar Timnas Indonesia jadi yang terbaik usai kalah 0-1 dari Malaysia pada partai final yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan.

Sebelum menukangi Tim Garuda Coerver pernah melatih klub NIAC Mitra pada kompetisi Galatama 1980-1982. Bekal pengalaman pernah membawa Feyernoord juara Piala UEFA 1973-1974 menjadi alasan NIAC Mitra tertarik mendatangkan Coerver.

Banyak cerita menarik saat Wiel Coerver melatih Tim Merah-Putih.  Seleksi skuat SEA Games 1979 dimulai setelah Kejurnas PSSI Utama musim 1978-1979 yang berakhir pada Januari 1979. Sebanyak 100 pemain dari klub Perserikatan dan Galatama dikumpulkan Wiel Coerver. Akhirnya terpilih 30 pemain untuk pelatnas SEA Games edisi kedua yang diikuti Indonesia.

“Proses dari mulai seleksi hingga Pelatnas sangat berat. Mungkin untuk era sekarang berbeda. Dulu kami menjalani karantina, tidak ada hiburan, dan latihan sehari tiga kali. Kami juga menjalani latihan fisik pada siang hari,” kata Djoko Malis salah satu anak didiknya di timnas kepada Bola.com dalam sebuah kesempatan.

Pemain menjalani pelatnas sejak Juli hingga September 1979. Indonesia menghadapi empat negara yang menjadi peserta cabang sepak bola, yakni Malaysia, Thailand, Burma (sekarang Myanmar), dan Singapura.

Indonesia menghadapi Malaysia yang mengandalkan sederet bintang SEA Games 1977, seperti Jamal Nasir Ismail, Mokhtar Dahari, Hanis Devandran Abdullah, Soh Chin Aun, Santokh Singh, dan Shukor Saleh. Namun, bagi publik Malaysia pada waktu itu, Timnas Indonesia juga dianggap sebagai tim yang bertabur bintang.

Sementara skuat Timnas Indonesia dihuni: Haryanto, Simson Rumahpasal, Berti Tutuarima, Tinus Heipon, Wayan Diana, Ronny Pattinasarany, Dede Sulaiman, Rudy W. Keltjes, Risdianto, Rully Nere, Iswadi Idris, Poerwono, Ishak Liza, Rae BawaGhusnul Yakin, Djoko Malis.

Sayang medali emas gagal didapat Tim Merah-Putih sekalipun mendapat dukungan dari suporter yang memenuhi Senayan. Selepas itu, Wiel Coerver dipecat.

Lepas kegagalannya di SEA Games, Wiel Coerver pergi dengan banyak meninggalkan fondasi pembinaan di Indonesia. Ia menciptakan metode Pyramid of Player Development yang mencakup penguasaan bola individu, kecepatan, dan permainan grup kecil, dan prosesnya lebih fokus pada setiap individu. Lalu, seperti apa penerapan metode latihan itu pada persiapan SEA Games 1979?

Wiel Coerver menggunakan cara yang lebih simpel pada SEA Games 1979. Program latihan utama adalah fisik dan berlatih dengan menggunakan bola. Metode ini berbeda dengan era Anatoli Polosin pada SEA Games 1991, yang terkenal dengan nama shadow football, yakni berlatih tanpa bola untuk menguatkan insting bermain.

“Wiel Coerver menggunakan cara yang simpel, kami selalu berlatih dengan bola, memaksimalkan kedua kaki, dan dengan tingkat frekuensi tinggi. Tapi, ia menjadikan kami memiliki karakter kuat, baik fisik maupun mental. Kunci utamanya adalah kerja keras," kata Dede Sulaiman.

Mental dan karakter pemain Indonesia juga dibentuk oleh konsistensi dan keteguhan hati para pemain. Saat Pelatnas di Lembang, mereka tak mendapat fasilitas sekelas hotel, seperti yang dialami pemain timnas era sekarang. Bahkan, saat ada 30 pemain di pelatnas, beberapa di antara mereka tidur di garasi karena jumlah kamar tak cukup.

Djoko Malis, yang menjadi striker pada waktu itu, mengatakan, Wiel Coerver tak pernah memaksa pemain Indonesia mengikuti keinginannya dalam suatu pertandingan.

"Saat latihan kami harus detail mengikuti instruksinya, tapi kami justru diberi kebebasan berimprovisasi dalam pertandingan. Tapi memang, saat sesi latihan sangat disiplin, menuntut konsentrasi dan kekuatan fisik sehingga banyak yang tidak kuat," kata Djoko.

Para pemain memeras keringat mengikuti metode latihan ala Wiel Coerver. Namun, para pemain menganggap sosok sang nakhoda sebagai seorang bapak yang mengasuh anak-anaknya secara total. Ia akan pasang badan untuk anak buahnya.

"Dia (Wiel Coerver) juga tidak menutup mata dengan pemain debutan, di luar skuat yang sudah ia bentuk. Saya termasuk pemain debutan yang mendapat kesempatan untuk bersaing di tim utama SEA Games 1979," kenang Gusnul Yakin yang dituturkan kepada Bola.com.

Anjas Asmara, legenda Timnas Indonesia, menyebut Wiel Coerver sebagai salah satu pelatih terbaik yang pernah menangani Indonesia. "Saya ingat Wiel Coerver. Dia pelatih hebat karena mau mengajarkan semua teknik sepak bola yang dia ketahui. Ia mau mengajar semua teknik itu agar para pemain sepak bola yang dilatihnya bisa bermain dengan maksimal sampai ke batas potensi mereka," ujar Anjas kepada Bola.com.


Foppe de Haan

Foppe de Haan (AFP PHOTO / Miguel RIOPA)

Siapa tak kenal sosok pelatih legendaris Belanda Foppe de Haan? Sosok yang menemukan penyerang De Oranje bertalenta, Marco Van Basten, Klaas-Jan Huntelaar, hingga Ryan Babel itu sempat singgah ke Indonesia pada medipo 2000-an.

Foppe de Haan sempat menjadi pelatih kepala Timnas Indonesia U-23 saat berlaga di Asian Games 2006 Qatar. Pelatih yang sukses mengantarkan Belanda juara Piala Eropa U-21 2006 dan 2007 itu ternyata tak bertaji menangani Tim Garuda Muda.

Pelatih yang menangani SC Heerenveen selama 19 tahun (1985-2004) hanya dapat waktu empat bulan menempa para pemain yang menjalani TC di negaranya, Belanda. Ia didampingi pelatih lokal Bambang Nurdiansyah.

Sayang tempaan yang diberikan sang mentor tak membuat Timnas Indonesia U-23 yang dihuni pemain belia macam Bobby Satria serta Ahmad Bustomi jadi bulan-bulanan di penyisihan. Timnas dipermak 0-6 oleh Irak, kalah 1-4 dari Suriah, serta hanya bermain imbang 1-1 kontra Singapura.

Selepas Asian Games ia diberhentikan Ketua Umum PSSI saat itu, Nurdin Halid.

Pada tahun 2007 penulis sempat bersua Foppe de Haan yang liburan ke Indonesia di tengah-tengah penyelenggaraan Piala Asia 2017 di Jakarta dan Palembang. Ia sempat curhat susahnya melatih Timnas Indonesia U-23.

"Pemain-pemain Indonesia sudah salah urus sejak usia dini. Mereka tidak mendapat bekal latihan cukup. Di level U-23 semestinya saya sudah fokus melatih mereka memahami strategi sepak bola, tapi pada kenyataannya saya harus melatih mereka dengan teknik-teknik dasar yang semestinya sudah mereka pelajari saat berusia 15 tahun," katanya.

Pada kesempatan berbeda saat diwawancarai RNW ia membuka kartu bahwa ada pola menitip pemain di Timnas Indonesia. "Di sana, ada kalangan yang mempertaruhkan prestise di timnas. Meski timnya lemah, mereka tidak mau tahu. Yang penting hasilnya harus bagus. Kalau tim gagal, yang lebih mudah disalahkan adalah pelatih supaya dia sendiri terhindar."

De Haan mengatakan sewaktu menangani Indonesia U-23, dirinya tidak bisa memanggil pemain sesuai strategi yang akan diterapkan. 

 Pria kelahiran 6 Juni 1943 tersebut mengatakan sewaktu menangani Indonesia U-23, dirinya tidak bisa memanggil pemain sesuai strategi yang akan diterapkan. Bahkan, pelatih yang pernah dua kali membawa Belanda menjuarai Euro U-21 ini menduga adanya pemain titipan dalam timnas.

"Kemungkinan ada pengaruh kolusi atau nepotisme. Sebab, belakangan kami dengar ada pemain-pemain lebih bagus yang tidak terseleksi," sambungnya.

Realitanya saat menempa Timnas Indonesia u-23, Foppe de Haan sudah disodori nama-nama pemain yang sudah diseleksi di Indonesia oleh Bambang Nurdiansyah. Ia tak bisa melakukan perubahan materi pemain.

Saat Foppe de Haan ingin memasukkan nama Irfan Bachdim, pemain keturunan Indonesia yang berkiprah di klub junior Negeri Kincir Angin, Utrecht FC, ia mendapat resistensi. Irfan disebut tak memiliki gaya bermain sebagai seorang petarung seperti pemain lainnya.

Irfan akhirnya terpental dari Timnas U-23. Ironisnya sang penyerang beberapa tahun berselang dipanggil membela Timnas Indonesia di Piala AFF 2010 oleh pelatih selanjutnya, Alfred Riedl.

 


Wim Rijsbergen

Wim Rijsbergen (kiri) (ANTARA/Puspa Perwitasari)

Wim Rijsbergen datang jadi pelatih Timnas Indonesia dengan rapor karier cemerlang. Ia legenda hidup Feyenoord Rotterdam dan menjadi bagian Timnas Belanda yang menjadi runner-up pada Piala Dunia 1974 dan Piala Dunia 1978.

Berposisi sebagai bek, Wim sempat bermain di Liga sepak bola Amerika Utara, untuk New York Cosmos. Rijsbergen memulai kariernya di PEC Zwolle pada 1970, dan mengakhirinya pada tahun 1986 di FC Utrecht.

Ia didapuk sebagai pelatih Timnas Indonesia oleh PSSI kepengurusan Djohar Arifin dengan reputasi jadi asisten pelatih Timnas Trinidad dan Tobago di Piala Dunia 2006.

Rijsbergen melatih timnas Indonesia mulai Juli 2011, menggeser posisi Alfred Riedl yang baru saja sukses mengantarkan Indonesia menjadi runner-up Piala AFF 2010 . Dia dikontrak PSSI yang ketika itu selesai menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Solo. Dengan pengurus PSSI yang baru, Wim yang sebelumnya melatih PSM Makassar, diangkat jadi pelatih kepala timnas senior.

Penunjukannya langsung membuat penggemar sepak bola nasional penasaran. Tetapi dalam enam bulan masa baktinya, Wim Rijsbergen tidak menghadirkan prestasi.

Ia gagal di babak awal Kualifikasi Piala Dunia 2014. Total dalam 11 pertandingan di bawah arahannya, Indonesia mencatat dua kali menang, tiga kali seri, dan enam kali kalah. Semua di pertandingan resmi internasional.

Yang membuat aneh publik Indonesia ketika itu memang Rijsbergen sangat jarang memberi instruksi. Ia justru selalu terlihat asyik mencatat setiap kali kejadian di atas lapangan. Hal itu yang memicu opini negatif publik, ditambah lagi timnas tidak menunjukkan permainan yang mumpuni.

Nada-nada sumbang bermunculan di dunia maya sebagai reaksi ketidakpuasan atas kiprahnya menukangi timnas.

Barangkali satu-satunya prestasi Wim Rijsbergen yang dipandang lumayan adalah hasil seri 0-0 melawan Arab Saudi dalam uji coba di Malaysia. Pelatih yang sekarang berusia 64 tahun ini diberhentikan PSSI pada Januari 2012.

Kegagalan arsitek kelahiran 18 Januari 1952 tersebut di Timnas Indonesia juga dipicu hubungan kurang harmonis dengan para pemain. Kebiasaannya memaki-maki anggota skuat Garuda tak disukai. "Kami manusia biasa juga, tiap hari dimaki-maki kesal rasanya," cerita Firman Utina, salah satu pilar Timnas Indonesia saat itu.

Wawancara Wim Rijsbergen dengan salah satu media Belanda sempat memicu kontroversi di Indonesia. 

"Melatih di Indonesia sebuah mimpi buruk. Susah sekali berurusan dengan baik dan benar di negara tersebut," katanya.

"Banyak hal yang tahu-tahu terjadi begitu saja. Sepertinya kekuatan lama ingin mengambil kekuasan kembali. Tapi saya tidak ingin ikut campur lagi. Saya di sini untuk sepak bolanya dan bukan politik."

Ia juga menuding PSSI kerap melakukan perbuatan kotor, banyak pertandingan-pertandingan kompetisi dimanipulasi oleh para bandar judi. Tidak ada yang peduli dengan olah raganya sendiri.

"Sebagai pelatih timnas, saya tidak bisa-bisa apa. Posisi saya lebih gampang waktu di klub. Pemain ada di bawah kontrol saya 24 jam sehari, tiap hari. Di PSM Makassar kami cukup sukses. Tujuh kemenangan berturut-turut. Tapi sayang kompetisi lalu dihentikan."

Ia menyebut pemain timnas bukan hasil seleksinya. Alfred Riedl yang menyusun formasi kesebelasan. "Mereka baru saling bertemu satu hari sebelum saya mulai di sini," cerita Wim.

"Waktu pertama kali butuh empat hari sampai seluruh pemain lengkap. Yang satulah tantenya meninggal, yang satu lagi ini, yang sana itu. Selalu ada sesuatu. Dan kalau saya berkomentar, mereka hanya berkata 'This is Indonesia,' lalu nyengir," sambung Wim.

 

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya