PPATK: Indonesia Butuh Aturan Baru Cegah Pencucian Uang

PPATK mengatakan banyak celah yang dimanfaatkan sejumlah oknum untuk korupsi dan pencucian uang di Indonesia

oleh Athika Rahma diperbarui 05 Des 2019, 11:45 WIB
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin (Dok: Athika)

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menilai, tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang hingga pencucian uang jadi alasan terbesar bocornya sumber penerimaan negara.

Tak hanya itu, tindak kejahatan tersebut turut menurunkan kepercayaan investor sebelum pihaknya menanamkan modalnya. Untuk itu, diperlukan aturan untuk mengungkap identitas pemilik manfaat (beneficial owner/BO) dari perusahaan.

"Kepercayaan investor tergantung data yang akurat dan transparan terkait pemilik manfaat perusahaan (beneficial owner). Adanya peraturan tentang pengungkapan beneficial owner akan memudahkan investasi," ujar Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin di Jakarta, Kamis (5/12/2019).

Pengaturan BO sendiri dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Atas Korporasi dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Dalam jangka waktu lama, penerapan aturan ini tak hanya bisa menggaet kepercayaan investor, tapi bisa mengungkapkan aktor yang juga bertanggung jawab dalam kasus selain pencucian uang dan korupsi, misalnya kebakaran hutan, kerusakan lingkungan hingga hilangnya pendapatan negara dari pajak.

"Pengetahuan tentang pemilik manfaat perusahaan ini tentu akan mengungkap siapa sesungguhnya pemilik perusahaan, sehingga bisa menutup celah yang menjadikan perusahaan ruang kejahatan untuk kepentingan pribadi," ujar Kepala PPATK.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Jokowi Sebut Ada 74 Undang-Undang Hambat Investasi

Presiden Joko Widodo saat Presidential Lecture Internalisasi dan Pembumian Pancasila di Istana Negara, Jakarta, Selasa (3/12/2019). Jokowi memberikan poin kunci untuk pembumian Pancasila di semua kalangan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, penggabungan aturan atau omnibuslaw dapat mempercepat peluang masuknya investasi asing ke Indonesia.

Hal itu karena jika pemerintah merevisi puluhan aturan satu per satu, maka dalam waktu 50 tahun pun tidak akan cukup.

"Kita harus menarik FDI (foreign direct investment) dengan perbaikan iklim investasi yang real, kalau kita satu-satu mengajukan revisi UU, 50 tahun nggak akan selesai," ujarnya dalam paparan Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2019 di Jakarta, Kamis (29/11/2019).

Setidaknya ada 74 UU yang dianggap menghambat penanaman modal asing di Indonesia. Dirinya berkata akan terus mendorong DPR untuk turut membantu membahas revisi Undang-Undang (UU) tersebut.

"Mohon didukung, jangan dilama-lamain, jangan dipersulit, karena ini sekali lagi untuk cipta lapangan kerja," tuturnya.

 


Perlu Strategi

Presiden Joko Widodo atau Jokowi memimpin rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (30/10/2019). Rapat terbatas perdana dengan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju itu mengangkat topik Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Perekonomian. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dirinya melanjutkan, untuk bisa bertahan di situasi global yang tidak pasti, diperlukan strategi yang baik. Jokowi ingin membuktikan bahwa Indonesia bisa bertahan meskipun pertumbuhan ekonominya juga dapat dibilang baik-baik saja.

"Kita tunjukkan kita mampu bertahan di tengah kesulitan. meski kita tidak sulit wong masih 5 persen. Cari sumber-sumber (pendapatan) baru, dan tetap optimis," tutup Jokowi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya