4 Hal soal Kasus Komplotan Pembobol Kartu Kredit di Surabaya

Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) menetapkan 18 tersangka dalam kasus pembobolan kartu kredit di Surabaya.

oleh Liputan Enam diperbarui 05 Des 2019, 19:30 WIB
Ilustrasi Foto Kartu Kredit (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - 18 anggota komplotan peretas atau hacker pembobol kartu kredit ditetapkan menjadi tersangka. Para pelaku yang menjadi tersangka tersebut rata-rata berusia 20-an dan lulusan SMK.

Korban hacker pembobol kartu kredit itu mayoritas berasal dari luar negeri seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa).

“Para tersangka akan kami proses secara hukum. Kemudian akan kami pilah-pilah untuk kami bimbing ke jalan yang benar. Mereka ini (para tersangka) merupakan remaja yang potensial,” tutur Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan, dikutip dari laman Antara, Rabu, 4 Desember 2019.

Luki menuturkan, komplotan pembobol kartu kredit dapat meraup keuntungan mencapai Rp 5 miliar per tahun. Salah satu tersangka mengaku mendapatkan keuntungan 10 persen dari transaksi yang berhasil dilakukan. Tersangka itu sudah setahun menjalani peretas tersebut dan masing-masing anggota akan mendapatkan keuntungan 10 persen per transaksi.

Berikut sejumlah hal terkait pembobolan kartu kredit oleh peretas di Surabaya yang dirangkum dari berbagai sumber, Kamis (5/12/2019):

1.18 Anggota Komplotan Jadi Tersangka

Polda Jatim menyatakan, 18 anggota komplotan peretas atau hacker pembobol kartu kredit menjadi tersangka. Rata-rata tersangka itu berusia 20-an dan lulusan SMKA.

Para tersangka mengincar korban dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa. "Para tersangka akan kami proses secara hukum. Kemudian akan kami pilah-pilah untuk kami bimbing ke jalan yang benar. Mereka ini (para tersangka) merupakan remaja yang potensial," ujar dia, seperti dikutip dari laman Antara, Rabu, 4 Desember 2019.

18 tersangka itu berinisial HK, AE,AE,YM, MT,DA, PR,DZ,CD,AW,AS,GP,HR,AF,MA,HM, DA,MS, dan DP. Luki menuturkan, dalam sebulan, komplotan pembobol kartu kredit bisa meraup keuntungan mencapai Rp 5 miliar per tahun.

"Keuntungan yang mereka dapatkan ini sangat besar sekali, yakni Rp 5 miliar dalam setahun," kata dia.

Ilustrasi Foto Penangkapan (iStockphoto)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


2. Mayoritas Korban adalah Warga Eropa

Ilustrasi Kartu Kredit (iStockphoto)

2. Mayoritas Korban adalah Warga Eropa

Tersangka memilih korbannya dengan sangat selektif. Komplotan peretas ini memilih korban warga negara asing (WNA) dari luar negeri yang mayoritasnya tinggal di Eropa.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Kombes Pol Gidion Arief Setyawan menuturkan, selama ini memang sasaran dari para hacker itu ada di kawasan Eropa. "Korban dari kawasan Eropa," ujar dia dikutip dari Merdeka, Rabu, 4 Desember 2019.

Para peretas ini memilih korban dari Eropa karena sistem perbankan di Eropa berbeda dengan Indonesia.

"Di Eropa, jika nasabah merasa tidak melakukan transaksi dan nilai nominalnya berkurang, maka bank biasanya akan memulihkan seperti sediakala. Dalam kasus ini korban memang tidak dirugikan, tapi metode yang dipakai mereka (tersangka) inilah yang menjadi tindak pidana," kata Kasubdit Siber Crime Ditreskrimsus Polda Jatim AKBP Cecep Susatya.


3. Modus Bos Komplotan Peretas Rekrut Peretas

Ilustrasi Foto Kartu Kredit (iStockphoto)

3. Modus Bos Komplotan Peretas Rekrut Peretas

Kepolisian Polda Jatim (Polda Jatim) mengungkap modus perekrutan anggota peretas kartu kredit yang dilakukan oleh pimpinan dari komplotan tersebut.

Kasubdit V Siber Polda Jatim AKBP, Cecep Susatya, mengatakan bahwa tidak ada syarat khusus yang dicantumkan pimpinan komplotan peretas kartu kredit itu, hanya lulusan SMK dan menguasai komputer.

"Modusnya, Hendra, ketua kelompok ini membuka lowongan untuk posisi clearning service di media sosial dengan syarat cukup lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),” Cecep Susatya, seperti dilansir Antara.

Setelah pelamar mengirim surat lamaran, Hendra akan akan menyeleksi pelamar terlebih dahulu. Lalu ia akan memanggil dan memberikan tes langsung kepada pelamar yang memenuhi syarat. Cecep Susatya menambahkan, Hendra kemudian memberikan training berupa spamming, google.id, dan sebagainya sesuai divisi tugas yang ada.

Kemudian, pelamar yang sudah detraining ditugasi mengirim berbagai penawaran akun developer kartu kredit secara acak. Tiap akun nilainya Rp 400 ribu.

"Caranya mereka mengiklankan produk orang atau perusahaan luar. Nah, untuk mengiklankan dia harus bayar, tapi bayarnya di google dalam bentuk dolar,” tutur dia.


4.Polda Jatim Menindak Komplotan Pembobol Kartu Kredit di Surabaya

Ilustrasi Penangkapan. IOL

4.Polda Jatim Menindak Komplotan Pembobol Kartu Kredit di Surabaya

Subdit V/Cyber Ditreskrimsus Polda Jawa Timur (Jatim) menggerebek komplotan pembobol atau peretas kartu kredit di Toko Berdikari Jaya di Surabaya, 2 Desember 2019.

Saat penggrebekan, polisi meringkus 20 orang peretas pembobol kartu kredit dan sejumlah barang bukti, yaitu 23 PC (computer), 29 monitor, 20 telepon genggam, dan puluhan rekening bank.

"Pada hari Senin kami melakukan penindakan terhadap jaringan tindak pidana menggunakan ITE atau yang biasa disebut skimming menggunakan kartu kredit untuk melakukan penipuan," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim Kombes Pol Gideon Arif Setyawan di Mapolda setempat, Surabaya, Selasa, 3 Desember 2019, dikutip dari Antara.

Gideon juga mengatakan bahwa peretasan kartu kredit ini sudah berlangsung selama tiga tahun.

"Omzet kurang lebih 40 ribu dolar AS. Kalau pelaku ITE itu pasti borderless dan sasaran mereka di Amerika dan Eropa," ucapnya.

Gideon menambahkan, para peretas kartu kredit tersebut bisa mendapatkan uang sebanyak USD 40 ribu dalam sebulan dari hasil skimming di Amerika Serikat dan Eropa.

Gideon menuturkan, sampai saat ini polisi masih mendalami kasus tersebut guna mengungkap lebih jauh modus dan jaringannya.

 

 

 

(Shafa Tasha Fadhila - Mahasiswa PNJ)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya