Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) selama Desember 2019 dipatok pada angka USD 66,30 per ton. Ketetapan ini mangacu pada Keputusan Menteri Nomor 246 K/30/MEM / 2019 yang ditandatangani Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan, harga batu bara Desember 2019 sebesar USD 66,30 naik tipis dari November 2019 sebesar USD 66,27. Kenaikan harga batu bara terjadi dua bulan tertutur turut.
"Kenaikan HBA Desember 0,3 USD per ton," kata Agung di Jakarta, Jumat (5/12/2019).
Baca Juga
Advertisement
Pemicu kenaikan HBA pada Desember hampir sama seperti pada November, yaitu meningkatnya permintaan pasar, sebab sudah memasuki musim dingin sehingga membutuhkan pasokan Energi tambahan.
"Karena ada kenaikan permintaan di pasar," ujarnya.
Harga batu bara tersebut, akan digunakan untuk penjualan langsung (spot) selama satu bulan pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Veseel).
Nilai HBA sendiri diperoleh rata-rata empat indeks harga batu bara yang umum digunakan dalam perdagangan batubara dunia, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Batu Bara Bakal Kalah dengan Energi Bersih Jika Tak Ada Hilirisasi
Batu bara diprediksi akan kalah bersaing dengan Energi Baru Terbarukan (EBT) jika pengembangan energi bersih tersebut semakin masif. Oleh sebab itu, pemerintah meminta kepada pengusaha batu bara untuk melakukan hilirisasi.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot mengatakan, jika EBT semakin berkembang pesat akan membuat harganya bersaing dengan batu bara. Kondisi ini bisa menggeser peran batu bara ke depan.
"Kalau EBT berkembang pesat harga keekonomian lebih murah dari batu bara," kata Bambang, dalam sebuah diskusi di Bimasena Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Bambang mencontohkan, saat ini India sedang menggarap program kelistrikan dengan total kapasitas 175 Giga Watt (GW). Mayoritas pembangkit tersebut berasal dari pembangkit dengan energi primer EBT.
Harga listrik dari pembangkit tersebut rata-rata 4 cent per Kilo Watt hour (kWh), lebih murah dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara.
"Saya mengingatkan tambang batu bara walau energy mix itu di 2050 batu bara masih, tapi kalau EBT berkembang pesat bisa berubah total," ujarnya.
Advertisement
Harus Hilirisasi
Menurut Bambang, untuk mengantisipasi kalah saingnya batu bara dengan energi bersih tersebut, perushaan batu bara perlu melakukan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah. Hal tersebut seperti yang dilakukan China dengan mengolah batu bara menjadi avtur dan produk turunan lainya.
"added value di sini sangat banyak, kalau serius kita bisa dekati bagaimana memberikan keekonomian mari kita buat bersama. Kalau tidak proses lanjut jadi masalah," tandasnya.