Liputan6.com, Beijing - China menggenjot upaya untuk menstabilkan pasokan daging babi mereka, setelah diguncang oleh wabah flu babi Afrika atau African Fever Swine (AFS). Jutaan babi ternak (hog) pun mati dan peternak berhenti membiakan hewan mereka.
Dilaporkan Business Time, Jumat (6/12/2019), pemerintah China menyebut babi ternak mereka menurun 41 persen dibanding Oktober tahun lalu. Sementara, banyak analis dan orang dalam industri menyebut persedian babi sebetulnya merosot 60 persen atau lebih.
Baca Juga
Advertisement
Kementerian Bidang Pertanian dan Pedesaan China pun mengeluarkan rencana tiga tahun untuk mengebut pemulai produksi babi. Targetnya adalah swasembada 70 persen ternak babi di wilayah tenggara China.
Wilayah-wilayah yang ditargetkan adalah provinsi Jiangsu, Zhejiang, Guangdong, dan Fujian, termasuk kota Tianjin, Beijing, dan Shanghai. Wilayah di barat seperti Sichuan juga akan didorong untuk swasembada meski tidak dalam taraf tinggi.
Provinsi Hunan, Hubei, dan Guangxi direncanakan tetap menjadi area penghasil ternak babi yang akan menyuplai ke berbagai daerah di China.
Rencana yang baru dilaksankan awal Desember ini menargetkan agar stok babi berhenti jatuh dan mulai meningkat pada akhir tahun ini. Pada akhir 2020, produksi diharapkan bisa pulih.
Insentif lain yang pemerintah China berikan adalah pemberian dukungan finansial pada peternak, serta simplifikasi perizinan lahan. Rencana pemerintah juga berupaya mencegah dan mengendalikan penyebaran flu babi Afrika.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Ada Wabah Juga di Indonesia
Virus hog cholera atau kolera babi makin merajalela di Sumatera Utara. Tercatat virus tersebut sudah menyebar di 16 kabupaten di kawasan tersebut. Hingga kini sudah 10.289 ekor babi yang dilaporkan mati.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut, Mulkan Harahap mengatakan, jika sebelumnya 11 kabupaten. Sekarang bertambah lima, menjadi 16 kabupaten.
"Lima kabupaten yang terjadi kematian babi yakni Langkat, Tebing Tinggi, Siantar, Simalungun, dan Pakpak Bharat. Paling tinggi masih di Deli Serdang, 3.276 ekor, dan paling sedikit Siantar, 3 ekor," kata Mulkan, Rabu 4 Desember 2019.
Mulkan menjelaskan, penyebab kematian ribuan babi di Sumut adalah kolera. Meskipun beberapa waktu lalu, Balai Veteriner Medan menyebut kematian babi juga terindikasi African Swine Fever (ASF), pihaknya sudah menyampaikan laporan tertulis ke Gubernur Sumut.
Sementara itu, terkait wabah kolera babi, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Muhammad Munawaroh, menurut surat edaran yang diterima Liputan6.com, Kamis 5 Desember, mengatakan Indonesia sebagai salah satu anggota Organisasi Kesehatan Hewan Dunia atau World Organisation for Animal Health (OIE), perlu membagikan informasi kejadian wabah penyakit hewan menular yang termasuk kategori penyakit hewan lintas batas (transboundary diseases) yang wajib dilaporkan (notifiable disease) sesuai dengan Ketentuan Organik OIE.
"Dipandang perlu Menteri Pertanian menetapkan adanya wabah ASF tersebut,” katanya.
Penetapan itu penting dilakukan, katanya, untuk bisa mengambil tindakan-tindakan secara legal selanjutnya dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit ASF.
"Sebagai organisasi profesi Dokter Hewan di Indonesia yang peduli terhadap Kesehatan Hewan, Kesehatan dan Kesejahteraan Manusia, serta Pembangunan Nasional meminta pemerintah untuk segera mengumumkan dan menetapkan kasus wabah penyakit African Swine Fever (ASF) di Sumatera Utara," katanya.
Dirinya juga berharap, pemda setempat mengambil tindakan-tindakan nyata sesuai dengan peraturan dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit ASF pada babi.
Pihak PB PDHI juga siap berperan aktif bersama Pemerintah baik Pusat maupun Daerah serta pihak-pihak yang terkait, terutama peternak babi dan masyarakat untuk turut serta dan bekerjasama dalam tindakan pengendalian dan penanggulangan penyakit ASF.
Advertisement
Ribuan Babi Mati
Kematian ribuan babi di berbagai daerah di Sumatera Utara (Sumut) menjadi perhatian serius berbagai pihak. Mulai dari Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan hingga Gubernur Sumatera Utara (Sumut).
Untuk mencari tahu penyebab kematian ribuan ekor babi tersebut, Balai Veteriner Medan melakukan penyelidikan dengan mengumpulkan sampel bangkai babi. Hasilnya, selain disebabkan virus hog cholera, kematian babi juga terindikasi terkena virus African Swine Fever (ASF) atau Demam Babi Afrika.
Kepala Balai Veteriner Medan, Agustia mengatakan, sejak September hingga Oktober 2019 telah mengambil sampel terhadap babi yang mati di beberapa daerah di Sumut. Sampel difokuskan pada daerah yang terjadi peningkatan ekskalasi kematian babi.
"Hasilnya seperti yang kita duga sebelumnya, hog cholera. Wabah ini pernah terjadi di tahun 1993 sampai 1996," kata Agustia, Minggu, 10 November 2019.
Hog cholera pada saat itu sudah ditangani. Tetapi dari segi ilmu kedokteran, virus tersebut tetap ada dan tidak menyerang jika ketahanan tubuh babi kuat. Ketika ketahanan tubuh babi kuat dan masih muncul, hal itu disebut dengan daerah endemis.
"Serta merta bisa muncul. Nah, agar tidak muncul, harus vaksinasi," ujarnya.
Mengingat penyakit babi tidak hanya hog cholera, dan kematian terus terjadi, Balai Veteriner Medan kembali melakukan uji laboratorium. Hasilnya, ditemukan indikasi suspect ASF atau Demam Babi Afrika.
Agustia menjelaskan, alasan penyebutan indikasi karena selama ini tidak pernah ada disebutkan secara pasti serangan virus Demam Babi Afrika. Sebab, beda antara terserang virus dengan indikasi.
Untuk membuktikan adanya Deman Babi Afrika harus dlakukan uji laboratorium berkali-kali, dan hasilnya disampaikan oleh atasan. Dalam hal ini, Balai Veteriner Medan melaporkan hasil uji laboratorium ke Direktur Jenderal Penyakit dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.
"Virus ini (Demam Babi Afrika) belum pernah ada di Indonesia, serangannya cepat dan sistemik," jelasnya.