Bocah Kelas 3 SD Bunuh Diri Akibat Dibully, Sekolah Dituntut Tanggung Jawab

Orangtua korban bunuh diri menuntut sekolah yang gagal memberantas bullying.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 06 Des 2019, 21:00 WIB
Aksi bully terekam di CCTV sekolah. Korban yang masih SD bunuh diri. Dok: AP

Liputan6.com, Cincinnati - Kasus anak SD yang bunuh diri akibat kasus bully pada 2017 lalu kembali mencuat. Orangtua murid bernama Gabriel Taye (8) menuntut pihak sekolah karena gagal memberantas perilaku bully yang berujung pada bunuh diri putra mereka.

Dilaporkan Insider, Jumat (6/12/2019) orangtua Gabriel Taye berkata anaknya menjadi korban bully beberapa hari sebelum bunuh diri terjadi. Pihak sekolah juga disalahkan karena terkesan menutupi kasus bully yang terjadi.

Kasus bully yang terjadi baru terkuak beberapa bulan setelah korban bunuh diri. Dalam video di SD Carson di Ohio, Gabriel dihajar di toilet oleh segerombolan anak. Kaki si bocah tampak terkapar di pojok toilet sebelum akhirnya dibantu beberapa pegawai sekolah.

Pihak sekolah pun tidak mau dituntut akibat gagal memberantas bullying. Tindakan yang terjadi dengan Gabriel Taye disebut tidak bisa diprediksi dan tak mungkin dicegah.

"Sekolah hanya bertanggung jawab untuk mencegah apa yang mereka bisa prediksi," ujar pengacara pihak sekolah Eric Herzig.

Ia juga berargumen jika kasus ini diteruskan, maka ini bisa menjadi preseden yang membuat sekolah-sekolah lain bisa dituntut bila ada kejadian serupa di sekolah mereka. 

Penasihat hukum orangtua korban, Jennifer Branch, menolak penjelasan tersebut. Ia juga menekankan sekolah pantas dituntut jika menutupi kasus seperti ini.

"Sekolah distrik berargumen, 'Tunggu dulu, jangan biarkan kasus ini berlanjut ... Kita nantinya malah bisa terus-terusan dituntut. Dan saya bilang, 'Bagus. Kamu seharusnya digugat jika menutupi kasus ini,'" ujar Branch.

Pihak sekolah mengajukan banding di Pengadilan Banding Sirkuit Keenam AS (daerah Michigan, Ohio, dan Tennessee) setelah banding mereka ditolak pengadilan level bawah.

AP News melaporkan Gabriel meninggal bunuh diri di kamarnya pada 26 Januari 2008. Sebelumnya, pihak sekolah berkata korban mengatakan dirinya jatuh pingsan dan tak mengakui bahwa dirinya jadi korban bully, hal itu pula yang sekolah katakan ke ibu korban.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Survei Kasus Bully di Indonesia

Inilah akhir dari cerita seorang pria yang selama sembilan tahun selalu membully temannya, meskipun ia sudah tak berada di sekolah yang sama. (Ilustrasi: Bullying | Bully Awareness Resistance Education)

Laporan terbaru Programme for International Student Assessment (PISA) baru saja dirilis pekan ini. Tes yang diadakan tiap tiga tahun sekali ini menunjukan skor murid di bidang membaca, matematika, dan sains.

Tak hanya soal membaca dan menghitung, laporan PISA juga mengevaluasi soal bully di suatu negara. Para murid berusia 15 tahun pun diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan soal perilaku negatif tersebut. 

Dalam laporan PISA, bullying diartikan sebagai perilaku agresif yang menyebabkan aksi negatif atau tidak diinginkan yang dilakukan secara sengaja dan berulang terhadap orang lain yang tak mampu melindungi diri mereka sendiri.

Perilaku bully pun bisa berlaku di media sosial, serta mencakup aspek fisik, aspek verbal, dan aspek relasi seperti menyebar gosip dan mengucilkan.

Laporan PISA pun cukup komprehensif, sebab tidak menyoal bully fisik saja. Siswa juga ditanya soal gibah hingga dikucilkan.

Lantas berikut hasil murid Indonesia di tes PISA saat ditanya apakah jadi korban bully lebih dari sekali dalam sebulan:

- Sering kena bully: 15 persen

- Terkena tindakan bully dalam bentuk apapun: 41 persen

- Sengaja dikucilkan murid lain: 19 persen

- Diledek murid lain: 22 persen

- Diancam murid lain: 14 persen

- Barang dicuri atau dirusak murid lain: 22 persen

- Dipukul atau didorong-dorong murid lain: 18 persen

- Jadi korban rumor buruk oleh murid lain: 20 persen 


Menolong Korban Bully

Ilustrasi bully. (dok. unsplash.com/@dannyg)

PISA juga menuliskan laporan mengenai respons murid Indonesia terkait bully, seperti bagaimana perasaan mereka ketika melihat ada yang menjadi korban bully atau menolong korban.

Tetapi ada yang ganjil dalam respons murid Indonesia, pasalnya hampir setengah murid justru kurang setuju terhadap pernyataan bahwa terlibat bullying adalah hal yang salah.

Berikut responsnya:

- Merasa terganggu ketika tak ada yang membela korban bully: 74 persen

- Menolong murid yang tak bisa membela diri adalah hal yang baik: 80 persen

- Ikut melakukan bully adalah hal yang salah: 57 persen

- Saya merasa tak ena ketika melihat murid lain jadi korban bullying: 80 persen

- Saya senang jika ada orang yang membela murid lain yang sedang di-bully: 73 persen 


Negara Lain

Ilustrasi suasana kota Jepang. (pixabay)

Lebih lanjut, berikut jawaban murid 15 tahun di negara tetangga dari Australia, Malaysia sampai Jepang dan Korea Selatan.

Australia

- Sering kena bully: 13 persen

- Terkena tindakan bully dalam bentuk apapun: 30 persen

- Sengaja dikucilkan murid lain: 14 persen

- Diledek murid lain: 21 persen

- Diancam murid lain: 9 persen

- Barang dicuri atau dirusak murid lain: 7 persen

- Dipukul atau didorong-dorong murid lain: 9 persen

- Jadi korban rumor buruk oleh murid lain: 13 persen

Malaysia

- Sering kena bully: 14 persen

- Terkena tindakan bully dalam bentuk apapun: 36 persen

- Sengaja dikucilkan murid lain: 15 persen

- Diledek murid lain: 24 persen

- Diancam murid lain: 9 persen

- Barang dicuri atau dirusak murid lain: 12 persen

- Dipukul atau didorong-dorong murid lain: 10 persen

- Jadi korban rumor buruk oleh murid lain: 17 persen

Jepang

- Sering kena bully: 4 persen

- Terkena tindakan bully dalam bentuk apapun: 17 persen

- Sengaja dikucilkan murid lain: 4 persen

- Diledek murid lain: 14 persen

- Diancam murid lain: 2 persen

- Barang dicuri atau dirusak murid lain: 3 persen

- Dipukul atau didorong-dorong murid lain: 6 persen

- Jadi korban rumor buruk oleh murid lain: 5 persen

Menariknya, tingkat bully di Korea Selatan tercatat rendah. Dalam laporan itu hanya 1 persen murid Korea yang menjadi korban pengucilan atau serangan fisik, dan yang menjadi korban rumor buruk hanya 2 persen saja.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya