Liputan6.com, Palembang - Pembangunan proyek Light Rapid Transit (LRT) di berbagai daerah di Indonesia menjadi pro-kontra berbagai pihak. Seperti dalam pembangunan LRT di Jakarta dan LRT Palembang.
Bambang Haryo, politikus Partai Gerindra, menilai, pembangunan LRT tidak berdasarkan kajian teknis dan ekonomis secara mendalam, sehingga kurang bermanfaat bagi masyarakat dan berpotensi merugikan keuangan negara.
Baca Juga
Advertisement
Pemerintah seharusnya belajar dari kegagalan proyek LRT Palembang, yang menghabiskan biaya Rp10,9 triliun, tetapi sampai sekarang masih sepi penumpang.
Alokasi subsidi LRT Palembang pada 2020 disebut mencapai Rp180 miliar, naik dari tahun ini sebesar Rp123 miliar. Sejak beroperasi komersial, LRT Palembang hanya mengantongi pendapatan Rp1,1 miliar per bulan, sedangkan biaya operasionalnya mencapai Rp10 miliar.
"Saya melihat LRT ini masih berorientasi proyek, tidak melalui litbang yang benar, tidak sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan riil masyarakat," katanya, saat dijumpai di Palembang, Senin (9/12/2019).
Praktisi dan pemerhati masalah transportasi logistik ini melihat, keputusan pemerintah membangun LRT tidak tepat. Terutama dari konsepnya yang berdampak terhadap tingginya biaya dibandingkan dengan pemanfaatannya.
Bahkan, proyek LRT ini dinilainya sudah keliru sejak perencanaannya. Kereta ringan sejenis LRT seharusnya dibangun di dalam suatu kawasan kota, bukan dijadikan angkutan antarkota seperti LRT Jabodebek yang membentang hingga 130,4 kilometer.
"Angkutan antarkota yang cocok itu adalah kereta komuter biasa. Agar bisa mengangkut penumpang dalam jumlah besar, sekaligus relnya dapat dilintasi kereta logistik. Bukan LRT, apalagi dibangun elevated dan sejajar jalan tol," ucapnya.
Kekeliruan lain, ungkap anggota Komisi V DPR RI periode 2014-2019 ini, yakni penggunaan rel (track gauge) berukuran 1.435 mm, yang biasa dipakai untuk KA kecepatan di atas 200 km per jam.
Padahal, kecepatan LRT maksimum 60 km per jam sehingga cukup gunakan ukuran rel standar 1.067 mm. Berbagai kekeliruan itu mengakibatkan biaya pembangunan LRT Jabodebek menjadi sangat besar.
Proyek LRT Jabodebek menelan biaya sekitar Rp30 triliun. Sementara kapasitas angkutnya maksimal 474.000 penumpang per hari.
Biaya proyek LRT semakin bengkak karena prasarana LRT Jabodebek ternyata mundur dari target penyelesaian 2019 menjadi 2021. Padahal sarana atau gerbong kereta telah selesai diproduksi oleh PT INKA (Persero) tahun ini. Namun terpaksa idle karena depo dan jalur rel LRT belum siap.
“INKA terancam rugi besar. Pembayaran dari pemerintah tertunda karena kereta belum diserahkan dan diuji dinamik. Bagaimana mau uji dinamik, jalur rel dan deponya saja belum siap,” ujarnya.
“Ini suatu pemborosan dalam keuangan negara. Padahal proyek LRT menggunakan APBN dan utang luar negeri dengan bunga cukup tinggi. Kemenhub harus bertanggung jawab atas pemborosan ini, karena itu BPK dan Kementerian Keuangan harus melakukan audit,” katanya.
Jika di jalur LRT itu dibangun KA komuter berbasis rel, lanjutnya, investasinya akan jauh lebih murah dan kapasitas angkutnya lebih besar. Sekaligus dapat dimanfaatkan untuk kereta logistik.
Pemerintah bisa menggandakan kapasitas KRL Jabodetabek, yang saat ini berkisar 1,2 juta penumpang per hari hanya dengan investasi Rp 9 triliun.
Proyek Gagal Lainnya
Investasi ini sudah termasuk membangun jaringan rel ganda (double track) sepanjang 100 km senilai Rp6 triliun. Atau biaya pembangunan rel Rp30 miliar per km dan 50 rangkaian kereta senilai Rp3 triliun, atau Rp60 miliar per rangkaian.
"Kalau Rp30 triliun untuk LRT digunakan mengembangkan KRL, penumpang yang diangkut bisa lebih dari tiga kali lipat atau 4 juta orang per hari. Belum lagi dari angkutan logistik yang melintasi jaringan rel KRL atau kereta konvensional itu," ujarnya.
Selain LRT, Bambang Haryo menyoroti beberapa proyek kereta api yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Proyek yang dia nilai gagal antara lain rel ganda Jakarta-Surabaya yang tidak dimanfaatkan secara optimal.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), proyek yang rampung tahun 2013 ini ditargetkan dapat menyerap angkutan kontainer 1 juta TEUs. Tapi realisasinya sampai saat ini tidak lebih dari 300.000 TEUs per tahun.
"Ini suatu kegagalan pemerintah memindahkan angkutan logistik darat ke kereta api dalam upaya menghindari kemacetan dan kecelakaan, serta kerusakan jalan," ujarnya.
Kegagalan lain yang disorotinya yaitu operasional KA Bandara Adi Soemarmo Solo yang molor hingga dua tahun lebih. Karena keretanya sudah selesai tetapi infrastrukturnya belum siap. Kereta api tersebut terpaksa digunakan untuk kereta kota kecepatan rendah, di bawah 20 km per jam sehingga kurang bermanfaat.
Proyek lain yang mubazir yakni pembukaan rel KA pelabuhan di Tanjung Priok Jakarta dan Tanjung Emas Semarang. Proyek yang sempat menimbulkan konflik dan jatuh korban ini, sampai sekarang tidak difungsikan.
"Padahal ini bagus bila dimanfaatkan karena terintegrasi langsung dengan transportasi logistik laut," ucapnya.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement