Liputan6.com, Jakarta - Dahi saya berkerenyit saat melihat papan daftar harga. Satu donat saja dihargai Rp18 ribu, belum termasuk pajak. Itu pun hanya donat original, yakni donat klasik dengan taburan gula pasir. Kalau sudah diberi filling, harga per satuan mencapai Rp25 ribu, belum termasuk pajak.
Saat saya datang, hanya tiga rasa tersedia, sour mochee, cinnamon raisin, dan original. Sour mochee merupakan donat dengan isian selai lemon, sedangkan cinnamon raisin adalah donat kayu manis dengan taburan kismis.
"Sebenarnya total ada 18 rasa, tapi dalam satu hari hanya 5-6 rasa saja yang dijual," kata Jocelyn Luhur, store manager Harrits Donuts and Caffee, ditemui Selasa, 10 Desember 2019.
Baca Juga
Advertisement
Tampilan keseluruhan donat tak jauh dari donat-donat yang dijual di pasaran, khususnya donat original. Perbedaan baru terasa ketika dicicipi. Tekstur donat padat kenyal tapi tetap lembut. Rasanya juga tak terlalu manis dan berminyak dibandingkan donat kampung yang banyak dijajakan.
Sementara, donat cinnamon raisin lebih dominan rasa kayu manisnya. Tambahan kismis menambah tekstur pada donat. Tetapi, favorit saya adalah sour mochee. Selai lemon nan segar melimpah. Nyaris setiap gigitan selalu bisa menemukan isian. Ukurannya yang sedang cukup mengenyangkan, setidaknya bisa bertahan hingga tiga jam.
Jocelyn menerangkan, seluruh donat diproduksi dengan tangan oleh Chef Rain. Butuh rata-rata dua tiga jam untuk memproduksi 200 buah donat per rasa, mulai dari mengadon hingga siap disajikan. Hari itu diproduksi, hari itu juga harus habis. Bila ada enam rasa, setidaknya Harrits memproduksi 1.200 buah donat per hari.
"Idenya waktu itu, founder jalan-jalan di Jepang. Dia lihat, enggak terlalu banyak marketing tools, tapi orang-orang sudah antre dari pagi-pagi buta. Setelah ditelusuri, ternyata donat dibuat oleh hand crafter. Mereka menghargai ada proses panjang untuk membuat donat. Nah, nilai ini harus dibawa ke Indonesia," ujarnya.
"Jadi, tidak ada sama sekali menggunakan mesin, semua buatan tangan," imbuh Jocelyn.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Konsep Berbeda
Meski baru buka akhir November 2019 lalu, pengunjung sudah mencapai 400 orang per hari. Menurut Jocelyn, konsep Harrits yang dihadirkan di Jakarta pertama kalinya itu berbeda dengan gerai di tempat asalnya, Jepang.
Bila di Jepang mengusung grab to go sehingga hanya dijual di van, di Indonesia dihadirkan konsep kafe. Hal itu lantaran budaya orang Indonesia yang betah berlama-lama di kafe.
Karena itu pula, Harrits yang buka perdana 12 tahun lalu di Tokyo itu tidak hanya menghadirkan donat dan minuman pendampingnya saja di Jakarta. Kafe juga menawarkan sejumlah masakan Jepang ke dalam daftar menu. Sebut saja gyoza, sando, ramen dingin, pasta, dan steak.
"Ada beer ramen, tapi itu karena mi-nya diletakkan di dalam gelas bir ya, nggak mengandung bir sama sekali. Semuanya halal," terang Jocelyn.
Saya mencicipi sando, sandwich berisi potongan daging sapi yang tebal dan saus berwarna cokelat. Dagingnya lembut, mudah dikunyah. Rasanya juga tak ada yang terlalu gurih, semua pas. Tambahan daun selada yang ditaburi biji wijen cukup membantu menetralisir rasa eneg usai makan daging. Sementara, french fries yang disajikan juga mengenyangkan.
Interior kafe juga sederhana, didominasi kayu dan semen, khas garis interior Jepang. Tempatnya tidak terlalu besar memang disengaja. Tujuannya, kata Jocelyn, agar bisa lebih intim.
Tertarik mencoba? Harrits buka di Plaza Indonesia lantai 3 di Jakarta Pusat dengan jam operasional menyesuaikan waktu buka mal.
Advertisement