Mahasiswa ITS Rancang Beton Ramah Lingkungan dari Limbah PLTU

Ada tiga hal membuat mahasiswa ITS ciptakan beton ini, salah satunya beton konvensional sering tidak ramah lingkungan.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 11 Des 2019, 04:00 WIB
ITS Surabaya (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Surabaya - Satu lagi karya inovasi berhasil digagas oleh tim mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Tim dari Departemen Teknik Infrastruktur Sipil tersebut berhasil mengembangkan beton geopolimer yang ramah lingkungan, berasal dari bahan dasar limbah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Tim itu antara lain Rifqi Nadhif Arrafid, Galih Syifa’ul Ummah, dan Yosi Noviari Wibowo yang tergabung dalam Tim CT-SEGORO. Menurut Galih Syifa’ul Ummah, membuat beton ramah lingkungan tentu butuh pertimbangan yang matang. 

Banyak peristiwa yang melatarbelakangi terciptanya beton ini. “Kurang lebih ada tiga hal yang mendasari kami dalam mengembangkan beton ini," ujar Galih, Selasa, 10 Desember 2019.

Alasan pertamanya, menurut Galih, karena dosen-dosen ITS sebenarnya sudah meneliti tentang hal ini. Begitu pula ia dan tinmnya pun sudah beberapa kali terlibat dalam penelitian tersebut. "Setidaknya hal ini sesuai dengan subbidang yang kami ambil dan kami ingin mengembangkan penelitian ini,” ungkapnya.

Yang kedua, mahasiswa berambut gondrong tersebut menyampaikan, beton konvensional dengan bahan semen abu-abu seperti yang sering dipasarkan itu sangat tidak ramah lingkungan. Karena produksi semen tersebut melepaskan karbondioksida yang menyebabkan pemanasan global. 

"Beton yang kami kembangkan berbeda, beton kami ramah lingkungan karena berbahan dasar limbah PLTU atau sisa pembakaran batu bara," tegas Galih.

Galih menambahkan, alasan berikutnya, beton ini juga dibuat untuk meminimalisir pembuangan limbah batubara. Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara penghasil batubara terbesar. Oleh karena itu, limbah yang dihasilkannya pun besar. Salah satunya adalah limbah PLTU di Paiton yang juga dijadikannya sampel penelitian. 

Limbah-limbah tersebut, kata Galih, biasanya kurang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya. "Biasanya limbah langsung dibuang ke sungai, tentu saja hal itu akan membuat lingkungan semakin tercemar," beber mahasiswa ITS angkatan 2017 tersebut menguak fakta yang ada di lapangan selama ini.

Walaupun beton dari bahan limbah batu bara sudah pernah diteliti dan sedang marak diteliti, tapi beton milik tim CT-SEGORO ini memiliki perbedaan yang unik. Jika beton geopolimer pada umumnya berbahan dasar fly ash tipe-C dengan kadar kalsium (Ca) 19 persen. Galih menyampaikan, beton milik timnya ini berbahan dasar fly ash tipe-C dengan kadar Ca 27 persen. 

Hal tersebut, menurut dia, membuat beton yang dikembangkan timnya tidak mudah kering. Semakin lama kering sebuah beton, semakin baik pula kualitas beton tersebut. "Sebenarnya bukan kadar persennya yang mempengaruhi kualitas beton, tapi cara pengolahannya lah yang mempengaruhi,” ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Selanjutnya

Kampus ITS (Foto: Dok ITS)

Melanjutkan penjelasan sebelumnya, Galih mengatakan, secara garis besar metode pengolahannya hampir mirip dengan metode pembuatan beton geopolimer lainnya. Yaitu dengan cara mereaksikan fly ash tipe-C dengan alkali. 

Namun, untuk beton fly ash tipe-C kadar Ca 27 persen menggunakan metode terpisah, sehingga menghasilkan produk yang tidak cepat mengering dan lebih baik kualitasnya karena dinilai lebih kuat. 

Metode yang dipakai tim ini menggunakan takaran yang berbeda dengan takaran beton geopolimer lainnya. Yaitu dengan takaran semen geopolimer 35 persen dan 65 persen agregat (pasir dan kerikil). "Metode ini hanya bisa diterapkan pada beton dengan fly ash kadar Ca 27 persen saja," tutur mahasiswa asal Blitar ini.

Galih menyampaikan, semakin tinggi kadar Ca maka semakin rumit pula metode pengolahannya. Selain itu, setiap perbedaan kadar Ca, berbeda pula metode pengolahannya. "Hal itulah yang menjadi hambatan dan sampai saat ini kami teliti bagaimana cara mengatasinya,” ungkap Galih lagi.

Jika dilihat dari segi harga, walaupun dinilai lebih murah, namun Galih menyampaikan tidak ada perbedaan yang signifikan. Akan tetapi, jika dilihat dari segi kekuatan, beton milik timnya dinilai lebih kuat karena faktor lamanya beton mengering seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. "Yang terpenting beton (tim) kami dapat mengurangi masalah lingkungan,” klaim Galih.

Karya inovasi yang mereka hasilkan ini pun telah berhasil menyabet juara pertama dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional BUILDYEAR 2019 di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), awal bulan lalu.

Mahasiswa berperawakan tinggi ini mengatakan, jika beton rancangan timnya ini untuk diaplikasikan di dermaga. Karya inovasi yang berhasil mereka rancang ini pun bernama Segoro Konkret, menyesuaikan dengan nama tim mereka. 

Nama itu diambil dengan makna “segoro” adalah laut dan “konkret” adalah beton. “Seperti namanya, produk yang kami lombakan ini yaitu beton untuk dermaga di laut,” terang Galih.

Galih bersama timnya bertekad penelitian ini tidak akan berakhir setelah mereka mendapat juara, mereka ingin penelitian ini tetap dilanjutkan agar benar-benar dapat diaplikasikan di wilayah pelabuhan, pantai, dan laut. 

"Kami ingin melakukan uji resistivity dan uji permeability untuk mengetahui dengan jelas bagaimana dampak beton ini jika diterapkan di laut, akan tetap kuat ataukah menjadi keropos,” pungkas Galih.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya