Liputan6.com, Washington D.C. - Amerika Serikat (AS) baru saja memberikan sanksi keras pada pemimpin militer Myanmar akibat kasus Rohingya. Panglima militer Min Aung Hlaing juga tak luput dari sanksi.
Dilaporkan Al Jazeera, Rabu (11/12/2019), pemberian sanksi AS ini akibat dugaan pelanggaran HAM kepada etnis Rohingya dan kelompok minoritas lain. Langkah AS bertepatan dengan Hari HAM Sedunia dan hadirnya pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi di Mahkamah Internasional PBB di Den Haag.
Baca Juga
Advertisement
Menurut laporan Kementerian Keuangan, ada empat orang yang kena sanksi: Panglima Militer Myanmar Min Aung Hlaing, Wakil Panglima Militer Soe Win, serta Than Oo dan Aung Aung yang memimpin divisi infantri yang melakukan pelanggaran HAM serius di Rakhine.
Dalam pernyataannya, Kemenkeu AS meminta agar pelanggaran HAM serius di Myanmar harus berhenti dan menyebut kebijakan militer Min Aung Hlaing merugikan setengah juta orang etnis Rohingya yang harus menyelamatkan diri ke negara tetangga.
"Aksi militer Min Aung Hlaing bertanggung jawab pada operasi keamanan brutal yang dimulai pada Agustus 2017 di Rakhine State dan mengakibatkan lebih dari 500.000 orang melarikan diri ke Bangladesh. Dalam periode tersebut, kelompok minoritas terbunuh atau terluka akibat tembakan, seringkali ketika mereka sedang kabur, atau akibat senjata tajam prajurit; yang lainnya ada yang terbakar sampai tewas di rumah mereka sendiri," tulis pernyataan Kementerian Keuangan AS.
Sanksi yang diberikan AS adalah implementasi dari UU Akuntabilitas HAM Dunia Magnitsky (Magnitsky Act). Sanksi ini membekukan aset yang dimiliki para petinggi militer Myanmar di AS atau yang dikelola warga AS. Pebisnis AS juga dilarang berbisnis dengan pihak yang terkena sanksi.
Tak hanya Rohingya, pihak AS juga memberi sanksi pada pelanggar HAM serius di negara Sudan Selatan, Pakistan, dan Slovakia. Kebanyakan pelanggaran HAM yang disorot merupakan aksi penguasa yang membunuh lawan-lawan politiknya atau rakyat kecil.
Nama Magnisty di UU ini terinspirasi dari Sergei Magnitsky, seorang akuntan pajak asal Rusia. Pria itu tewas di penjara Rusia pada usia 37 tahun setelah membongkar korupsi besar-besaran yang dilakukan pejabat Rusia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sidang Rohingya Digelar PBB, Ini Respons Kementerian Luar Negeri
Sidang kasus Rohingya digelar oleh Mahkamah Internasional PBB di Den Haag, Inggris. Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi juga dihadirkan di persidangan itu, sebab ia juga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Myanmar.
Pihak Kementerian Luar Negeri Indonesia menyebut menghargai karena Suu Kyi mau datang ke Den Haag. Ia berharap Suu Kyi bisa memperjelas posisi negaranya terkait Rohingya di hadapan dunia internasional.
"Kita merupakan salah satu ngara yang aktif dalam mencoba memfasilitasi penangangan isu kemanusiaan di provisi Rakhine. Kita melilhat ini proses yang dihadiri secara langsung oleh Aung San Suu Kyi yang tentunya kita hormati bahwa beliau datang untuk menjelaskan apa yang menjadi posisi pemerintahannya," ujar Juru Bicara Kemenlu Teuku Faizasyah di Jakarta pada Selasa (10/12/2019).
Selama ini pemerintah Myanmar memang kerap menyangkal bahwa negaranya melakukan pelanggaran HAM kepada etnis Rohingnya. Berdasarkan laporan Badan Pengungsi PBB, ada 730 ribu pengungsi Rohingya. PBB juga melihat ada indikasi genosida yang terjadi.
Teuku menyebut saat ini sidang Rohingya di PBB masa ada dalam tahap awal. Ia pun enggan memberi banyak komentar terkait kasus ini, namun ia memastikan Indonesia memiliki pendekatan tersendiri untuk menyelesaikan konflik di Rakhine secara bilateral.
Ketika ditanya apakah Kedutaan Besar Indonesia di Belanda akan mengawasi persidangan ini, Teuku berkata pemerintah pasti melakukan pengawasan.
"Tanpa harus mengawasi (oleh Kedutaan) kita bisa mengikuti di pemerintahan," jelas Teuku.
Persidangan Rohingnya juga sudah dimulai di Den Haag. Gambia sebagai pelapor berkata tindakan Myanmar mengganggu hati nurani masyarakat internasional sehingga tak bisa didiamkan.
"Dalam ucapan Edmund Burke (negarawan Irlandia), 'Satu-satunya yang diperlukan untuk memenangkan kejahatan adalah orang-orang baik tak melakukan apapun,'" ujar Jaksa Agung Gambia Abubacarr Marie Tambadou seperti dikutip The Guardian.
Advertisement