Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif meminta masyarakat menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal jeda lima tahun mantan narapidana yang ingin maju dalam Pilkada.
"Itu kita harus mengahargai putusan itu, dan saya pikir ini juga harus disambut baik. Baik oleh pemerintah maupun parlemen atau pun partai politik," ujar Laode di Hotel Pullman, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Advertisement
Laode mengaku, KPK banyak mendapatkan laporan soal masih banyaknya mantan narapidana kasus korupsi didukung oleh partai maupun masyarakat maju dalam Pilkada lantaran memiliki uang yang banyak.
"Yang meniti karier dari bawah sampai ke atas ini enggak pernah di-support, malah karena ada uangnya men-support mantan napi. Ngapain seperti itu," kata Laode.
Dengan adanya putusan MK ini, dia berharap tata kelola di tubuh partai politik juga diperbaiki. Setidaknya, pimpinan partai politik tak akan lagi menunjuk mantan narapidana kasus korupsi untuk maju menjadi kepala daerah.
"Jadi kita terima kasih, saya pikir itu putusan Mahkamah Konstitusi yang bagus. Saya pikir juga itu akan lebih bagus untuk meningkatkan kualitas tata kelola partai politik," kata Komisioner KPK tersebut.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Putusan MK
Sebelumnya, MK menerima sebagian uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya pasal 7 ayat (2) huruf g. Gugatan ini diajukan oleh ICW dan Perludem.
Adapun pasal 7 ayat (2) huruf g berbunyi, "Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana."
"Mengadili, dalam provisi mengabulkan permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman di ruang persidangan MK, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Dia juga menyebut dalam putusannya, pasal 7 ayat (2) huruf g, bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
"Dan tidak mempunyai hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap," ucap Anwar.
Advertisement
Berubah Bunyi
Sehingga, kata dia, pasal 7 ayat (2) huruf g berubah bunyinya menjadi:
Calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih kecuali terhadap pidana yang melakukan tindak pidana kealfaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang berkuasa.
2. Bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.
3. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Kemudian dia kembali menegaskan, MK menolak permintaan ICW dan Perludem yang meminta masa jeda waktu sebanyak 10 tahun. MK hanya memberikan waktu 5 tahun bagi mantan napi usai menjalankan pidana penjara, untuk bisa mencalonkan diri dalam Pilkada.
"Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," putus Anwar.