Mendobrak Stereotip Penyandang Disabilitas (Bagian 1)

Para penyandang disabilitas menjawab ragam pertanyaan yang selama ini dirasa terlalu sensitif untuk dipertanyakan.

oleh Asnida Riani diperbarui 12 Des 2019, 04:02 WIB
Seminar Big Ideas, Ask Me Anything: Para Pegiat Disabilitas Menjawab Pertanyaan Besar di Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, 10 Desember 2019. (Liputan6.com/Asnida Riani)

Liputan6.com, Jakarta - Masih dalam euforia merayakan Hari Disabilitas Internasional, Kedutaan Besar Australia menyelenggarakan seminar Big Ideas bertajuk "Ask Me Anything: Para Pegiat Disabilitas Menjawab Pertanyaan Besar" di bilangan Jakarta Selatan, Selasa, 10 Desember 2019.

Sesuai dengan tema besarnya, para panelis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini dinilai terlalu sensitif untuk ditanyakan. Pertanyaan sendiri terkumpul dari media sosial dan audiens seminar dengan tidak menyebutkan nama mereka.

Panelis-panelis yang dihadirkan adalah Ananda Sukarlan, seorang komposer dan pianis; Bahrul Fuad selaku Konsultan Disabilitas dan Inklusi Sosial; Angkie Yudistia yang merupakan pendiri Thisable Enterprise dan baru saja diiangkat jadi staf khusus Presiden Joko Widodo; dan pegiat penyandang disabilitas asal Australia Barat, Vanessa Vlajkovic.

Dipandu Marthella Rivera Roidatua, pendiri Koneksi Indonesia Inklusif (Konekin), sebagai moderator, para panelis satu per satu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan, "Apakah Anda terlahir sebagai disabilitas?".

"Aku tidak (terlahir sebagai disabilitas). Aku jadi difabel di usia 10 tahun karena demam tinggi. Habis itu tidak (bisa) dengar," tutur Angkie. Jawaban senada juga dilontarkan Cak Fu, panggilan akrab Bahrul Fuad.

Tidak terlahir sebagai seorang disabilitas, kaki Cak Fu tak bisa berfungsi normal setelah mengalami panas tinggi di usia satu tahun. "Saya disuntik empat kali di paha bagian kiri. Demam turun, saya sudah tidak bisa berjalan lagi," sambungnya.

Sementara, Ananda ungkap menyesal baru didiagnosis mengidap sindrom asperger pada usia 28 tahun. Sebelumnya, ia acap kali disangka memiliki IQ rendah, disebut bodoh, dan diasosiasikan dengan stigma serupa.

Vanessa sendiri awalnya merupakan seorang penyandang disabilitas, lantaran tidak bisa melihat. "Saat dewasa, saya baru tidak bisa melihat dan tidak bisa mendengar," ucapnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Bila Bisa Memilih Antara Jadi Disabilitas dan Non-Disabilitas

Seminar Big Ideas, Ask Me Anything: Para Pegiat Disabilitas Menjawab Pertanyaan Besar di Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, 10 Desember 2019. (Liputan6.com/Asnida Riani)

Saat dihadapkan dengan pertanyaan, bila bisa memilih mau jadi disabilitas atau non-disabilitas, Vanessa menjawab iya dan tidak. Kondisinya sekarang membuat Vanessa bisa dengan mudah bangga pada diri sendiri karena setiap hari dianggap sebagai tantangan.

Sementara, Angkie dengan gamblang mengatakan, sejujurnya berharap tidak jadi difabel. "Tapi, kemudian aku mengalami disabilitas sehingga membiasakan dan akhirnya malah jatuh cinta karena jadi disabilitas berarti spesial," tuturnya.

Cak Fu bercerita, lantaran dua adiknya adalah non-disabilitas, waktu kecil ia merasa Tuhan tak adil. "Sekarang saya malah bersyukur karena dengan begini saya bisa berbuat sesuatu dan memanfaatkan kelebihan yang saya punya," ucap lelaki yang telah terpilih sebagai salah satu komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan tersebut.

Ananda yang merasa dirinya telat didiagnosa mengatakan hanya bersyukur bisa teridentifikasi sebagai seorang disablitas. Dengan begitu, ia fokus pada kemampuannya, yakni bermain piano dan mendalami skill di bidang itu saja.


Bagaimana Maunya Diperlakukan Orang Lain?

Seminar Big Ideas, Ask Me Anything: Para Pegiat Disabilitas Menjawab Pertanyaan Besar di Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, 10 Desember 2019. (Liputan6.com/Asnida Riani)

Sebagai seorang penyandang disabilitas, Cak Fu mengatakan, dirinya mau diperlakukan sama dengan orang lain, baik disabilitas maupun non-disabilitas. "Karena yang harus dipahami, difabel adalah different able people," ucapnya.

Ia sendiri pernah berada dalam situasi diremehkan orang lain, terutama yang baru dikenal. Tapi, bilamana diperlakukan demikian oleh orang yang sudah lama dikenal, Cak Fu tak akan tinggal diam. "Bakal saya tegur," imbuhnya.

Sedangkan, Vanessa menuturkan, banyak orang yang tak tahu dan menganggapnya sebagai non-disabilitas. Selama ini, Vanessa bertemu orang yang memperlakukannya dengan cara berbeda dan itu tidak apa-apa. "Sesuai porsi dan kondisi saja," ujarnya.

Soal dianggap bodoh dan tak berdaya oleh orang lain, Vanessa dengan tegas mengatakan tak akan menjadikan orang semacam itu berada di lingkaran sosialnya.

Ananda menganggap, seharusnya malah tidak ada anggapan disabilitas. Dengan tolerasi dan fasilitas memadai, mereka yang serba terbatas pun bisa berdaya sebagaimana orang kebanyakan.

Angkie sendiri menilai, persepsi perlakuan ini harus berangkat dari toleransi. "Karena susah juga kalau banyak teman-teman disabilitas yang belum menerima diri mereka sendiri, masih menyembunyikan disabilitasnya karena tidak mau dianggap aneh," tutur ibu dua anak tersebut.

Padahal, dalam pandangannya, tidak masalah bila menunjukkan pada orang lain bahwa mereka 'tidak baik-baik saja'. "Yang penting toleransinya saja. Menerima tanpa perlu merasa baik-baik saja menurutku tidak apa-apa sebagai permulaan," tandasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya