Liputan6.com, Jakarta - Pelaku industri bakal memindahkan pabrik tekstil dari Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ini karena upah buruh yang dinilai kian mahal dari tahun ke tahun.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia menuturkan, hal ini masih perlu pembahasan lebih lanjut dengan pemerindah daerah (pemda) setempat.
"Salah satu di antaranya tenaga kerja di sana, tenaga kerjanya sudah agak mahal makanya mereka lakukan relokasi ke Jateng dan Jatim. Tapi kami lagi cari formulasi minggu depan akan bicara teknis dengan pemda," ujar dia di kantornya, Rabu (11/12/2019), demikian mengutip Kanal Bisnis Liputan6.com.
Baca Juga
Advertisement
UMK di Jawa Timur tergolong lebih rendah mulai dari Rp 1,9 juta hingga Rp 4 juta. Sedangkan di Jawa Tengah, UMK jauh lebih rendah. Tertinggi yaitu Semarang dengan besaran Rp 2.715.000. Ia menuturkan, rencana relokasi ini belum masuk tahap teknis dan sedang menyusun regulasi tepat.
"Tadi ketua dari Jabar belum sampai pada tingkatan teknis berapa relokasinya, tapi kita lagi mencari alternatif dengan regulasi yang memudahkan mereka agar mereka tidak perlu ada regulasi," tutur dia.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat Sintesis dan Benang Filamen Indonesia (APSfFI) Ravi Shankar menuturkan, faktor lingkungan turut menjadi pendorong relokasi tersebut.
"Itu masalahnya terutama lingkungan, Citarum, kain tekstil ada celupan ada banyak dia pakai air, itu jadi di Bandung sudah mulai ekspansi,” tutur dia.
Selain itu, dia menuturkan, relokasi tersebut juga merupakan bagian dari program skema cluster atau industrial tekstil park dalam satu tempat. Jadi nanti biaya produksi dapat diatur menjadi lebih efisien.
"Kalau dalam satu cluter jauh lebih gampang untuk atur cost daya saing, lingkungan semuanya bisa diatur, itu yang kita usul dan perlu kita lanjutkan. Kalau kita usul tekstil park itu dan siapkan juga bagaimana di daerah itu, Bandung bisa relokasi," ujar dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Industri Tekstil Tanah Air Masuk Jurang Krisis
Sebelumnya, pengusaha tekstil yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Serat Sintesis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengungkapkan kondisi industri saat ini kurang bagus. Hal itu disampaikan kepada Kepala Badan Koordinasi Penaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.
Ketua Umum APSyFI Ravi Shankar mengungkapkan, saat ini pasar tekstil di Tanah Air tengah mengalami krisis, sebab diserbu oleh produk impor.
Serbuan barang tekstil impor, baik bahan baku maupun produk yang sudah jadi, kian mengancam eksistensi industri hulu tekstil Tanah Air. Longgarnya kebijakan impor membuat industri dalam negeri kewalahan melawan barang-barang impor tersebut.
Dia mengungkapkan pemain terbesar di industri hulu adalah China dan India. Sementara sektor hilir adalah Vietnam dan Bangladesh. Negara-negara tersebut memiliki kapasitas produksi yang besar, sehingga mereka perlu mencari pasar, termasuk Indonesia.
Alhasil, saat ini industri tekstil Tanah Air dari hulu hingga hilir sudah dikuasai oleh produk asing. Sebab, produk dalam negeri kalah dalam hal daya saing.
"Jadi karena daya saing kita problem dan negara yang tadi bersaing itu sudah bikin skala dunia kapasitasnya. Mereka punya kelebihan kapasitas, mau tembus ke market Indonesia. Jadi market Indonesia sekarang dalam kondisi kritis karena barang masuk, barang hulu, barang hilir, garmen semuanya," kata dia saat ditemui di Kantor BKPM, Jakarta, Rabu, 11 Desember 2019.
Selain itu, negara-negara tersebut memiliki Harga Pokok Produksi (HPP) yang bersaing. Sementara di Indonesia HPP masih cukup tinggi terlebih dengan mahalnya harga bahan baku.
"Indonesia kuat, tapi saat ini tekstil lagi dalam kondisi kritis. Kenapa? itu ya pertama reformasi itu kita cost-nya naik, sambil negara yang bersaing," ujarnya.
Oleh karena itu, dia meminta pemerintah perlu segera turun tangan mengatasi kondisi ini. Salah satunya dengan cara memberi dukungan melalui kebijakan yang mampu membuat industri dalam negeri mampu bersaing dan menguasai pasar.
"Jadi dalam konteks itu, itu kita bahas perlu jangka panjang policy (kebijakan). Pasar dalam negeri itu harus kita bisa kuasai. Kepastian prioritas buat produk dalam negeri itu perlu kita utamakan. Dari situ muncul bagaimana bisa meningkatkan ekspor. Kan, daya saingnya harus itu, itu juga kita bahas ada beberapa policy yang meningkatkan cost kami atau yang untuk kelancaran bisnis, itu kita bahas," ucapnya.
Advertisement