Kritik Praktisi Transportasi soal Wacana Menhub Pangkas Harga Tiket Pesawat

Kebijakan Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi memangkas harga tiket pesawat terbang ternyata mendapat penolakan dari praktisi transportasi.

oleh Nefri Inge diperbarui 13 Des 2019, 21:00 WIB
Pesawat Terbang (Dok. Humas Lion Air Group / Nefri Inge)

Liputan6.com, Palembang - Adanya kebijakan menurunkan harga tiket pesawat oleh Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi sebesar 30 persen pada hari kerja, ternyata tidak selalu disetujui oleh banyak pihak.

Seperti halnya Bambang Haryo Soekartono. Praktisi dan pemerhati masalah transportasi logistik ini meminta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tidak boleh menekan maskapai penerbangan untuk menurunkan tarif pesawat, tanpa didasarkan pada analisis yang benar.

"Apabila pemerintah memaksakan tarif pesawat turun sehingga maskapai menjadi rugi, berarti masyarakat dibiarkan menggunakan maskapai yang tidak sehat sehingga membahayakan keselamatan," katanya, Kamis (12/12/2019).

Dia menanggapi Menhub Budi Karya Sumadi yang menyebutkan tarif pesawat akan turun 30 persen pada Senin-Kamis setiap minggu hingga Februari 2020. Menhub mengaku sudah mendapat komitmen itu dari Garuda Indonesia, yang diyakini bakal diikuti maskapai lainnya.

Sebagai penyedia sarana transportasi, lanjutnya, maskapai penerbangan bertanggung jawab terhadap keselamatan nyawa dan barang publik yang diangkutnya, sehingga harus mendapatkan tarif yang cukup dan transparan.

Dia mengingatkan, pemerintah khususnya Kemenhub harusnya introspeksi diri kenapa tarif pesawat mahal dan maskapai mengalami kerugian.

Bahkan, maskapai sekelas Garuda Indonesia pun pernah mencatat kerugian hingga Rp 3 trilun pada 2017 dan Rp 1,6 trilun pada 2018. Padahal, saat itu tarif pesawat relatif tinggi. Dia pun tak ingin kerugian ini terulang dan tambah besar.

Menurutnya, tarif pesawat yang tinggi saat ini bukan sepenuhnya kesalahan maskapai, melainkan justru akibat kebijakan pemerintah terutama Kemenhub dalam mengelola transportasi udara.

Dari analisisnya, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan tarif pesawat menjadi mahal, yaitu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah melonjak lebih dari 60 persen dari sekitar Rp 9.000 pada tahun 2012 menjadi Rp 14.000 pada tahun 2019.

Depresiasi rupiah berdampak terhadap peningkatan tarif pesawat akibat lonjakan harga komponen pesawat, avtur, MRO, utang, dan biaya lain yang masih banyak mengacu ke dolar AS.

"Solusinya, ekonomi harus diperbaiki supaya rupiah kembali menguat, kalau ekonomi masih lesu ya susah," ujar dia.

Walaupun harga avtur diturunkan, tetapi konsumsi bahan bakar itu tetap tinggi sebab pesawat yang akan mendarat di semua bandara komersial masih harus antre atau holding. Avtur yang dihabiskan untuk holding ini bahkan lebih besar daripada insentif avtur untuk maskapai.

Seperti contoh, penerbangan Jakarta-Yogyakarta yang dulunya hanya butuh waktu 45 menit. Sekarang rute ini bisa menghabiskan 1 jam 5 menit, sehingga konsumsi avtur naik hampir 50 persen.

Kemampuan Airnav menurutnya harus segera ditingkatkan karena produktivitas runway bandara komersial sangat rendah.

Bandara Soekarno-Hatta Jakarta hanya bisa melayani tidak lebih dari 30 take off dan landing pesawat per runway per jam. Sebagai perbandingan, Bandara Heathrow Inggris bisa mencapai 100 take off landing per jam per runway.

Selain itu, Menhub juga harus mempertimbangkan waktu tunggu pesawat masih terlalu lama sehingga maskapai harus membayar banyak biaya tambahan.

"Penumpang sering kali menunggu lama di dalam pesawat sebelum terbang. Penyelenggara trafik angkutan udara sangat lamban, avtur menjadi boros dan produktivitas maskapai rendah," katanya.

Lalu, tiket pesawat mahal karena pemerintah tidak menyiapkan bandara khusus untuk maskapai low cost (LCC), sehingga terjadi pemborosan sangat besar. LCC wajib menggunakan terminal, apron dan runway untuk maskapai full service.

"Masyarakat dirugikan karena harus bayar pajak bandara dan semua fasilitas pembelian selama di terminal dengan harga komersial untuk maskapai full service," ucapnya.

 


Harga Tiket Pesawat Terbang

Pesawat Terbang (Dok. Humas Lion Air Group / Nefri Inge)

Kondisi ini juga merugikan maskapai full service, karena kesulitan pelayanan akibat banyaknya pesawat LCC yang mendarat di terminal yang sama. Campur aduk antara LCC dan full service ini, membuat bandara padat sehingga tarif menjadi tidak menentu.

Ada juga faktor tarif tinggi karena masyarakat sulit mendapatkan tempat duduk, karena kapasitas pesawat yang tersedia terbatas di rute-rute 'gemuk'. Terutama pada saat musim padat penumpang atau peak season.

Kondisi ini disebabkan semua maskapai menggunakan pesawat kecil atau narrow body di rute gemuk tersebut.

"Seharusnya rute 'gemuk' seperti Jakarta, Surabaya, Bali, Medan, Makassar, saat peak season menggunakan pesawat wide body sehingga ada keseimbangan antara supply dan demand," ungkapnya.

Regulasi ini diterapkan juga di kapal ferry tetapi dengan tarif sangat murah. Bahkan, saat musim sepi penumpang pun penyeberangan diwajibkan operasikan kapal di atas 5.000 GT.

Faktor terakhir yaitu birokrasi dan perizinan cenderung highly regulated sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

"Jadi tidak heran, walaupun Air Asia menjual tiket murah di Indonesia tapi bisa untung di atas Rp 1,5 trilun tiap tahun, karena lebih banyak beroperasi di luar negeri yang tidak terjadi ekonomi biaya tinggi," ujarnya.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya