Menyulap Lahan Kritis Jadi Produktif demi Melindungi TN Kerinci Seblat

Melalui konservasi berbasis tata guna lahan itu, masyarakat diharapkan harus mampu mengubah stigma untuk tidak lagi membuka ladang di kawasan hutan.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 13 Des 2019, 06:00 WIB
Sekolah lapang pertanian organik untuk kelompok petani perempuan di Desa Muara Madras, Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi. (Liputan6.com/ Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Menaiki bukit, Yuni Zarna (40) berjalan hampir setengah jam hingga tiba di ladang yang dijadikan sekolah lapang pertanian organik untuk kelompok petani perempuan di Desa Muara Madras, Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi.  

Sudah dua bulan lebih, saban pagi saat fajar menyongsong perempuan anak tiga itu berangkat dari rumahnya. Meski jaraknya cukup dekat, namun katanya, lumayan menguras tenaga karena harus berjalan menaiki bukit terjal yang berada di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (MDPL).

"Rumah dekat dari ladang sinilah, kalau enggak biasa lumayan capek, tapi saya sudah biasa, jadi tidak capek," kata Yuni kepada Liputan6.com sembari menunjukan arah rumahnya yang berada di balik ladang berbukit itu.

Pagi itu 5 Desember 2019, cuaca mendung berkabut ditambah gerimis kecil membuat kawasan itu semakin sejuk. Para petani perempuan di sana lazim beraktivitas bertani dengan mengunyah sirih atau menginang. Selain untuk pergaulan dan tata nilai masyarakat, nyirih berfungsi untuk menangkis dinginnya pagi ketika berladang.

Berbalut pakaian lengan panjang dan caping lebar di kepalanya sambil mengunyah sirih, Yuni Zarna terampil membuat lubang-lubang kecil di tanah yang telah digemburkan. Sesaat baru menyelesaikan satu baris lubang, sudah ada Tina Rodiah dan Masnah yang langsung memasukkan biji mentimun di lubang tanam. 

Mereka menanam bermacam jenis sayuran di ladang sekolah lapang pertanian organik. Selain ketiga perempuan ini, ada puluhan perempuan lain yang berladang. Di sana tanaman sudah mulai tumbuh subur dan menunggu masa panen.

"Nanam timun, tomat, cabai rawit dan ada juga kentang, macam-macam lah, kalau sudah panen boleh ke sini lagi," kata Yuni.

Sementara itu, tak jauh dari tempat mereka menanam sayur, ada belasan perempuan lain yang tengah berkumpul di depan pondok. Dalam perkumpulan itu mereka sedang berdemo membuat pupuk organik zat pengatur tumbuh (ZPT).

Dalam pembuatan pupuk organik itu mereka olah dengan menggunakan campuran untuk pupuk organik padat dari sekam padi dan sekam dedaunan. Kemudian hasil olahan itu dicampur kembali dengan buah bintaro, tembakau cairan gula dan tembakau.

"Semua bahan pupuk organik ada di sini, tidak sulit mencari. Kami memanfaatkan bahan-bahan yang sudah ada untuk kesuburan tanah di ladang kami ini," ujar Yuni.

Sekolah lapang di Desa Muara Madras TN Kerinci Seblat berjalan baru enam bulan lalu. Meski masih baru, namun para petani bersemangat mengikuti kegiatan tersebut dilihat dari antusias peserta yang bertambah setiap bulannya.

Simak juga video pilihan berikut ini:


Konservasi Berbasis Tata Guna Lahan

Sejumlah petani perempuan saat berocok di sekolah lapang pertanian organik di Desa Muara Madras, Jangkat, Kabupaten Merangin. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Sekolah lapang pertanian organik di Desa Muara Madras, Jangkat Merangin tersebut, adalah untuk kelompok wanita tani (KWT). Saat ini terdapat 10 kelompok yang intens mengolah lahan yang tadinya dianggap kritis menjadi produktif. Masing-masing anggota memiliki 10 orang anggota.

Menurut Koordinator Program TFCA wilayah Jangkat, Adi Candra, lahan yang diolah kelompok petani perempuan tadinya adalah lahan yang tidak lagi menghasilkan atau sering disebut kritis. Masyarakat menganggap lahan itu tidak lagi subur karena sebelumnya banyak ditumbuhi tanaman pakis.

"Kita fokus memperkuat petani supaya kembali intensif mengolah lahan yang selama ini dianggap tidak lagi subur. Lewat sekolah lapang pertanian organik ini petani perempuan diajarkan untuk kembali produktif memanfaatkan lahan," kata Adi Candra.

Melalui konservasi berbasis tata guna lahan itu, masyarakat diharapkan harus mampu mengubah stigma untuk tidak lagi membuka ladang di kawasan hutan. Menurut dia, masyarakat di Jangkat selama ini menganggap hutan adalah tempat yang subur untuk dibuka menjadi lahan pertanian.

"Banyak sekali lahan masyarakat yang tidak terkelola dengan baik karena dianggap kritis karena unsur haranya berkurang. Kita coba bersama-sama untuk memulihkan lahan kritis dengan dikelola dengan pertanian organik, sehingga masyarakat tidak lahi membuka lahan baru di hutan," katanya.

Desa Muara Madras di Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, menjadi salah satu desa penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Merangin. Pembukaan dan perambahan di TNKS dan penyangganya, 65 persen dipicu oleh tren komoditas tanaman kopi yang memiliki nilai ekonomi serta alasan kondisi lahan yang ada tidak lagi menghasilkan.

 

 


Melindungi TNKS

Saat ini terdapat enam Desa di Kecamatan Jangkat termasuk Desa Muara Madras yang bersepakat berupaya melakukan perlindungan kawasan TNKS dan penyangganya melalui pemanfaatan lahan kritis dan reboisasi. Upaya penyelamatan kawasan TNKS ini mendapatkan dukungan dari Tropical Forest Coservation Action (TFCA) Sumatera. Program ini merupakan bagian dari skema pengalihan utang untuk program konservasi hutan, khususnya di Sumatera.

Direktur Yayasan Mitra Aksi yang menjadi mitra TFCA, Suparlan Siswo Sudarwo mengatakan komitmen untuk melindungi kawasan TNKS ini tertuangdalam SK bersama dan peraturan desa. Menurut dia, ada 36 kelompok tani terdiri dari 656 petani yang bersepakat untuk zona perlindungan dan konservasi penyangga TNKS melalui upaya pertanian organik dilahan kritis. 

"Saat ini masih ada seluas 1.213 hektare lahan kritis yang berada di enam desa di Kecamatan Jangkat. Selama satu tahun seluas 2.193 sudah produktif, dan 12 hektare sudah di SK-an untuk pertanian organik dengan melibatkan petani perempuan sebagai ujung tombak kegiatan," kata Parlan.

Dengan adanya pertanian organik khususnya di lahan kritis itu diklaim, tebukti mampu menambah penghasilan keluarga. Selain itu menumbuhkan minat dan pengetahuan petani perempuan untuk bertanam sayur dan holtikultura yang sudah lama ditinggalkan.

"Ini dibuktikan pertama demplot dilakukan oleh 1 KWT dengan luasan 300 m2 mampu menghasilkan penghasilan kelompok mencapai Rp5.560.000, dan ini akhirnya membuat 7 KWT lain juga ikut mau bertani oragnik di lahan kritis," ujar Parlan.

Kemampuan pemulihan lahan kritis itu katanya, didapatkan petani dengan sekolah lapang dilakukan setiap satu kali dalam seminggu. Di dalam sekolah lapang, para petani belajar dan meramu sendiri bahan formula untuk menyuburkan tanah. 

"Semua bahan-bahannya dari desa mereka, dari lahan kritis itu sendiri. Diantaranya ada daun-daun, abu, semua bahannya tersedia agar tidak ada ketergantungan dari luar untuk menyuburkan lahan kritis ini," jelas Parlan.

 


Ekosistem Penting

Hamparan lahan hortikultura di sekolah lapang pertanian organik di Desa Muara Madras, Jangkat, Merangin, Jambi. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan kawasan penyangganya yang berada di Kabupaten Merangin memiliki luas 121.046 hektare.  Dari luasan tersebut, diantaranya 35 persen atau 42,326 hektare berada di dataran tinggi Jangkat.

Berdasarkan data Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera, kawasan ini adalah tempat ideal untuk ratusan flora hingga habitat bagi sejumlah populasi satwa langka. Misalnya, Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Badak Sumatera, Kijang Sumatera, dan lebih dari 372 jenis burung, termasuk 16 jenis burung endemik.

Hingga tahun 2004 kawasan TNKS telah terdaftar masuk World Heritage Site (Situs Warisan Dunia) sebagai Cluster Mountainous Tropical Rainforest Heritage Site of Sumatra (TRHS). 

Kawasan ini merupakan ekosistem penting yang berfungsi sebagai sumber air di daerah hulu dan menjadi tempat hidup berbagai jenis flora dan fauna. Namun dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, di daerah penyangga ini terus mengalami tekanan dari masyarakat setempat maupun pendatang. 

Tekanan tersebut kata Parlan, terjadi dalam bentuk perambahan dan alih fungsi hutan untuk dijadikan lahan pertanian serta perkebunan baru. 

"Dengan cara meningkatkan perekonomian masyarakat di desa penyangga melalui pertanian organik ini diharapkan masyarakat tidak tergiur lagi melakukan pembukaan lahan baru di kawasan hutan," kata Parlan memungkasi.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya