Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan, lembaga selama jangka waktu 2013-2019 telah menyumbangkan pemasukan negara dari sektor pajak sekitar Rp 4,9 triliun.
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin menyampaikan, perolehan uang tersebut berasal dari tindak lanjut terhadap 296 hasil analisis.
"Jadi selama kurun waktu 2013 sampai 11 Desember 2019, PPATK telah bantu penerimaan negara dari pajak sebesar Rp 4,972 triliun," terang Kiagus di Kantor PPATK, Jakarta, Jumat (13/12/2019).
Baca Juga
Advertisement
Di luar hal tersebut, ia menjelaskan, terdapat juga potensi penerimaan pajak yang belum dibayar sebesar Rp 30,9 miliar.
"PPATK juga berkontribusi atas penerimaan negara bukan pajak atas proses penegakan hukum tindak pidana di bidang perpajakan sebesar Rp 470,9 miliar," sambung Kiagus.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Meningkatkan Penerimaan Negara
Lebih lanjut, PPATK disebutnya akan terus berkomitmen meningkatkan penerimaan negara, dan juga berkontribusi terhadap data-data kepada Direktorat Jenderal Pajak serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
"Karena salah satu tugas PPATK yang diberikan Jokowi adalah membantu meningkatkan penerimaan negara, khususnya penerimaan pajak dan bea cukai," pungkas Kiagus.
Advertisement
PPATK: Indonesia Butuh Aturan Baru Cegah Pencucian Uang
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menilai, tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang hingga pencucian uang jadi alasan terbesar bocornya sumber penerimaan negara.
Tak hanya itu, tindak kejahatan tersebut turut menurunkan kepercayaan investor sebelum pihaknya menanamkan modalnya. Untuk itu, diperlukan aturan untuk mengungkap identitas pemilik manfaat (beneficial owner/BO) dari perusahaan.
"Kepercayaan investor tergantung data yang akurat dan transparan terkait pemilik manfaat perusahaan (beneficial owner). Adanya peraturan tentang pengungkapan beneficial owner akan memudahkan investasi," ujar Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin di Jakarta, Kamis (5/12/2019).
Pengaturan BO sendiri dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Atas Korporasi dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam jangka waktu lama, penerapan aturan ini tak hanya bisa menggaet kepercayaan investor, tapi bisa mengungkapkan aktor yang juga bertanggung jawab dalam kasus selain pencucian uang dan korupsi, misalnya kebakaran hutan, kerusakan lingkungan hingga hilangnya pendapatan negara dari pajak.
"Pengetahuan tentang pemilik manfaat perusahaan ini tentu akan mengungkap siapa sesungguhnya pemilik perusahaan, sehingga bisa menutup celah yang menjadikan perusahaan ruang kejahatan untuk kepentingan pribadi," ujar Kepala PPATK.