Liputan6.com, Jakarta - Turun temurun Lie Yun Bun tinggal di Jalan Mangga Besar Dalam, Mangga Dua, Sawah Besar, Jakarta Pusat, tanpa masalah. Namun, kondisi tersebut ternyata harus berubah.
Keceriaan Abun, sapaan Lie Yun Bun, dan tujuh anggota keluarganya berganti ratapan. Sebab, akses rumah yang dia tinggali ditutup kantor perusahaan. Dengan keterbatasan, dia harus melalui puing bangunan untuk keluar masuk rumahnya.
Advertisement
Rumah yang didiami Abun merupakan warisan turun temurun. Puluhan tahun sudah dia tempati rumah leluhurnya bersama seorang istri, sepasang anak dan menantunya, serta bersama tiga cucunya.
Salah satu menantu Abun, Johannes menceritakan kronologi awal pemblokadean akses jalan satu-satunya masuk rumah tersebut.
November lalu, seorang mandor yang ditugaskan pihak perusahan PT H merenovasi rumah tepat di sebelah kediamannya. Sang mandor beralasan renovasi adalah untuk membangun gudang.
Namun seiring waktu, pembangunan tersebut mulai menjalar ke rumahnya serta akses jalan keluar masuk ditutup. Beberapa batu konblok disusun tinggi menjulang membuat rumah mungil itu tertutup.
Abun dan keluarganya bereaksi. Johannes meminta mandor menghentikan pembangunan tersebut. Namun, mandor tetap bekerja dengan alasan menjalankan tugas dari atasan. Dia tidak menerima keluhan sepetrti yang diutarakan Johanes dan Abun. Akhirnya, mereka pasrah tidak mampu melawan lagi apalagi pemilik perusahaan tersebut adalah orang besar.
Malang terus menimpa Abun dan keluarganya. Selain akses rumah yang tertutup, sepucuk surat datang dari pengembang untuk mereka. Isi surat tersebut adalah agar Abun dan keluarga meninggalkan rumah yang ditinggali. Sebagai gantinya, pengembang menyodorkan duit Rp 350 juta, harga yang tidak seberapa untuk sebuah rumah di tengah Ibu Kota.
"Mau ke mana saya cari rumah dengan harga Rp 350 juta? Harga rumah di Jakarta di atas segitu. Palingan ada, di luar kota Jakarta yang sangat jauh dari tempat saya bekerja sebagai bengkel mobil dan anak-anak saya bersekolah," tutur Johannes saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis (13/12/2019).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Air Mata di Hari Tua
Dia menceritakan, ibunya saban malam meneteskan air mata. Dia tidak tega melihat sang ibu yang sudah sepuh harus sedih memikirkan kehilangan rumah satu-satunya, rumah yang pernah dilumat si jago merah karena arus pendek. Sebagian rumah tersebut hangus menjadi abu, biaya dikeluarkan untuk memperbaiki rumah usap kebakaran tidaklah sedikit.
Mereka harus merogoh Rp 150 juta untuk merenovasi bangunan yang dilumat api. Ketiadaan biaya membuat Johannes harus ke sana sini mencari pinjaman uang.
Sementara itu, akibat penutupan akses masuk ke kediamannya, Johannes tidak bisa mengeluarkan sepeda listriknya yang setiap hari digunakan untuk mengantar anak-anaknya setiap pagi sekolah di daerah Mangga Besar. Biasanya, Johannes semangat menganyuh sepeda bolak-balik mengantarkan tiga anaknya ke sekolah.
Namun sekarang, ia harus mengantarkan dengan motor terparkir di luar jalan yang tidak dapat masukan ke dalam rumah. Apalagi motor yang ia gunakan sangat boros bahan bakar sehingga menambah pengeluaran harian yang hanya bekerja sebagai seorang tukang bengkel.
Johannes yang dipercaya Abun untuk mengurus persoalan terkait akses rumah, berupaya mendatangi RT, RW, Kelurahan, untuk mencarikan solusi persoalan yang menderanya. Akhirnya, November lalu, pihak kelurahan Mangga Dua Selatan, datang bersama dua orang satpol PP, meminta mandor menunda pekerjaan sampai masalah ini ditemukan jalan keluarnya.
Namun, apa yang disampaikan pihak kelurahan dianggap angin lalu. Sang mandor meminta pekerjanya untuk meneruskan pembangunan gudang yang menutup akses rumah Abun dan keluarga.
Perkataan dari pihak kelurahan dianggap angin lalu oleh mandor. Pada saat aparatur kelurahan itu pergi, mandor meminta para pekerja bangunan kembali menuntaskan pembangunan gudang.
Advertisement
Asal-usul Tanah
Liputan6.com mencari tahu asal muasal tanah PT H tersebut. Tanah itu sebelumnya dimiliki oleh DT. Dia adalah tetangga dari Abun yang telah mengosongkan rumahnya sejak terjadi kebakaran pada 2015 dan memutuskan untuk tak lagi tinggal di lingkungan tersebut sehingga menjualnya kepada PT H.
Lewat secarik surat dituliskan DT yang didapat dari Lurah Mangga Dua Selatan, tertulis klaim, akses jalan yang tengah disoal Abun adalah miliknya.
Oleh karena itu, menurut DT, Abun tak punya hak untuk melarang pembangunan apapun karena hak kepemilikan telah berpindah kepada PT H.
Surat itu tertanggal 25 November 2019, dan sudah diketahui oleh Abun. Namun menurut pengakuan menantu Abun, Sandry, surat itu diterima oleh istri Abun yang juga sudah lanjut usia, dan tak lancar baca tulis.
"Ibu mertua saya diminta tanda tangan seadanya, sebagai tanda terima kalau sudah terima surat itu. Katanya saat pengantar surat itu didampingi 10 orang laki-laki dewasa, kalau tak tanda tangan, mereka tidak akan pergi, saat itu tidak ada siapa-siapa di rumah, hanya ibu, kita pada kerja," jelas Sandry.
Lurah Mangga Dua Selatan, Setiyanto mengaku tak memiliki validasi atas legalitas surat tersebut. Menurutnya akses jalan tersebut sudah ada dari zaman sebelum dimiliki DT dan merupakan kesepakatan bersama untuk membaginya sebagai akses jalan.
"Sepertinya itu merupakan kebijakan dari pemilik lama, sepertinya tidak milik perorangan, karena kalau tanah tersebut merupakan fasilitas kepada pelapor (Abun) bisa menempuh jalur hukum, makanya yang diupayakan (Abun) adalah negosiasi," ujar Setiyanto.
Sandry menjelaskan, memang tak sekali pun dikatakan bahwa akses jalan tersebut adalah miliknya. Kendati karena sudah digunakan selama berpuluh tahun oleh keluarganya, maka saat ini diupayakan jalan tengah jika akses tersebut dihilangkan.
"Kami coba undang pihak terkait, duduk bersama cari solusi yang manusiawi itu saja kok," harap Sandry.
(Rizki Putra Aslendra)