Liputan6.com, Jakarta - Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana (UMB), Muhammad Iqbal mengatakan, yang membuat siswa stres bukanlah Ujian Nasional, tapi persepsi guru maupun orangtua yang salah tentang kecerdasan.
"Paradigma guru dan orangtua menyedihkan. Banyak anak-anak yang sedih, mau bunuh diri karena mereka tertekan. Bukan karena mau menghadapi ujian. Karena menghadapi persepsi tentang kecerdasan yang salah dari guru dan orangtua," ungkapnya, dalam diskusi, di Jakarta, Sabtu (14/12/2019).
Advertisement
Paradigma tersebut, kata dia, terungkap dari sikap yang menilai kecerdasan anak hanya dari nilai dan keberhasilan dalam UN. Padahal ujian nasional, hanya menilai sejauh mana anak itu menangkap kurikulum.
Ujian, jelas dia, tidak mampu menilai kecerdasan secara umum. "Kalau kita bicara psikologi, kecerdasan itu ada sembilan. Logic matematik itu hanya salah satu. Tapi kalau di Indonesia ini, kalau orang nggak bisa matematik, dianggap bodoh sehingga anak-anak ini malas-malasan," kata dia.
"Zaman saya, anak pintar ngomong, dianggap masalah. Ini ngomong melulu. Padahal pintar ngomong itu salah satu kecerdasan. Tapi di sekolah dan paradigma orangtua, tetap anak itu harus ikut olimpiade Fisika, Kimia, dan Matematika. Lebih pada sainsnya dikedepankan. Padahal ada survei Indonesia Career Center Network (ICCN), 87 persen mahasiswa kita salah pilih jurusan. Karena yang penting lulus," imbuhnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kembangkan Banyak Aspek dari Kecerdasan
Karena itu, ke depan, sistem pendidikan nasional harus mengembang banyak aspek dari kecerdasan anak. Sehingga tidak hanya berpatok pada nilai-nilai yang sifatnya penilaian kuantitatif.
"Kak Seto bilang, saya tanya, Matematikanya 4. Tapi bisa jadi doktor. Karena punya masa depan, motivasi tinggi, daya juang, berani, percaya diri, gigih, pantang menyerah. Dan itu tidak ada nilainya di rapor. Kami punya mimpi. Itu nggak ada nilai di rapor," ujar dia.
"Sementara anak yang nilainya 9 semua, tapi tidak mau bergaul, tidak punya teman, tidak punya keberanian, tidak percaya diri, akhirnya mereka jadi petugas administrasi. Tidak bisa menjadi pemimpin. Ini jadi masalah besar," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka
Advertisement